“Birokrasi”, Dalam Belenggu Klientalisme

2247
Rekha Adji Pratama
Rekha Adji Pratama
Rekha Adji Pratama
Rekha Adji Pratama

 

Tulisan ini kurang lebih akan menjelaskan mengenai bentuk-bentuk dan cara kerja jaringan klientalisme jika hal tersebut dikaitkan dengan pemilihan umum kepala daerah dan aparat birorkasi pemerintahan.

Dalam tulisan ini penulis menggunakan istilah “patron” yang artinya sosok yang memiliki dan memegang “sumber daya” semisal gubernur, walikota, bupati, anak walikota ataupun aktor yang memiliki kekuasaan dan sumberdaya baik materi, jabatan, ataupun wewenang.Kemudian“klien” yakni bawahan sang patron atau ditulisan ini yang dimaksud adalah para aparat birokrasi atau PNS.Oke, sebelum panjang lebar menjelaskan bagaimana bentuk-bentuk cara kerja jaringan klientalisme tersebut, saya akan menjelaskan terlebih dahulu pengertian dari “klientalisme” secara kosnseptual. Secara harfiah istilah klientelisme berasal dari kata “cluere” yang artinya adalah “mendengarkan atau mematuhi”.

Kata ini muncul pada era Romawi kuno yang menggambarkan relasi antara “clientela” dan “patronus”. “Clientela” pada era ini adalah istilah untuk menyebut kelompok orang yang mewakilkan suaranya kepada kelompok lain yang disebut “patronus”, yang merupakan sekelompok aristokrat. Selanjutnya, disebutkan bahwa “clientela” merupakan pengikut setia dari “patronus” (Muno 2010, h.2).

Klientelisme adalah jaringan antara orang-orang yang memiliki ikatan sosial, ekonomi dan politik yang didalamnya mengandung elemen iterasi, status inequality dan resiprokal. Kemudian, klientelisme juga adalah relasi kuasa antara patron dan klien yang bersifat personalistik, resiprositas, hierarkis dan iterasi yang di dalamnya mengandung relasi timbal balik yang saling menguntungkan. Maka dapat dipastikan bahwa klientelisme berbicara tentang jaringan atau relasi. Jaringan tersebut  mengandung relasi kuasa yang tidak setara dimana patron memiliki kuasa penuh terhadap jaringan tersebut. Dalam kajian politik, klientelisme diartikan sebagai jaringan yang dikuasai patron untuk mengintervensi kliennya.

Klientalisme Dan Pemilu

Klientelisme biasanya dikaitkan dengan fenomena pemilu. Stokes (2012) misalnya menyebutkan bahwa klientelisme adalah aktivitas dimana politisi menukarkan barang yang ia distribusikan dengan suara pemilih pada saat pemilu. Maka klientelisme sangat erat berkaitan dengan pemilu. Karena klientelisme adalah cara yang dipercaya efektif untuk menghubungkan kandidat dengan pemilih. Meskipun ikatan klientilistik sudah terjadi dalam waktu yang cukup lama, namun pada saat pemilu ikatan ini akan semakin diperkuat. Hal ini disebabkan kecenderungan klientelisme yang dianggap sebagai strategi yang efektif dalam pemilu.

Klientelisme memang menjadi cara yang efektif dalam mengamankan suara pemilih. Karena ia tidak hanya membagi-bagikan sumber material, namun juga mengandalkan ikatan sosial yang telah terbentuk. Namun, tidak semua kandidat dapat melakukan klientelisme. Klientelisme, biasanya lebih banyak dilakukan oleh calon “incumbent” atau calon yang mempunyai kekuasaan yang sedang berjalan dalam pemerintahan. Alasannya, calon incumbent lebih memiliki akses terhadap sumberdaya negara. Sehingga, ia dapat menggunakan sumberdaya negara untuk menjaga loyalitas kliennya. Selain itu, calon incumbent memiliki akses untuk mengalokasikan sumber kekayaan negara untuk program kesejahteraan kliennya jauh hari sebelum pemilu dilakukan.

Maka dari itu, dapat disimpulkan beberapa hal terkait hubungan antara klientelisme dengan pemilu. Pertama, klientelisme sangat berkaitan erat dengan pemilu, bahkan menjadi strategi yang mutakhir untuk memenangkan pemilu. Kedua, pada saat pemilu ikatan klientilistik akan semakin diperkuat oleh patron misalnya dengan meningkatkan insentif kepada klien atau menggunakan strategistrategi dalam patronase. Ketiga, calon incumbentatau keluarga dari walikota.bupati yang sedang menjabatmemiliki peluang yang jauh lebih besar untuk melakukan klientelisme karena penguasaannya atas sumberdaya penting termasuk kekuasaan

Terjebak Klientalisme

Salah satu masalah yang sering terjadi di ranah politik lokal adalah adanya patronase dan klientalisme politik di tingkat daerah. Gubernur, bupati, dan wali kota, sering kali menguras kekayaan daerah melalui jaringan ekonomi-politik yang masif. Tujuannya tak lain adalah melanggengkan kekuasaan politik dan menumpuk kekayaan ekonomi.  Kemudian, prinsip loyalitas yang dipahami secara keliru oleh aparat birokrasi turut pula memberikan implikasi pada rendahnya kemampuan melakukan tindakan diskresi.

Prinsip loyalitas yang dipahami dalam konteks struktur piramidal kekuasaan birokrasi menyebabkan persepsi yang berkembang dalam birokrasi adalah loyal kepada pimpinan karena jabatan pimpinan, bukan loyalitas yang dipahami sebagai ketaatan secara institusional dan profesional atas dasar visi dan misi organisasi serta tujuan pelayanan.

Kesalahan dalam memahami makna loyalitas telah menyebabkan orientasi kinerja aparat cenderung vertikal dan ini yang membuat hubungan klientalisme berkembang dan tidak bisa dihindari.Terminologi politik modern menyebutkan, sangat sulit untuk memisahkan antara politisi sebagai “aktor politik” otonom dengan birokrasi.

Ini karena aktor politik tidak hanya bertindak sebagai aktor pembuat kebijakan tetapi juga melakukan penetrasi terhadap gelanggang birokrasi.

Hubungan “rumit” antara politisi dan birokrasi inilah menjadi pintu masuk jaringan klientalisme. Kebanyakan walikota ataupun bupati lebih berperan sebagai politisi dari pada kepala birokrasi yang seharusnya memberikan kebijakan pelayanan maksimal kepada rakyat. Karena itu, pengadaan proyek-proyek pembangunan tak lebih dari bagi-bagi keuntungan bagi kepala daerah dan kroni politiknya guna kepentingan pribadi ataupun keluarga.

Klientalisme di Kota Kendari sendiri bukanlah merupakan hal yang baru muncul atau baru nampak berlakangan ini. Namun, budaya tersebut sudah lama bahakan sudah terbentuk sekian lama di lingkup birokrasi Kota Kendari. Bahkan sejak pemilihan walikota periode 2007 hingga sampai sekarang ini yang polanya tetap sama namun cumna aktornya saja yang berbeda.

Mobilisasi Dan Dilema Birokrasi

Kepala daerah pada masa demokrasi dipilih secara langsung pada kontestasi politik pemilukada. Kepala daerah yang membutuhkan dukungan suara dan materi, mencoba merangkul berbagai kalangan untuk mendapatkan dukungan untuk memenangkan kontestasi politik salah satunya adalah para birokrasi. Ada kondisi dimana disatu sisi pejabat politik yang mengikuti pemilukada membutuhkan dukungan suara dan dukungan materi untuk melancarkan jalannya menuju kemenangan meraih kursi dalam Pilkada. pada sisi lain birokrasi juga menginginkan adanya peningkatan dalam kariernya di pemerintahan atau minimal aman pada posisi jabatannya saat ini.

Alhasil para birokrasi pun mau tidak mau harus tunduk dan patuh terhadap keinginan patronnya atau sang politisi demi menghindari murka dari atasan. Salah satu bentuk jaringan klientalisme yang dibangun antara politisi dan birokrasi adalah dengan cara “mobilisasi suara” di masyarakat.

Dalam memobilisasi suara di masyarakat sang patron juga biasanya mengandalkan kekuatan para birokrasi terutama para kepala dinas, lurah dan camat untuk meraih suara sebanyak mungkin dan menjalin hubungan yang klientalistik dengan masyarakat sebagai sasarannya. Mekanisme yang dilakukan oleh para birokrasi tersebut antara lain dengan cara pembelian suara dari masyarakat(money politics), mengkampanyekan sang patron atau bahkan menggunakan uang negara dan fasilitas negara untuk kepentingan politik sang patron.Jadi seakan-akan disini para birokrasi menjadi sosok broker bagi sang patron untung menjalankan kepentingan politiknya.

Patuh Atau Jatuh!!!

Konstelasi politik di lingkungan birokrasi Kendari saat menjelang pemilukada yang mengandung relasi yang klientalisitik. Dimana, penentuan karir dan jabatan yang dilakukan yang dalam istilah manajemen  “the right man on the right place” jauh dari kenyataan karena hanya mengedepankan kepentingan dan keuntungan masing-masing pihak.

Data lapangan menemukan yang terjadi dalam penentuan jabatan berbasiskan siapa yang mendukung dan loyal kepada sang patron secara politik baik materi ataupun simbolik baik saat pilkada maupun setelah pilkada. Belum lagi fenomena mutasi jabatan bagi PNS yang tidak loyal atau tidak mau mendukung sang patron dalam pilkada yang dilakukan jelang hajatan pilkada juga turut makin menyuburkan praktik-praktik klientalisme di lingkup birokrasi pemerintahan. Jadi jangan heran jika menjelang hajatan pilkada kebanyakan para kepala daerah melakukan banyak mutasi pegawai dalam rangka konsolidasi dukungan birokrasi terhadap dirinya.

Sudah menjadi logika umum, setiap politisi yang memenangkan pertarungan politik di era desentralisasi akan berupaya membangun strategi agar kekuasaan yang dimilikinya minimal dapat bertahan hingga akhir periode, bahkan jika memungkinkan, kekuasaan yang dimiliki dapat diperpanjang baik oleh dirinya ataupun oleh keluarga anak atau istrinya. Tentunya untuk mencapai maksud tersebut, politisi melakukan berbagai strategi. Mulai parktik power sharing (berbagi kekuasaan), praktik rent seeking, menjadikan (PNS) tim sukses sebagai pejabat publik, menggelontorkan proyek pembangunan di basis-basis kemenangan, penyaluran dana bansos yang sangat kental dengan relasi politik,dan yang paling sering terjadi yakni memobilisasi birokrasi sebagai kekuatan politik.

Hal-hal seperti diatas itu lah yang semakin menyuburkan praktik-praktik patronase dan klientalisme di lingkup birokrasi. Disaat tengah gencarnya gagasan reformasi birokrasi pemerintahan, malah faktor kepentingan pribadi ataupun golongan mengalahkan hal tersebut. Para birokrasi mau tidak mau terjebak dalam belenggu ikatan klientalisitik yang dari dulu sampai saat ini masih saja menjadi momok bagi birokrasi pemerintahan kita khususnya di Kota Kendari.

Menurut pandangan penulis faktor penegakan hukum yang masih lemah saat ini menjadi salah satu penyebab masih bebasnya praktik-praktik tersebut berjalan di indonesia. Ditambah lagi mekanisme pengawasan yang masih kurang ketat di lingkup birokrasi pemerintahan semakin menambah subur praktik-praktik tersebut. Maka dari itu mari bersama kita kawal Pilwalkot kendari ini agar bisa terlaksana dengan adil dan jujur tanpa ada intervensi dan kecurangan dari pihak-pihak yang sedang berkuasa saat ini.

***

Oleh : Rekha Adji Pratama
Penulis Merupaka Pengamat & Peneliti di Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini