Banyak Gugatan Ditolak MK, DKPP “Kebanjiran” Aduan Pelanggaran

73
Jimly Asshiddiqie
Jimly Asshiddiqie

ZONASULTRA.COM, KENDARI – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI telah menerima sebanyak 163 pengaduan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu. Aduan yang masuk tersebut per hari Jumat (10/3/2017) lalu.

Berita Terkait : DKPP Proses 1 Aduan Kode Etik Pilwali

Jimly Asshiddiqie
Jimly Asshiddiqie

Melalui pers rilis Humas DKPP yang diterima Zonasultra.com, Ketua DKPP RI Jimly Asshiddiqie mengatakan semua pengaduan tersebut berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2017. Salah satu faktor yang memengaruhi banyaknya pengaduan ke DKPP adalah adanya penolakan atau kegagalan para pengadu untuk maju ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Seperti diketahui, Undang-Undang Pilkada secara ketat membatasi persyaratan gugatan perselisihan hasil pemilihan (PHP) ke MK. Gugatan ke MK mempertimbangkan jumlah penduduk di daerah setempat dengan persentase hanya 0,5 persen sampai 2 persen selisih suara.

“Banyak kandidat yang gagal maju ke MK karena batas selisih yang dipersyaratkan sangat ketat. Mereka yang gagal merasa tidak puas, akibatnya DKPP menjadi pelampiasan,” ungkap Jimly di Ruang Sidang DKPP, Jakarta, Jumat (10/3/2017) lalu.

BACA JUGA :  [HOAKS] Konten TikTok soal Alumni Trisakti Deklarasi Dukung Jokowi

Menurut Jimly, selain karena faktor kegagalan di MK, ada juga pengadu yang secara paralel mengadukan ke dua lembaga itu (DKPP dan MK) dengan harapan bisa menang dua-duanya. Kalaupun salah satu kalah masih ada harapan di satu lembaga lagi.

Hal seperti itulah yang menyebabkan pengaduan ke DKPP jauh lebih banyak dibanding pengaduan ke MK. Dari data diketahui, sampai batas akhir pengajuan PHP terkait Pilkada 2017, MK hanya menerima 48 laporan.

“Saya sampaikan, DKPP ini pegawainya tak lebih dari 40 orang. Tapi insya Allah kami bisa menanganinya dengan baik,” ujar Jimly.

Menurut Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia ini, soal ketatnya aturan gugatan PHP di MK tak lepas dari pola pikir (mindset) yang memahami peradilan hanya berkait dengan soal kalah dan menang. Termasuk para hakim juga pola pikirnya kebanyakan seperti itu.

BACA JUGA :  [SALAH] Partai PBB Menyatakan Deklarasi Mendukung Anies Sebagai Presiden 2024

Lanjut dia, pembatasan di MK bisa jadi cukup logis karena mempertimbangkan antara jumlah putusan dengan batas waktu penanganannya yang hanya 45 hari. Tujuannya untuk menjamin keseriusan dan kualitas putusan yang dihasilkan.

Namun kata Jimly, harus ada pemahaman bahwa fungsi peradilan adalah sebagai kanal atau sarana penyelesaian masalah (conflict resolution). Negara harus hadir dan bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah, bukan justru membatasi. Kalau itu diteruskan, hal tersebut tidak sehat untuk negara demokratis yang menjunjung keadilan sosial seperti di Indonesia.

“Saya katakan seperti ini bukan karena DKPP kebanjiran perkara. Kami senang saja, karena ini kesempatan untuk mengabdi pada negara,” kata Jimly yang juga Ketua MK periode 2003-2008. (A)

 

Reporter : Muhamad Taslim Dalma
Editor : Jumriati

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini