3 Upacara Adat Sultra Yang Berkaitan Dengan Fenomena Alam

7233
3 Upacara Adat Sultra Yang Berkaitan Dengan Fenomena Alam
Ilustrasi
3 Upacara Adat Sultra Yang Berkaitan Dengan Fenomena Alam
Ilustrasi

 

ZONASULTRA.COM,KENDARI– Upacara adat tradisional di Sulawesi Tenggara (Sultra) yang berkaitan dengan peristiwa alam merupakan bagian dari integral kebudayaan masyarakat. Sehingga keberlangsungan upacara adat ini merupakan kebutuhan mendasar bagi masyarakat traditional untuk kelangsungan hidup mereka.

Upacara adat tradsional di Sultra begitu banyak, namun dalam ulasan ini hanya akan mengelompokkan menjadi 3 jenis upacara adat tradisional Sultra berkaitan dengan Fenomena alam yang telah dihimpun oleh wartawan zonasultra.id di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Sultra. Berikut ulasannya:

1. Upacara Posobhaghoo Motonuno
Secara istilah kata Posobhaghoo Motonuno terdiri dari dua kata yang masing-masing berhimbuan, yaitu kata “posobhaghoo” dan kata “motonuno”. Posobhaghoo terdiri dar kata dasar “sobho” yang berarti campur, jadi posobhaghoo berarti mencampurkan. Sedangkan “motonuno” berarti yang hancur atau yang longsor dan sekaligus menjadi nama sebuah danau kecil di Muna.

Dalam danau tersebut terdapat sebuah batu yang disebut batu “wamata” yang menjadi salah satu obyek dalam upacara ini. jadi, kesimpulannya Posobhaghoo Motonuno adalah mencampurkan air danau motonuno dan secara resmi menjadi salah satu upacara yang berhubungan dengan alam dan kepercayaan di Muna.

Upacara posobhaghoo motonuno adalah suatu upacara yang dilakukan dengan cara mencampurkan air danau motonuno dengan air danau Wulamoni. Danau Motonuno berada di Kecamatan Katobu, kira-kira 11 km dari Raha, ibu kota Kabupaten Muna. Wulamoni terletak di Kecamatan Wakuramba di bagian pulau Buton yang termasuk Kabupaten Muna.

Menurut cerita rakyat setempat ketiga danau tersebut merupakaa bekas daerah tempat tinggal tiga orang bersaudara kandung, yaitu seorang perempuan bernama Wamata dan dua orang laki-laki bernama Lawulamoni dan Latumondu.

Konon kedua laki-laki tadi senantiasa merindukan saudara kandungnya yang bernama wamata dan ingin memperisterikannya. Demikian pula Wamanta sangat mecintai kedua saudara kandungnya.

Akhirnya ketiganya dipisahkan, yaitu Wamanta tetap di Motonuno sekarang ini, Lawulamoni dibawa di bagian Barat (di Lasehao sekarang ini) dan Latumondu di bagian Timur (Kecamatan Wakuramba sekarang ini).

Ketiga orang bersaudara ini selalu saling merindukan. Bila bulan terbit di bagian Timur, maka Lawulamoni yang berada dibagian barat selalu menangis karena rindu memperisterikan Wamata. Apabila matahari terbenam di sebelah barat, maka Latumondu yang tinggal di bagian Timur selalu menangis karena rindu untuk memperisterikan Wamata pula.

Karena perbuatan ketiga orang bersaudara tersebut maka turunlah hujan secara terus menerus. Akhirnya datanglah banjir serta terjadilah longsor atas daerah mereka. Seluruh keluarga mendapat musibah. Yang sempat berpegang pada batu, lalu menjadi batu.

Kemudian yang sempat naik ke atas pohon menjadi kera, yang sempat memegang batang kayu melayang menjadi ular. Mereka yang tetap memegang alat pekerjaannya menjadi patung batu dalam sikap demikian dengan pekerjaannya.

Wamata telah berubah menjadi batu yang disebut batu Wamata dalam danau Motonuno sekarang ini. Sedangkan Lawulamoni dan Latumondo telah berubah menjadi danau Wulamoni dan danau Tumondu.

Upacara posobhaghoo motonuno dimana kegiatannya adalah mencampurkan air danau Motonuno dengan air dananu Wulamoni atau dengan air danau Tumondu, menurut kepercayaan di Muna dianggap sebagai upacara mengawinkan perempuan bernama Wamata dengan laki-laki bernama Wulamoni atau dengan Latumondo, perkawinan mana akan membawa hujan lebat.

2. Upacara Adat Okanda

Okanda artinya gendang. Upacara adat okanda adalah suatu upacar tradisional yang dilakukan oleh suku Tolaki di desa Benua dan sekitarnya pada setiap tahun menjelang pembukaan area perladangan baru yaitu sekitar bulan September.

Upacara ini dilakukan pada petang hari menjelang terbitnya bulan dilangit yang ke 14. Sebagai rangkaian upacara tersebut sejak pembukaannya sampai 3 hari 3 malam berturut-turut diramaikan dengan mengadakan tarian lulo nggada, moanggo (seni suara) dan permainan-permainan rakyat lainnya yang dilakukan oleh muda mudi.

Seluruh rangkaian upacara mempunyai tahap-tahap sebagai berikut, upacara penurunan okanda dari rumah alih warisnya ketempat pelaksanaan upacara pokok. Upacara ini dilakukan pada petang hari sekitar pukul 16.30 WITA.

Sesudah pewaris kanda menurunkannya dari loteng, kemudian dijemur beberapa menit. Upacara diawali dengan upacara mooakoy wonua (mendoakan negeri) di rangkaikan dengan upacara mooakoy okanda (mendoakan gendang).

Upacara mosehe (upacara korban) yang terdiri dari mosehe dahu yaitu upacara yang dilakukan dengan mengorbankan anjing dan mosehe manu wila (ayam putih) yakni upacara yang dilakuakn dengan mengorbankan seekor ayam putih.

Kemudiabn upacara kinaa ngganda yakni upacara penurunan makanan dari rumah panggung untuk upacara okanda, yang dirangkaikan dengan mosehe ndilelu (upacara korban dengan telur sebagai alat bahan upacara.

Acara-acara penunjang lainnya berupa tarian rakyat yang disebut lulo ngganda, umoara dan pencak silat.

3. Upacara Paduai Bido

Upacara paduai bido ma baeasin artinya upacara penurunan perahu ke laut dikalangan orang Bajo, upacara ini mempunyai tahap-tahap sebagi berikut: Tahap Malau sanro bido, artinya memanggil dukun perahu kemudian tahap pasangah papan malunasa oleh Sanrona bido, artinya upacara pemasangan papan pertama di lunas perahu oleh dukunnya.

Setelah itu ditagunna linggi malunasa artinya upacara pemasangan tiang perahu pada lunas. Upacara diponsone bido oleh Sanrona, artinya upacara melubangi lunas perahu oleh dukunnya selanjutnya upacara paduai bido ma baeasin artinya upacara penurunan perahu ke laut.

Maksud dari penyelenggaraan upacara penurunan perahu pada orang Bajo adalah untuk memohon perlindungan kepada dewa laut dan mahluk-mahluk halus, agar di dalam mereka mengarungi lautan untuk mencario nafkah dengan perahu sebagai sarannya.

Dapat terhindar dari musibah dan malapetaka. Sebaliknya ada harapan semoga mereka memperoleh berkah dan keselamatan. Jadi pelaksanaan upacara dengan pengorbanan hewan dan adanya sajian-sajian diharapkan kemurkaan dewa-dewa, mahluk-mahluk halus arwah nenek moyang dapat dihindarkan.

Selain itu, dimaksudakan sebagai perwujudan kepercayaan lama yang sudah dilakukan secara turun-temurun serta sebagai perwujudan rasa kekeluargaan yang mendalam dikalangan orang Bajo.

 

Sumber : Buku Upacara Tradisional Dalam Kaitannya Dengan Peristiwa Alam dan Kepercayaan Daerah Sulawesi Tenggara Tahun 1984

Penulis : Ilham Surahmin
Editor  : Rustam

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini