Jadi Pengusaha Karena Tidak Lulus Tes CPNS

784

Dalam sebuah diskusi kecil dengan teman, ada ungkapan yang terlontar. Jika tidak lulus seleksi CPNS, jadi wirausaha saja. Saya tidak sependapat.

Ini memberi stigma bahwa berwirausaha adalah profesi pelarian. Pekerjaan yang berada pada pilihan kedua. Dan tetap ingin menegaskan bahwa PNS lebih baik daripada wirausaha.

Saya tidak ingin mengatakan bahwa wirausaha lebih baik dari PNS. Sesungguhnya pekerjaan halal apa saja baik jika dilakoni dengan baik. Semuanya bermuara pada rasa bahagia. Tapi bukan dalam konteks ini diskusinya.

Karenanya, saya ingin memberi batasan, pekerjaan mana yang lebih menjanjikan pendapatan tinggi. Jika di-apple to apple-kan, wirausaha lebih besar menawarkan hal itu ketimbang PNS.

Profesi PNS hanya menawarkan pas-pasan Meski “pas-pasan” pun bermakna relatif. Kita batasi kembali, wirausaha bisa memperoleh penghasilan 30 juta sebulan dan tidak ada batasan maksimumnya. Sedangkan pada angka segitu, hanya beberapa saja PNS yang dapat meraihnya. Dan ada batasan tertingginya.

Sehingga jika berlogika, “kalau tidak lulus PNS ayo berwirausaha”, itu menyesatkan. Itu mindset yang keliru.

Cara berpikir ini (barangkali) yang menyebabkan wirausahawan kita kurang begitu kompetitif jika sudah di level yang lebih tinggi. Mereka tidak total. Jika pun terpaksa total, itu karena dia tak punya pilihan lagi.

Mari bercermin pada etnis Tionghoa, yang sejak awal bersekolah mereka memang sudah menyiapkan diri jadi pengusaha. Sekolah yang bonafid. Serius menjalaninya. Setelah selesai, tidak berpikir melamar PNS. langsung terjun ke dunia usaha.

(Baca Juga : 114 Peserta Tes CPNS Polda Sultra, Hanya 2 Capai Nilai Standar)

Bisnis mereka tidak selalu terlihat mentereng. Ada pengumpul barang bekas. Toko kelontong. Pedagang perabotan plastik. Mereka tekun. Ulet. Fokus. Total. Sehari-hari hanya pakai singlet. Hasilnya, mereka enteng beli Honda HRV atau Toyota Fortuner.

Beda dengan kebanyakan dari kita. Sekolah biasa-biasa. Ambil jurusan yang penting masuk perguruan tinggi negeri. Jarang masuk kuliah. Kerjanya demo. Saat orasi, suaranya saja yang keras. Lainnya lembek.

Begitu selesai, tunggu-tunggu penerimaan CPNS. Tidak lolos, mulai lirik-lirik bisnis MLM. Baru kumpul modal buat jualan gorengan. Ada penerimaan CPNS berikutnya, daftar lagi. Tidak lulus, banting setir jadi penjual pakaian bekas. Kendaraannya, sepeda motor yang dicicil maksimal jangka waktunya. Kadang main kucing-kucingan dengan debt kolektor pembiayaan.

Menjadi pengusaha butuh totalitas. Menjadi pengusaha harus dijadikan pilihan pertama. Dan itu butuh keberanian yang lebih. Keberanian ganda ini butuh pengetahuan. Butuh cara berpikir kreatif dan cerdas. Itu diasah melalui proses bersekolah.

Ketika saya bersekolah dulu, anak disebut pintar kalau dia mampu menghapal dan menguasai segala mata pelajaran. Duduk paling depan. Tidak rusuh. Dan paling disenangi guru jika telaten lipat tangan di atas meja. Doktrin itu yang mencekoki kepala belia saya.

Itulah sebabnya saya tidak mampu jadi pengusaha. Saya tidak punya keberanian lebih. Kreatifitas saya kurang.

(Baca Juga : 22 Peserta Lulus SKD CPNS Konsel Didominasi Perempuan)

Sehingga berterima kasihlah kita pada pengusaha yang memang sejak awal total menjalani pekerjaannya. Mereka adalah tiang negara. Ini serius.

Mereka penggerak roda ekonomi. Menciptakan lapangan kerja. Sumber pendapatan negara lewat pajak. Sumber penerimaan devisa. Pusaran aktivitas sosial: tempat minta sumbangan, pemberi beasiswa, penyandang dana lomba domino antar kampung. Masih banyak peran sosial dari yang kecil-kecil hingga yang besar.

Apa yang ingin saya tegaskan dalam tulisan ini adalah ubah paradigma generasi pelanjut kita dari seorang pencari kerja menjadi pencipta lapangan kerja. Itu dimulai dari model dan sistem pendidikan yang didesain untuk menciptakan kreator. Bukan operator. Yang PNS biar saya saja… Ups…***

 

Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini