Dari Sebuah Pertunjukan Sastra

95
Andi Syahrir
Andi Syahrir

Begitu terobsesinya saya dengan gitar, saya pernah membatin untuk menikahi perempuan yang pandai bermain gitar. Saya mengenal perempuan teman kosku yang jago main gitar. Saya belajar main gitar darinya. Tapi saya bukan Presiden Perancis terpilih Emmanuel Macron yang nekad menikahi perempuan 25 tahun lebih tua darinya. Teman kosku jauh lebih tua dariku.

Berpekan-pekan lamanya memetik-metik dawai gitar hingga ujung-ujung jariku mulai kapalan, saya akhirnya berhasil membawakan lagu Akhir Cinta dari Panbers yang didominasi oleh nada G, D, dan A minor. Pencapaian yang “luar biasa”.

Andi Syahrir
Andi Syahrir

Saya akhirnya menyadari bahwa memaksakan diri bermain gitar tidak baik bagi kesehatanku. Alih-alih bahagia, saya lebih banyak dongkol ketika mengatur poisisi jariku di senar gitar. Saya tidak punya bakat sama sekali. Belasan tahun berselang, seluruh posisi jemari untuk mencipta nada-nada itu lenyap dari ingatanku.

Beberapa pekan lalu, seorang sahabat penyair Sultra, Syaifuddin Gani, mengundang saya dalam sebuah acara di rumah baca yang dikelolanya. Dia menyuguhkan musikalisasi puisi yang dibawakan oleh anak-anak muda. Saya kembali hanyut oleh petikan gitar yang mengiringi lantunan bait demi bait puisi. Saya berjanji, kelak jika ada acara serupa, saya bertekad hadir. Menikmati petikan gitar.

Senin malam, 22 Mei 2017, sastrawan di Kendari menggelar konser. Konser sastra. Lagi-lagi ada musikalisasi puisi. Saya hadir dan mendapat “bonus”: pertunjukan gambus, teater, pembacaan puisi, dan orasi kebudayaan. Dan pembawa acara berwajah polos, lugu, tapi kocak. Wajahnya tak berdosa tapi otaknya nakal mencipta celetukan jenaka. Saya nge-fans. Saya belum tahu namanya. Pembaca bisa membantu saya mencari tahu anak muda ini? (Lho, katanya terobsesi sama gitar, kok nge-fans nya ke MC, bukan gitaris? Mmmm…nganu, deviation of obsession…hehehe).

Ada beberapa hal yang mengesankan dari penampilan malam itu selain petikan gitar dan gambus yang mendayu-dayu. Ada gadis bangsawan dengan tenunan adat yang dikenakannya. Cara dia berdeklamasi membawaku seolah dia hanya sedang bercakap denganku seorang ditemani oleh lesung pipinya.

Suaranya yang merdu kadang lembut menyapa seperti semilir angin pantai. Di lain waktu dia memekik garang meneriaki ketidakadilan. Di menit lain, saya cemburu ketika dia disapa Juwita, yang lima tahun tak dijumpai. Namanya Wa Ode Nur Iman, sutradara dari pertunjukan. Saya menyalaminya di akhir acara. Saya tidak tahu apakah dia juga pandai bermain gitar.

Saya mencari-cari kawan duetnya, Al Galih, untuk menyalaminya dengan takzim. Tapi tak bersua. Dia begitu pandai merangkai puisi jenaka yang sarat dengan pesan yang menyentuh. Lalu suara emas dari perempuan kelompok musik Vibra meningkahi petikan-petikan gitar. Kadang centil, kadang menyayat berkisah tentang negeri Buton.

Dan tidak kalah penting, saya menjumpai seseorang yang sudah lama kukagumi. Dia bagian dari “panitia” pertunjukan ini. Seorang penulis yang namanya sedang berkibar. Deasy Tirayoh. Saya menyalaminya. Berbincang sejenak dan menceritakan saya sebuah rahasia tentang seseorang yang enggan naik pesawat terbang.
*** *** ***
Kata orang, bahagia itu tidak perlu dicari, tapi diciptakan. Bahagia itu selalu ada dan dekat. Berdiam dalam diri masing-masing. Seni dan berkesenian adalah cara mencipta bahagia. Sastra adalah satu dari aktualisasi seni dan berkesenian.

Konon, seorang Umar bin Khattab, pernah bersyair begini: “Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu agar mereka berani melawan ketidakadilan. Ajarkanlah sastra pada anak-anakmu agar mereka berani menegakkan kebenaran. Ajarkanlah sastra pada anak-anakmu agar jiwa-jiwa mereka hidup. Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu sebab sastra akan mengubah yang pengecut menjadi pemberani.”

Sastra adalah cara untuk melembutkan hati tanpa dogma. Sastra adalah menyampaikan nilai-nilai kebajikan tanpa menggurui. Sastra adalah ruang berekspresi untuk mengakrabi etika dan estetika agar lebih peka. Agar lebih responsif terhadap realitas-realitas kehidupan.

Sastra mampu menghimpun manusia untuk menangis, tertawa, marah, sedih –atau paling tidak– bertepuk tangan bersama-sama. Segala ekspresi emosional atas pengaruh seni sastra sesungguhnya respon-respon kebahagiaan.

Ulama kharismatik Musadar Mappasomba menyimpul kesusastraan sebagai sebuah proses pematangan diri. Matang nalar, naluri, dan nurani. Ketiganya seperti anak-anak sungai yang bertemu di muara bernama kebahagiaan. Apakah yang dicari dalam hidup ini?

Malam itu, Wakil Walikota Kendari ini meluangkan waktunya untuk berorasi. Lebih tepatnya menjahit sebuah pertunjukan sastra agar tidak sekadar menjadi “obat bius” untuk mengatasi sumpeknya persoalan hidup.

Saya melebur bersama pertunjukannya, suasananya, orang-orangnya. Menyesap secangkir kebahagiaan. Lewat sastra. Oleh Rumah Andakara.***

 

Oleh Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini