Alpen : Perempuan yang Paling Dirugikan dari Aktivitas Pertambangan

303
KONFERENSI - Aliansi Masyarakat Sipil Sulawesi Tenggara (Sultra) saat menggelar konferensi dalam rangka hari perempuan sedunia (IWD) 2019 guna mengecam tindakan represif polisi dan Pol PP dalam membubarkan secara paksa massa aksi demonstrasi di Kantor Gubernur Sultra. (Foto: Fadli Aksar/ZONASULTRA)

ZONASULTRA.COM, KENDARI – Aliansi Masyarakat Sipil Sulawesi Tenggara (Sultra) mengecam aksi pemukulan yang dilakukan oleh petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan pihak kepolisian terhadap massa aksi anti tambang Konawe Kepulauan (Konkep) di Kantor Gubernur Sultra pada Rabu (6/3/2019).

Salah satu organisasi yang tergabung di dalamnya adalah Aliansi Perempuan (Alpen). Direktur Utama Alpen Sultra Hasmida Karim menegaskan, kaum yang paling dirugikan ketika industri pertambangan beroperasi adalah perempuan.

Menurutnya, masuknya industri tambang seperti di Konkep, akan mengalih fungsikan kawasan pertanian, perkebunan dan sektor lain, sehingga perempuan yang akan kehilangan pekerjaan karena tidak punya skill dalam dunia pertambangan.

(Baca Juga : Polda Tindaklanjuti Laporan Korban Penganiayaan Demo Tambang)

“Makanya kami dengan gabungan Aliansi ini menolak izin pertambangan di Konkep yang memang tidak peruntukkan untuk tambang. Pulau Wawonii itu mayoritas mata pencaharian petani dan nelayan,” ujar Hasmida Karim saat memperingati Hari Perempuan Internasional di salah satu warung kopi di Kendari, Jumat (8/3/2019).

BACA JUGA :  Kapolda Sultra Ingatkan Jajaran untuk Profesional dan Netral di Pemilu

Contohnya di kelurahan Sambuli, kota Kendari, kata Hasmida, sebelum dibangun penampungan gas, masyarakat di sana mayoritas sebagai pengolah rumput laut, sebanyak 150 orang. Namun ketika Pemerintah Kota Kendari mengizinkan pembangunan pelabuhan untuk pertamina gas, maka 150 warga kehilangan mata pencahariannya.

“Karena air lautnya sudah tercemar, ini dari lalu lintas laut saja, sehingga ini yang membuat masyarakat nelayan dan petani yang kehilangan mata pencahariannya. Banyak dari kelompok kami yang menjadi buruh kasar, dan upahnya berapa,” katanya.

Hasimida melanjutkan, contoh lain ada yang berangkat menjadi penambang lokal di Bombana, mereka pulang bukan bawa rejeki tapi membawa penyakit. Menurut dia, karena penambangan rakyat yang di Bombana itu sangat tidak ramah lingkungan bahkan cenderung merusak lingkungan, karena sudah tercemar mercuri

“Pertambangan ini berdampak pada bukan hanya sumber mata pencaharian perempuan, tapi pada tubuh sehingga mengganggu kesehatan reproduksi. Kami mencatat 933 perempuan menjadi pekerja seks, karena lahan pertanian dan perkebunan menjadi lahan pertambangan,” cetusnya.

BACA JUGA :  Daftar Figur yang Berpotensi Maju Pilgub Sultra 2024

(Baca Juga : Dikeroyok Saat Demo, Warga Wawonii Polisikan 6 Anggota Satpol PP)

Ia mengungkapkan, banyak perempuan muda yang tereksploitasi secara seksual dengan melakukan kawin kontrak dengan tenaga kerja yang ada di tambang, baik pekerja asing maupun lokal. Namun yang pasti ada eksploitasi seksual pada perempuan muda dari Kecamatan Morosi, Kabupaten Konawe.

“Di Kota Kendari sendiri, ada pekerja seks perempuan yang bekerja secara lokalisasi dan ada yang freelance yang tidak memiliki satu tempat. Kebanyakan yang freelance itu ada yang berasal dari kabupaten yang beralih fungsi lahan ke pertambangan,” ucapnya.

933 PSK itu bekerja secara secara lokalisasi di Kota Kendari, baik berasal dari lota lulo sendiri dan daerah lain. Hasmida menyebut dari jumlah itu, ada dua orang yang positif terjangkit penyakit HIV/AIDS. (a)

 


Kontributor : Fadli Aksar
Editor : Kiki

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini