Inilah 6 Wisata Budaya yang Terkenal di Sultra

6237

ZONASULTRA.COM, KENDARIWisata budaya di Sulawesi Tenggara (Sultra) merupakan bagian dari ribuan budaya yang telah berkembang di Indonesia sejak zaman dulu kala.

Berdasarkan data yang dihimpun ZONASULTRA.COM dari berbagai sumber, sedikitnya ada 6 wisata budaya di Sultra yang terkenal.

1. Wisata Tenun Buton

Seni menenun telah dikenal di Sultra secara turun temurun dari nenek moyang ratusan tahun yang lalu. Hasil tenunan ini sangat dikagumi karena dikerjakan dengan penuh keterampilan, ketekunan dan kesabaran. Pada umumnya semua pekerjaan menenun dilakukan oleh wanita untuk memenuhi sandang keluarga, untuk keperluan upacara adat perkawinan, pesta-pesta, acara adat lainnya dan pakaian sehari-hari.

Tenun Buton (kompas.com)
Tenun Buton (kompas.com)

Kerajinan tenun dari Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara biasanya menggambarkan obyek alam yang mereka temukan di sekitarnya. Tenun Buton juga kaya akan warna-warna. Inilah yang menjadi kekhasan kerajinan tenun dari Buton.

Tenun-Buton oleh masyarakat Buton, kerajinan tenun ini dianggap mampu menjadi perekat sosial bagi masyarakat Buton, sebab tenun Buton adalah sumber pengetahuan orang-orang Buton memahami lingkungan alamnya.

(Baca Juga : 5 Makanan Khas Sulawesi Tenggara Yang Membuat Anda Ketagihan)

Hal ini terlihat dari corak dan motif tenunannya, misalnya motif betano walona koncuapa yang terinspirasi dari abu halus yang melayang-layang hasil pembakaran semak saat membuka ladang; motif colo makbahu atau korek basah, motif delima bongko (delima busuk), motif delima sapuua, dan lain lain. Motif sederhana disebut kasopa, sedangkan motif yang lebih rumit disebut kumbaea

Selain sebagai perekat sosial, tenun Buton juga dianggap mampu menjadi identitas diri, karena bagi orang Buton, pakaian tidak hanya sebagai pelindung tubuh dari terik matahari dan dinginnya angin malam, tetapi juga sebagai identitas diri.

Dengan melihat pakaian yang dikenakan oleh wanita Buton misalnya, kita bisa mengetahui apakah dia telah menikah atau belum. Selain itu, mereka juga bisa menandakan perempuan tersebut berasal dari golongan awam atau bangsawan. (kidnesia.com)

2. Upacara Adat Posuo

Posuo di masyarakat Jawa disebut pingitan. Dalam tatanan masyarakat Buton, posuo diartikan sebagai suatu prosesi upacara peralihan status individu wanita dari gadis remaja dalam bahasa Buton, labuabua ke status gadis dewasa kalambe.

Posua (pariwisatasultra.com)
Posua (pariwisatasultra.com)

Upara ritual ini diyakini sebagai sarana menguji kesucian seorang gadis. Menurut La Ode Maulidun (46), budawayan Buton, upacara posuo dilaksanakan selama delapan hari delapan malam dalam ruang khusus yang disebut suo.

Selama dikurung di ruang sempit dan pengap itu, peserta posuo diisolasi dan diprotekasi dari berbagai pengaruh dunia luar yang terjadi di sekelilingnya, kecuali hanya berhubungan dengan bhisa yang memberi pembinaan atau wejangan khusus yang ditunjuk langsung oleh pemangku adat.

Selama itu pula, pawang gendang terus menabuh gendang dan gong. Jika ada gendang yang pecah saat ditabuh, mengisyaratkan bahwa ada di antara gadis posuo yang sudah pernah berhubungan badan dengan lawan jenis.

Meski demikian, masalah itu tidak akan diungkap secara umum, tetapi menjadi rahasia antara pawang gendang dan keluarga peserta posuo.

(Baca Juga : Inilah Peninggalan Jepang dan Belanda yang Tersembunyi di Kota Kendari)

Menurut La Ode Abu Bakar (72), Budayawan Buton lainnya yang juga Ketua Adat Masyarakat Sultra, dalam masyarakat adat Buton mengenal tiga jenis posuo. Pertama Posuo Wolio (posou yang berasal dari masyarakat Wolio atau Buton sendiri), kedua, Posuo Johoro (posuo yang berasal dari Johor-Melayu) dan Posuo Arabu (posuo hasil medofikasi dan adaptasi dari posuo Wolio dan nilai-nilai Islami.

3. Upacara Adat Kabuenga

Kabuenga merupakan tradisi mencari pasangan hidup khas Kabupaten Wakatobi. Tradisi ini bermula ketika para pemuda maupun gadis setempat jarang mempunyai kesempatan bertemu.

Dahulu para pemuda sering berlayar untuk merantau atau lebih banyak di laut sehingga sulit bertemu dengan para gadis. Karena itulah, para lelaki dan perempuan lajang kemudian dipertemukan dalam Tradisi Kabuenga. Tradisi ritual Kabuenga yang dianggap mengandung nilai-nilai sakral oleh masyarakat Wakatobi, pada masa lampau digelar sekali dalam setahun, yakni pada setiap usai merayakan Hari Raya Idul Fitri.

BACA JUGA :  Tenunan Khas Daerah Sultra Tampil di Ajang Indonesia Fashion Week 2024
Khagati (kaskus.co.id)
Adat Kabuenga (internet)

Para tetua adat memilih perayaan hari Raya Idul Fitri sebagai momentum paling tepat menggelar tradisi Kabuenga karena pada hari besar umat Islam, masyarakat Wakatobi yang merantau di berbagai daerah di Indonesia, bahkan di luar negeri, pulang kampung atau mudik lebaran.

Tradisi Kabuenga bermula pada legenda La Lili Alamu, putra mahkota kerajaan Kambode di Pulau Kapota, yang melatar belakangi tradisi masyarakat di kepulauan Wakatobi ini. Sebagai pria yang telah beranjak dewasa, La Lili Alamu merasa bahwa telah tiba waktunya bagi seorang wanita untuk bersanding dengannya. Niat ini pun di sampaikan kepada ayahnya, Raja Kambode.

Di hadapan ayahnya, La Lili Alamu menyebut Wa Siogena, nama seorang wanita yang datang dari kalangan rakyat jelata. Bayangan Wa Siogena selalu ada di dalam pikiran, bahkan hadir dalam mimpi-mimpi sang putra raja ini. Mengetahui bahwa yang ingin dipinang anaknya adalah seorang wanita dari kalangan rakyat jelata, memuncak lah kemarahan sang Raja, tentu saja ayah La Lili Alamu menolak mentah-mentah rencana ini.

Kekecewaan yang begitu mendalam meliputi hati La Lili Alamu. Timbullah keinginan nya untuk merantau ke tempat-tempat yang jauh. Sang ibu merestui, sang ayah pun merelakan nya dengan harapan putra nya akan melupakan pujaan hati nya, Wa Siogena.

Tahun demi tahun telah berlalu, berbagai tempat pun telah di singgahi oleh La Lili Alamu, banyak sudah wanita yang dikenalnya namun Wa Siogena tetap tersimpan dalam ingatan dan sanubarinya.

Sepulangnya La Lili Alamu dari tanah rantau, Raja Kambode mengadakan sayembara untuk mencari pasangan hidup bagi anaknya. Dikumpulkanlah wanita-wanita bangsawan dari penjuru negeri. Raja Kambode pun bertitah , “Putraku akan memilih Sarung Leja buatan tangan kalian yang semuanya akan dikumpulkan di sebuah ayunan kain. Wanita yang memintal Sarung Leja yang terpilih oleh anakku, maka dialah yang akan menjadi istrinya. (wikipedia.org)

4. Upacara Adat Karia

Upacara adat Karia’a adalah sama dengan perayaan sunatan. Upacara ini biasanya dilakukan oleh Suku Buton, dimana anak-anak mereka umumnya sudah disunat sejak usia lima tahun. Upacara adat Karia’a, yang biasanya dilakukan di sebuah lapangan terbuka, ditandai dengan suara nyanyian dari sekelompok ibu-ibu.

Karia (http://1.bp.blogspot.com)
Karia (http://1.bp.blogspot.com)

Seluruh peserta perayaan Karia’a akan mendapatkan bagian dari syara, yaitu pemimpin upacara Karia’a. Kemudian, semua peserta upacara akan menuju batanga, yaitu tempat perayaan dari rumah mereka masing-masing. Peserta menuju batanga dengan menggunakan kansoda’a, yaitu usungan yang terbuat dari bambu besi, atau oleh masyarakat setempat disebut o’o.

Karia’a sebenarnya sama dengan perayaan sunatan, dimana anak-anak perempuan yang sudah dihias diusung selama perayaan berlangsung. Perayaan Karia’a dilakukan dengan arak-arakan keliling kampung sambil membawa usungan.

Uniknya, dalam perayaan Karia’a yang diusung bukanlah anak laki-laki yang telah disunat, melainkan anak-anak perempuan yang telah didandani dengan pakaian adat daerah Buton, Wakatobi dan hiasan bunga di kepala.

Setiap usungan bisa berisi tiga hingga lima anak perempuan dan diusung oleh empat hingga sepuluh laki-laki dewasa. Arak-arakan Karia’a boleh juga diikuti oleh laki-laki dewasa yang sudah disunat namun belum pernah mengikuti perayaan Karia’a sebelumnya.

Upacara adat Karia’a merupakan salah satu tradisi Suku Buton Wakatobi yang sudah dilakukan sejak 1918. (lenteratimur.com)

5. Adat Karia di Kabupaten Muna

Karia memiliki makna yang mendalam bagi masyarakat Muna. Betapa tidak? Tradisi adat “karia” merupakan sebuah pintu gerbang menuju kedewasaan bagi kalambe-kalambe Muna, sehingga makna yang melekat pada tradisi ini harus diletakkan sebagai sebuah filterisasi bagi kalambe Muna dalam memaknai gesekan perilaku yang berkembang akibat modernisasi.

Artinya, makna “karia”, dijadikan sebagai pensucian dan kesiapan menuju kedewasaan, dan harus siap untuk bersikap dalam melihat realitas hidup yang semakin keras. Adat “karia“ juga merupakan suatu prosesi yang wajib dijalani oleh seorang gadis sebelum melangkah ke jenjang pernikahan. Sehingga orang tua merasa bertanggung jawab jika anak gadisnya sudah beranjak dewasa.

BACA JUGA :  Tenunan Khas Daerah Sultra Tampil di Ajang Indonesia Fashion Week 2024

Sungguh menyenangkan bagi seorang kalambe Muna yang sedang menjalani tradisi ini. Mengapa? Jika kita ikuti, tradisi adat ”karia” berlangsung selama 4 hari 4 malam. Malam pertama, disebut malam “kafoluku” (masuknya para gadis dalam kamar pingitan).

Sebelum masuk dalam “kaghombo” (kamar pingitan) ada ritual-ritual yang harus dijalani para gadis. Diawali dengan dimandikannya para gadis oleh orang tua yang dipercaya (modhi) yang disebut ritual “kakadiu”. Setelah itu, para gadis dipersilahkan duduk di tikar dari daun kelapa hijau (ponda) dengan hanya mengenakan sarung.

Kemudian, disuruh mengambil ketupat yang disediakan di talang besar dengan cara membelakang dan menggunakan tangan kanan. Ritual ambil ketupat ini menunjukkan ramalan nasib sang gadis masa depan. Selanjutnya, para gadis masuk satu persatu ke dalam “kaghombo” dengan berjalan jongkok.

Di dalam “kaghombo” (kamar pingitan) ada aturan-aturan yang harus ditaati oleh para gadis, yaitu tidak boleh berdiri, tidak boleh buang air besar, tidak boleh menggaruk pakai tangan kecuali pakai sisir.

(Baca Juga : Pesona Puncak Ahuawali Konawe, Keindahan Negeri di Atas Awan)

Malam kedua pingitan disebut malam “kaghombono patirangga”. Pada malam kedua ini ada dua pasang remaja yang dipercayakan untuk mengambil air, lalu disimpan (doghomboe) . Malam ketiga disebut malam “kaalanao patirangga”. Pada malam “kaalano patirangga” (mengambil bunga paci), dua pasang remaja mengambil bunga paci untuk dipakai oleh para gadis yang dipingit. Pada hari ke-4, ada tradisi “kabahalengka” yaitu kamar pingitan dibuka.

Dilanjutkan dengan acara merias yang dinamakan “kabhindu”. Dalam acara ini diiringi dengan pukulan gong dan tabuhan gendang yang menambah semarak acara “kabhindu” tersebut. Setelah malam hari tiba, di sinilah dinamakan malam “kafosampu” yaitu para gadis yag telah dirias digendong sampai di atas panggung. Setelah para gadis duduk dan lilin-lilin “sultaru” menyala, muncul ritual “kafotanda”. Ritual ini dilakukan oleh orang tua (modhi) yang disebut “fokantandano”, sebagai tanda selamat telah selesai atau melewati acara pingitan kepada para gadis yang dipingit.

Acara puncak pada malam “kafosampu” adalah para gadis yang dipingit menari di atas panggung. Tarian ini didahului dengan menarinya “sumareno” (yang membuka acara tari). Diiring dengan tabuahan gendang oleh “karia kogandano”. Para gadis menari dengan “osamba” (selendang putih). Selanjutnya pada saat menari, para gadis mendapatkan hadiah dari para pengunjung atau para penonton, baik keluarga, teman, atau kerabat dekat.

Proses pemberian hadiah adalah dengan melemparkan hadiah yang akan diberikan kepada gadis yang dipingit tepat saat ia menari. Seperti itulah, para gadis menari satu persatu dari “matansala” (pimpinan) sampai selesai. (galaxyairit.blogspot.co.id)

6. Layang-layang tradisional Khagati, dari Kabupaten Muna

Layang-layang pertama di Indonesia itu bernama Kaghati, sebuah layang-layang khas suku Raha, Pulau Muna, Sulawesi Tenggara. Hal itu dibuktikan dengan adanya lukisan tangan manusia di dalam sebuah gua.

Khagati (kaskus.co.id)
Khagati (kaskus.co.id)

Lukisan tersebut berada di Gua Ceruk Sugi Patani, Desa Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna. lukisan itu menggambarkan seseorang yang sedang bermain layang-layang. Lukisan dalam gua itu terbuat dari oker. Itu merupakan campuran antara tanah liat dengan getah pohon.

Permainan layang-layang (Kaghati) oleh nenek moyang masyarakat Muna telah dilakukan sejak 4 ribu tahun lalu. Hal ini berdasarkan penelitian Wolfgong Bick tahun 1997 di Muna.

Layang-layang tradisional dari Pulau Muna ini terbuat dari lembaran daun kolope (daun gadung) yang telah kering kemudian dipotong ujung-ujungnya. Satu per satu daun tersebut dijahit agar setiap helai daunnya bisa menyatu, sebagai rangka layangan terbuat dari lidi bambu, dan talinya dijalin dari serat nenas hutan. Untuk membuat satu buah Kaghati dibutuhkan banyak daun, yakni sekitar 100 lembar daun. (adat-ku.blogspot.co.id) (*)

 


PENULIS: ILHAM SURAHMIN
EDITOR: JUMRIATI

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini