Jalan Morosi dan Cina Morosi dalam Kacamata Pers

185
Andi Syahrir
Andi Syahrir

Terlebih dahulu kita menyamakan persepsi, bahwa yang dimaksud “Jalan Morosi” adalah jalan poros Konawe-Konawe Utara yang sedang sehancur-hancurnya, selebur-leburnya. Bahwa yang dimaksud “Cina Morosi” adalah warga negara asing dari Cina yang saban hari memadati terminal kedatangan Bandara Halu Oleo, di-briefing sejenak, lalu diangkut “entah kemana”. Morosi atau Morowali?

Demagogisch
Andi Syahrir

Jalan Morosi adalah kondisi jalan yang begitu viral di media sosial namun sepi di ruang wacana. Jika menarik ke belakang sebelum jalan poros itu diobrak-abrik, kondisinya sesungguhnya tidak buruk-buruk amat. Kendaraan masih bisa dilalui dengan cukup nyaman. Hanya saja agak sempit. Lalu proyek pelebaran jalan itu masuk. Alih-alih memperbaiki, justru menyisakan masalah berlarut-larut.

Berbulan-bulan sejak jalan itu dikerjakan dan terlihat gelagat tak kunjung tuntas hingga kondisinya yang sekarang, sama sekali tidak ada ruang pencerahan yang diperoleh masyarakat luas mengenai kondisi itu.

Siapa-siapa saja penangggung jawabnya (termasuk posisi relatif pemerintah daerah dan pusat), kapan seharusnya proyek itu kelar, apa persoalan yang membelitnya, apa langkah-langkah darurat untuk –

paling tidak– sedikit meringankan penderitaan pengguna jalan.

Kajian ekonomi, lingkungan, dan kesehatan yang ditimbulkan oleh kondisi jalan itu sama sekali tidak pernah terdengar dari para pakar. Pun tidak ada semacam gerakan dari masyarakat minimal melakukan gugatan class action, dengan memandang bahwa masyarakat adalah konsumen dari sebuah layanan transportasi.

Lembaga pers –yang konon katanya– sebagai pilar keempat demokrasi, seharusnya, normalnya, idealnya, seyogyanya, berada di garda terdepan manakala tiga pilar lainnya: eksekutif, legislatif, dan yudikatif “tidak berdaya” dengan persoalan itu.

Media-media mainstream baik cetak dan online hanya sebatas berkisah tentang “kiamat” di jalanan itu. Minta komentar ala kadarnya dari pejabat yang selalu berupaya menghindar. Dari konsep jurnalistik modern mengenai 3W+4B, media massa baru menunaikan 1 What, yakni “what happen”. Kulit-kulit paling terluarnya.

Aspek 2 What lainnya, “what does it mean” dan “what should I do”, nihil. Belum kita berbicara tentang 4 Benefit, minimal dua di antaranya, practical benefit dan intellectual benefit. Sama sekali tidak ada perencanaan liputan yang “sistematis, terstruktur, dan masif” untuk menekan siapapun dan apapun yang menciptakan “neraka jalanan” itu.

Kita hanya menyaksikan parade foto penderitaan masyarakat, keluhan, dan caci maki di lini masa tanpa ada siraman-siraman wacana yang mencerahkan kita semua. Suatu ruang diskursus yang mampu mengukur kinerja pihak yang terlibat di sana, kepastian tentang siapa yang bertanggungjawab atas segalanya, sehingga kita tidak hanya selalu berlindung di balik kata “sabar” –yang lebih mirip sebagai upaya melarikan diri dari kenyataan. Dari kekalahan.

Situasi serupa juga terjadi pada persoalan serbuan penduduk Cina yang entah sudah berapa ribu banyaknya. Jika dulu orang asing masuk dan keluar bandara, mereka melalui pintu pemeriksaan khusus, kini mereka persis seperti tentara menang perang yang menguasai kabin pesawat dan terminal-terminal bandara.

Warga pribumi yang kebetulan seperjalanan dengan mereka diserobot, disisihkan, dan dibuat tidak nyaman. Lalu, aparat keamanan hanya menonton dengan wajah beku sambil menyandang senapannya (ini saya saksikan di Bandara Halu Oleo, hari Kamis, 29 Juni 2017).

Para orang Cina ini seperti punya kekuatan sakti mandraguna untuk tak lagi disentuh-sentuh aparat kita, baik mereka yang bertugas menegakkan hukum ataupun yang bertugas memastikan warga Republik ini merasa nyaman di fasilitas-fasilitas publik.

Padahal, kita yakin seyakin-yakinnya, mereka yang datang beribu-ribu banyaknya adalah orang-orang “buangan” yang tak mampu bersaing di negerinya, dan pilihan satu-satunya adalah bermigrasi ke negara lain untuk menyambung hidup mereka.

Mereka tidak mampu bercakap selain bahasa ibunya. Suatu fakta bahwa mereka hanya berbekal keberanian untuk meninggalkan negerinya. Coba bandingkan secara relatif dengan TKW kita yang minimal dipersiapkan selama beberapa waktu untuk memahami bahasa tempat mereka bekerja kelak.

Hingga memasuki hitungan tahun gelombang imigran ini menjejakkan kaki-kaki mereka dengan perangai bulukannya, nyaris kita tidak pernah mendengarkan teriakan kritis dari para pejabat kita, minimal suara protes kenapa harus Sulawesi Tenggara, kenapa harus Sulawesi Tengah, kenapa tidak ada hentinya mereka berdatangan, kenapa mereka tidak lagi diperlakukan khusus di bandara-bandara kita, kenapa mereka begitu bebas menciptakan ketidaknyamanan di ruang-ruang pelayanan publik.

Masih begitu banyak kenapa yang perlu dihamburkan. Tapi itu akan membentur tembok-tembok tinggi. Tembok paling rendah untuk mengadu sebenarnya adalah lembaga pers. Namun, mereka terlalu sibuk untuk tetap bertahan hidup.

Jalan Morosi dan Cina Morosi adalah cermin kalahnya rakyat sekaligus negara. Dan lagi-lagi, kita perlu merenungi kalimat Sutan Sjahrir: ” …Aku cinta negeri ini dan orang-orangnya … terutama barangkali karena mereka selalu kukenal sebagai penderita, sebagai orang yang kalah …”. ***

 

Oleh : Andi Syahrir
Penulis adalah Alumni UHO dan Pemerhati Sosial

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini