FSP BUMN Sebut Kebijakan Relaksasi Sektor Industri Strategis Langgar UUD

148
FSP BUMN Sebut Kebijakan Relaksasi Sektor Industri Strategis Langgar UUD
FSP BUMN STRATEGIS- Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN Strategis Wisnu Adi Wuryanto saat memberikan penjelasan terkait padangan mereka terhadap rencana kebijakan relaksasi DNI sektor Telekomunikasi dan Informasi (TI) dan Energi dan Sumber Daya Mineral (SDM), Rabu (5/12/2018) di Bandung. (Foto : Istimewa)

ZONASULTRA.COM, KENDARI – Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis (FSP BUMN Strategis) Wisnu Adi Wuryanto mengatakan bahwa kebijakan pemerintah di bidang investasi pada empat sektor, khususnya telekomunikasi dan informasi (TI) dan energi dan sumber daya mineral (ESDM) saat ini sudah sangat liberal.

Pernyataan ini merujuk pada rencana pemerintah merelaksasi Daftar Negatif Investasi (DNI) dengan mengeluarkan 25 bidang usaha dari daftar DNI, salah satunya sektor TI, ESDM, kesehatan, dan pariwisata, atau dengan kata lain terbuka 100 persen untuk penanaman modal asing (PMA).

“Hendaknya tidak perlu ditambah lagi bahkan mestinya dikurangi agar kedaulatan bangsa terjaga. Dengan kepemilikan asing boleh mencapai 67% di sektor TI dan 49% di sektor energi seperti yang berlaku saat ini sudah sangat terbuka, mestinya dikurangi agar anak negeri masih menjadi pemilik mayoritas di rumahnya sendiri,” kata Wisnu melalui siaran tertulis ke redaksi zonasultra.id, Rabu (5/12/2018).

Perlu diingat bahwa telekomunikasi dan energi adalah cabang produksi penting bagi negara yang menguasai hajat hidup orang banyak. Undang-undang Telekomunikasi Nomor 36 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan serta Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi menyatakan hal demikian.

Implikasi dari aturan tersebut, ditegaskan Wisnu, pemerintah harus memegang kendali atas arah perkembangan dan kepemilikan telekomunikasi dan energi guna memastikan sumber daya yang terbatas itu dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Dan jelas ini merupakan amanah Pasal 33 UUD 1945.

“Kita bisa bayangkan apabila penyelenggaraan jaringan telekomunikasi tetap, jaringan telekomunikasi bergerak, penyelenggaraan jasa konten dan aplikasi, pengelolaan energi di hulu serta pengelolaan energi hilir sepenuhnya dikuasai asing, maka negara ini seperti menyerahkan kedaulatan industri strategis ke pihak asing,” tukasnya.

Sebab, diketahui betapa pentingnya sektor telekomunikasi dan energi dalam menggerakkan perekonomian, kesejahteraan, sosial budaya, bahkan pertahanan keamanan negara.

Ia mencontohkan, apa yang terjadi jika nomor telepon para pejabat negara teregistrasi di operator telekomunikasi yang seluruh sahamnya dimiliki asing 100 persen.

Selain itu, pada sektor ESDM yang merupakan kebutuhan vital rakyat ternyata dilayani oleh perusahaan asing, akan mengakibatkan negara dan rakyat akan kehilangan kedaulatannya.

Ketua FSP Serikat BUMN Strategis yang membawahi serikat pekerja di Telkom, PLN, PJB, Indonesia Power, Telkomsel, dengan anggota puluhan ribu karyawan BUMN ini mengungkapkan satu-satunya kekuatan yang dimilik negara dalam rangka mempertahankan kedaulatan adalah kepemilikan modal.

Apalagi saat ini ketergantungan Indonesia kepada asing dalam hal produk teknologi telekomunikasi dan energi sangat tinggi. Jaringan telekomunikasi yang tersebar di Indonesia, perangkat konstruksi dan pengeboran migas dapat dikatakan hampir seluruhnya adalah produk impor.

Lantas, apa yang akan terjadi bila para produsen perangkat dengan teknologi tinggi tersebut dibolehkan memiliki modal sampai 100 persen saat mendirikan perusahaan jasa turunan produk-produk tersebut?

“Jika hal tersebut tetap dilaksanakan, mari kita tunggu hancur dan matinya perusahaan-perusahaan baik BUMN maupun swasta nasional yang mengelola sektor sektor tersebut. Kondisi yang sangat jauh dari cita cita ingin berdaulat di sektor telekomunikasi dan energi,” imbuhnya.

Khusus untuk sektor telekomunikasi/ICT, saat ini pun dengan pemodalan maksimal 67 persen asing, sumbangan kepada defisit neraca perdagangan di bidang ini sekitar Rp2,3 trilun. Hal itu karena negara belum bisa memproduksi sendiri untuk memenuhi kebutuhan.

Sehingga harusnya pemerintah lebih berkonsentrasi untuk mendorong dan menumbuhkembangkan industri sehingga dapat mengurangi defisit, bukannya membebaskan kepemilikan sampai 100 persen kepada asing, yang pasti akan membuat defisit semakin membengkak karena impor akan semakin banyak.

Kendati demikian, Wisnu menyampaikan, FSP BUMN Strategis tetap mengapresiasi pemerintah yang telah membuka ruang diskusi untuk mempertimbangkan masukan dari para stakeholder industri.

Dengan memperhatikan pentingnya dua sektor strategis di atas, maka FSP BUMN Strategis meminta kepada Presiden Jokowi untuk mempertimbangkan kembali rencana relaksasi DNI 100 persen terhadap sektor energi dan telekomunikasi.

FSP BUMN Strategis menilai bahwa kebijakan 100 persen PMA di sektor industri strategis, untuk bangsa dan negara diyakini akan lebih banyak keburukan dibanding kebaikannya.

Tapi jika hal tersebut tetap dilaksanakan, maka dipastikan kebijakan pemerintah tersebut bertentangan dengan amanah konstitusi UUD 1945.

“Terkait hal tersebut, Federasi akan melakukan perlawanan terhadap kebijakan dimaksud,” tutup Wisnu mengakhiri penjelasannya. (B)

 


Reporter: Ilham Surahmin
Editor: Jumriati

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini