Hukuman Kebiri, Dendam yang Salah Arah!

108
La Ode Muhram Naadu
La Ode Muhram Naadu

Sontak menyentak perhatian, bagaimana pewacanaan hukuman kebiri menjadi topik perbincangan diberbagai media akhir-akhir ini. Terhitung tahun depan hukuman jenis ini akan berlaku di Indonesia. Kebiri (pengebirian atau kastrasi atau orchiectomy) adalah tindakan bedah dan atau menggunakan bahan kimia yang bertujuan untuk menghilangkan fungsi testis pada jantan atau fungsi ovarium pada betina. Bedah kebiri akan menyebabkan hilangnya Testis diketahui menghasilkan 95 persen hormon kejantanan atau testosteron.

La Ode Muhram Naadu
La Ode Muhram Naadu

Data Komnas Perlindungan Anak menyatakan dalam kurun 2010-2014 ada 21.736.859 laporan kejahatan terhadap anak, dengan angka kekerasan seksual mencapai 58 persen.

Kejahatan terhadap anak  pada Januari sampai Juni 2015 ada 1275 Kasus, dengan presentase kejahatan seksual mencapai 48 % . Angka-angka tersebut menunjukan tingginya angka kejahatan terhadap anak. Keberadaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas  Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak seolah tidak menahan laju kekerasan anak hingga pemerintah merasa perlunya pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak terutama kepada kejahatan seksual yang bertujuan untuk memberikan efek jera, serta mendorong adanya langkah konkret untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial anak.

Landasan Sanksi Sebagai Pembalasan

Berkenaan hukuman kebiri khususnya, ataupun pemberatan pidana pada umumnya memang menjadi suatu alat dalam instrument hukum yang bersifat menakuti pelaku untuk melakukan perbuatan kejahatan yang dimaksud. Dalam prespektif ini efek jera menjadi sasaran utama, dalam teori pemidanaan hal itu termaktub dalam Teori Absolut/Teori pembalasan (Vergeldings Theorien). Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan kejahatan atau tindak pidana. Teori ini diperkenalkan oleh Kent dan Hegel. Teori Absolut didasarkan pada pemikiran bahwa pidana tidak bertujuan untuk praktis, seperti memperbaiki penjahat tetapi pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan, dengan kata lain hakikat pidana adalah pembalasan (revegen).

Pertimbangan Berbagai Aspek

Sebagai puzzle-puzzle pertimbangan yang mestinya diharmonikan, Pengebirian menarik untuk dipertimbangkan dari berbagai prespektif. Dari prespektif agama Islam sebagai salah satu ‘source of the law’ hal ini jelas dilarang, dalam Islam hal ini termaktub dalam Hadist shahih yang berbunyi ; ”Rasulullah SAW telah menolak Utsman bin Mazh’un RA untuk melakukan tabattul (meninggalkan kenikmatan duniawi demi ibadah semata). Kalau sekiranya Rasulullah SAW mengizinkan Utsman bin Mazh’un untuk melakukan tabattul, niscaya kami sudah melakukan pengebirian.” (HR Bukhari no 5073;muslim no 3390).

Dari prespektif medis, pengebirian akan menyebabkan seorang pria kehilangan kemampuan membuahi yang akhirnya berujung pada gangguan mental, pelaku kejahatan seksual pada anak masih berpotensi melakukan aksi kejahatannya selama kondisi mentalnya tidak diobati. Nota bene dalam kasus ini pelaku adalah orang yang mengalami gangguan psikologis, jadi semestinya bukan alat kelamin pun libidonya yang disasar.

Dari prespektif sosiologis pengebirian justru menjadi boomerang, memunculkan masalah baru ketika pelaku yang dikebiri ini dapat bertindak lebih agresif, yang terjadi kemudian pelaku bukan sekadar menyasar kekerasan seksual, tetapi menyasar ke kekerasan segala-galanya. Solusi efektif adalah membangun kesigapan sosial dimana masyarakat harus waspada mengawasi gejala-gejala yang muncul, jadi dibutuhkan sosialisasi.

Sejatinya pengebirian tidak boleh dilakukan, pelaku seharusnya direhabilitasi untuk memulihkan kondisi psikologisnya, meskipun kejahatan terhadap anak merupakan perbuatan yang sangat amoral bukan berarti dibutuhkan suatu kritik moral yang represif nan kejam dalam menjawab tindakan yang salah, sebab dalam merumuskan tindak pidana kita wajib memperhatikan subyek hukum yang menjadi sasaran norma tersebut (addressaat norm).

Akar Masalah Yang Terlupakan

Merumuskan ketentuan pidana tidak boleh seenaknya, dilandasi like or dislike, kepentingan parsial dsb, sebab tentu harus mempunyai strategi, rambu-rambu, pengkajian yang mendalam. Secara formal di negeri ini ada Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (sebagai penyempurnaan UU No. 10 Tahun 2004) telah memberikan pedoman. Fakta mencengangkan menjelaskan berdasarkan penelitian oleh Pakar Hukum Pidana Chairul Huda, pemidanaan kita di Indonesia belum memberikan acuan yang komprehensif tentang bagaimana merumuskan ukuran suatu tindak pidana. Bagaimana terbayangkan hal itu terjadi dalam produksi hukum kita. Dari masalah itu pertanyaan yang muncul adalah sejauh apa nilai ketercelaan yang menyebabkan Pengebirian harus dilakukan pada pelaku kejahatan seksual terhadap anak?, bagaimana mengukur nilai ketercelaan itu?. Bukankah itu kekejaman yang menyiksa dalam waktu yang panjang, kenapa tidak dihukum mati saja langsung?, padahal yang terganggu adalah jiwanya, kenapa kita tidak berpikir untuk merehabilitasinya seperti pelaku obat-obat terlarang yang menghancurkan bangsa secara lebih luas efeknya?.

Standar Ganda Penghukuman Dari Kacamata HAM

Melakukan penghukuman atau merumuskan hukuman pada suatu ‘legal policy’ wajiblah menengok standar ganda kepada siapa hal itu diberlakukan (addressaat norm). Kenyataan yang ada menunjukan nilai ketercelaan antara pidana satu dengan yang lain tidak dapat diukur sejauh ini melalui perundang-undangan kita.

Pertanyaan-pertanyaan membandingkan bisa saja muncul dengan merujuk pada ketercelaan, efek, pelanggaran HAM, rumusan pidana pada tindak pidana korupsi dan kejahatan-kejahatan kerah putih (white collar crime) pada umumnya. Penghukumannya selalu luput dari pemidanaan yang dikenakan teori pembalasan (Vergeldings Theorien). Padahal jikalau kita mengukur efek dari kejahatan tersebut korbannya tidak hanya anak sebagai kelompok rentan, efeknyapun ajeg, tidak kasuistis, HAM dalam jumlah yang banyak terenggut secara massif dan pasti.

Tak heranlah jikalau dalam jangka waktu singkat penjahat-penjahat yang sadis sekelas koruptor dapat dengan segera menikmati sisa hasil korupsinya, sebab tak ada penghukuman yang bersifat pembalasan yang dikenakan padanya. Suatu hukuman yang terkesan biasa pada perilaku kejahatan luar biasa (extraordinary crime).

Bahan Introspeksi

Produk perundang-undangan adalah kebijakan  yang seharusnya bijak, seharusnya cermat. Tak pelak kita akui banyak produk perundang-undangan yang gagal paham terhadap akar permasalahan yang terjadi dimasyarakat. Keterwakilan rakyat pada pemimpin-pemimpin yang berkualitas tentunya wajib menghasilkan produk hukum berkualitas, entahlah hari ini mereka berkualitas atau tidak, kenyataan telah menunjukan legal policy pemerintah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ternyata banyak yang miskonsepsi hingga berujung pada menebar ketidakadilan.

 

Oleh : La Ode Muhram Naadu S.H*

*Penulis adalah Mahasiswa Prog.Pasca Sarjana Univ.Muhammadiyah Jakarta.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini