56 Tahun PMII, MEA Mesti Dihadapi

173

Seperti yang dikutip dalam pidato M.Rodli Khaelani, mantan Ketua Umum PB PMII pada peringatan Harla PMII ke-49 bahwa dalam ensiklopedia dunia telah tercatat pada 17 April 1960 di Surabaya lahirlah sebuah organisasi kemasyarakatan pemuda yang dilahirkan sejumlah mahasiswa dan kaum muda intelektual nahdlatul ulama yaitu Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia.

Falihin Barakati

Hal ini menunjukkan bahwa lahirnya PMII menjadi salah satu peristiwa dunia yang tercatat dalam sejarah dunia. Lahirnya PMII tidak terlepas dari kondisi sosial politik bangsa Indonesia di masa Orde Lama serta keberadaaan dan eksistensi organisasi kemahasiswaan.

Keberadaan organisasi kemahasiswaan khususnya eksternal kampus tidak dapat dilepaskan dari situasi nasional saat pemerintahan orde lama. Bahkan banyak organisasi kemahasiswaan dengan berbagai latar belakang ideologi dari nasionalis sampai agamis hingga komunis turut andil dalam pergolakan sosial politik saat itu untuk ikut mempengaruhi kebijakan pemerintah.

Dinamika kehidupan mahasiswa yang seperti itu telah mendorong sekelompok mahasiswa nahdliyin untuk ikut berperan didalamnya, sebab dalam suasana seperti itu para mahasiswa nahdliyin merasa tidak cukup tersalurkan aspirasinya hanya melalui HMI.

Wajar bila akhirnya para mahasiswa nahdliyin segera membentuk wadah tersendiri, disamping alasan intern yakni IPNU sudah tidak lagi mampu mewadahi gerakan para mahasiswa nahdliyin tersebut (Fauzan A: 1999). Dalam proses itulah kemudian lahirlah PMII dengan memilih nasionalisme sebagai identitas ke-Indonesiaannya dan Islam Ahlul Sunnah wal Jama’ah sebagai ideologinya.

Kini memasuki 56 tahun sudah PMII berkiprah di Indonesia dengan berbagai catatan-catatan sejarah perjalananya. Usia yang lebih dari setengah abad ini menjadikan PMII cukup mapan dalam menghadapi berbagai tantangan zaman saat ini dan ke depan. Perlu suatu persiapan yang matang dalam menghadapi situasi yang berbeda dengan masa lalu dimana saat ini tantangan zaman lebih kearah globalisasi, baik dari segi sosial, politik, budaya maupun ekonomi.

Dari berbagai perubahan tantangan itu, penulis lebih memfokuskan terhadap tantangan ekonomi dimana diberlakukannya MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) akan menjadi ombak besar yang akan menghantam kaum muda Indonesia khususnya kader-pkader PMII bilamana tidak dipersiapkan untuk menghadapi situasi tersebut. Ketika kader-kader PMII hanya sebatas bergelut dalam dunia gerak sosial-politik tanpa mempersiapkan diri dengan potensi enterpheuner sebagai gerak ekonomi maka bukan hal yang mustahil kader PMII akan digilas oleh zaman.

Keadaan ini berlaku terhadap kader-kader PMII secara nasional tak terkecuali bagi PMII Sultra. Sejak 1992 masuk di jazirah tenggara pulau Sulawesi, PMII telah mengalami pasang-surut dalam proses perkembangannya.

Menurut Jaelani SF, kader-kader PMII Sultra lebih beragam karena berbasiskan kampus umum dengan menempatkan gerakan jalanan sebagai instrument strategis dalam mendorong perubahan dan menjadi ruang dalam orientasi aktualisasi mahasiswa.

Pertanyaannya apakah pola demikian akan efektif ketika MEA menggelinding di Sultra? Inilah pertanyaan yang mesti dijawab sebagai landasan gerak selanjutnya bagi kader-kader PMII Sultra agar menyiapkan diri dengan segala potensi yang ada, bukan hanya kehebatan gerakan jalanan, tidak hanya cerdas gerakan intelektual tetapi perlu suatu gerakan enterpheunership agar lebih kompetitif dan siap untuk berkompetisi dalam segala ruang di era MEA saat ini.

Tentu dalam perjalanan menuju medan gerak enterpheuner akan ada banyak hambatan dan tantangan terutama ketika harus sedikit mengurangi kebiasaan gerakan jalanan yang menjadi karakteristik anggota dan kader PMII Sultra.

Tetapi, bukan berarti dengan begitu sikap kritis juga harus dikikis. Namun ada sedikit reposisi medan gerak sesuai kontekstual zaman. Sebenarnya reposisi medan gerak mahasiswa sudah dimulai pasca reformasi.

Puncak jalanan yang dijadikan medan gerak mahasiswa terjadi pada peristiwa reformasi 1998, pasca itu gerakan jalan sudah tidak seseksi sebelum-sebelumnya. Ini juga bukan tanpa alasan, namun realitas menunjukkan bahwa orang dengan background aktivis akan kalah bersaing dengan para kapitalis yang notabenenya berduit.

Ketika para aktivis tidak menyiapkan diri untuk menghadapi hal ini, maka bisa jadi ruang-ruang politik dan pemerintahan akan dikuasai oleh para politikus atau birokrat yang berlatar belakang kapitalis. Olehnya itu mesti aktivis berusaha untuk bermetamorfosa menjadi wirausaha hingga disebut sebagai aktivis-wirausaha untuk mengimbangi dominasi kapitalis di ruang-ruang politik dan pemerintahan.

Hemat penulis, salah satu langkah konkret yang bisa dilakukan kader-kader PMII Sultra dalam mengarungi medan gerak enterpheunership untuk menyiapkan diri sebagai aktivis-wirausaha muda adalah memasukkan materi khusus tentang kewirausahaan muda dalam setiap proses perekrutan anggota baru atau pengkaderan (MAPABA, PKD dan PKL) sebagai bekal intelektual tentang enterpheuner.

Untuk pengembangan hal itu dalam mewujudkan kekreatifan dan skill kewirausahaan anggota maupun kader PMII, maka mesti ada pelatihan kewirausahaan muda yang selanjutnya disediakan ruang usaha, sebagai wadah wirausaha anggota dan kader PMII Sultra.

Bukan menjadi suatu hal yang mustahil, ketika PMII Sultra mampu menjadi corong peregerakan mahasiswa di era MEA ketika anggota maupun kader-kadernya siap secara intelektual, siap secara moral dan siap secara skill untuk berkompetisi di ruang-ruang Masyarakat Ekonomi Asean. Selamat Harla PMII ke-56, 17 April 2016.(***)

 

Oleh : Falihin Barakati
Penulis Merupakan Wakil Ketua PKC Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Sultra

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini