Gempa Palu, Duka dan Warning untuk Kita

155
Andi Syahrir
Andi Syahrir

Husain Rustam adalah kawan kuliahku. Kami seangkatan di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin. Dia jurusan Agronomi. Saya jurusan Teknologi Pertanian.

Saya karib dengannya. Kami punya ikatan primordial. Sama-sama orang Selayar. Sama-sama perantau di ibukota provinsi.

Kami sering barengan mengambil lembar absensi ke ruang akademik fakultas. Uceng, demikian kami menyapanya, adalah ketua angkatan di jurusannya. Saya juga pernah jadi ketua angkatan. Lalu dikudeta. Tapi itu soal lain. Ada kisahnya tersendiri.

Lambat laun, karena kesibukan kampus, saya jarang bertemu dengan Uceng. Lalu nasib memisahkan kami. Setamat kuliah, dia pulang ke Selayar. Saya bertahan di Makassar hingga lima tahun setelah lulus. Lalu hijrah ke Kendari. Saya tidak pernah bertemu dengannya lagi.

Pagi tadi, seorang kawan berkabar. Kawan itu mengirimi saya sebuah foto. Saya nyaris tidak mengenalinya andai tidak disebutkan bahwa dia adalah Uceng. Ceritanya, dia ke Palu. Bersama dua orang anaknya. Hendak menghadiri acara pernikahan kerabatnya.

Dia terbang dari Selayar. Transit di Makassar, lalu lanjut ke Palu. Itu dua hari lalu. Uceng menginap di sebuah hotel. Bersama dua orang anaknya. Lalu bencana itu datang. Jumat, 28 September 2018 sore. Uceng terkena reruntuhan gedung hotel.

Sesungguhnya, dia bisa saja meloloskan diri. Tapi dia memilih melindungi dua anaknya. Jadilah mereka tiga korban, ayah-anak. Begitu kabar yang saya peroleh dari kawan tadi.

Palu –dan juga Donggala– masih diselimuti duka. Goncangan gempa telah merenggut banyak hal. Harta dan jiwa. Menyisakan kisah dukanya masing-masing. Begitulah kita di Sulawesi. Pulau yang dalam kepungan jalur gempa.

Dalam buku Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia Tahun 2017 yang disusun oleh Tim Pusat Studi Gempa Nasional, disebutkan Pulau Sulawesi tersusun atas tatanan struktur geologi yang aktif bergerak dengan kesepatan pergeseran yang berbeda-beda.

Paling tidak, ada lima struktur geologi yang aktif bergerak, yang “mengepung” Sulawesi. Di sebelah utara terdapat North Sulawesi Subduction dengan kecepatan pergeseran geodetic 42-50 mm per tahun. Kedua, Sesar Gorontalo yang memiliki kecepatan pergeseran 11 mm per tahun.

Ketiga, bergerak dari arah timur adalah Sesar Sorong dengan besar pergeseran 32 mm per tahun. Keempat, di bagian tengah Pulau Sulawesi adalah Sesar Palukoro yang aktif bergerak dengan besar pergeseran geodetic 41-45 mm per tahun dan pergeseran geologi 29 mm per tahun.

Menurut Bellier dkk (2001), seperti dikutip dari buku tadi, Sesar Palukoro dikenal sebagai sesar dengan pergeseran tinggi dengan kecepatan rendah. Oleh para ahli, sesar inilah yang disebut sebagai penyebab gempa Palu dan Donggala.

Kelima, sesar yang bergerak ke arah timur adalah Sesar Matano dengan besar pergeseran sekitar 20 mm per tahun. Di lihat dari posisinya, Sesar Matano adalah yang terdekat dan melintasi kawasan Sulawesi Tenggara.

Tidak heran jika dalam buku yang diterbitkan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat ini, terdapat 48 sesar aktif di Sulawesi yang terangkum dalam Peta Gempa Nasional 2017.

Untuk Sesar Matano saja, terdapat enam titik sesar yang disebut Matano Fault dengan variasi kedalaman antara 22 – 80 km.

Sesar yang terang benderang menunjukkan bahwa itu benar-benar terdapat di Sulawesi Tenggara adalah Sesar Buton A dengan kedalaman 29 km dan Sesar Buton B pada kedalaman 60 km.

Kemudian terdapat tiga Sesar Kendari Fault (Utara, Tengah, dan Selatan) dengan kedalaman masing-masing 24, 11, dan 10 km. Kabar buruknya lagi, masih banyak sumber-sumber gempa yang belum teridentifikasi dan terkuantifikasi secara baik.

Gempa Palu dan Donggala adalah duka kita. Sekaligus menjadi warning kita semua untuk tetap waspada mengingat sesar-sesar aktif yang begitu dekat dengan kita.

Menurut para ahli, bumi sedang menuju proses evolusi berikutnya, yakni bersatunya kembali daratan-daratan. Benua-benua.

Kita, manusia, tidak mampu mencegah kedatangan bencana itu. Kita hanya bisa meningkatkan kemampuan penyelamatan diri. Pemerintah dan kita semua harus bahu membahu untuk itu. Mulai sekarang.***

 

Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini