Kakao, Komoditi Primadona yang Tergerus Tanaman Cengkeh

421

ZONASULTRA.COM, KOLAKA – Program Pemerintah Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, untuk menggenjot penghasilan para petani dari sektor tanaman cengkeh justru membuat nasib petani kakao di daerah tersebut semakin terpuruk. Kabupaten Kolaka yang dikenal sebagai sentra budidaya kakao terbesar di Sultra itu, perlahan-lahan mulai tergerus oleh geliat invasi perkebunan cengkeh dalam skala besar. 

Dalam kurung waktu empat tahun, dari 2009 hingga 2013, kakao menjadi tanaman primadona masyarakat Kolaka. Pada tahun 2013 lalu, produksinya mencapai 850 ton dari luas lahan produktif 29.166 hektar. Bahkan hasil produksi Kakao Kolaka diklaim yang terbesar di Sulawesi Tenggara. Beberapa sentra produksi bijih kakao di Kabupaten Kolaka tersebar di Kecamatan Iwoimendaa, Wolo, Samaturu, Watubangga dan Toari.

Sebelum Kolaka Timur memisahkan diri dari Kabupaten Kolaka, produksi Kakao Kolaka bahkan mencapai angka 96 ribu ton per tahun. Sebanyak 66 ribu ton diantaranya dihasilkan oleh petani di Kolaka Timur. Beberapa tahun belakangan ini, Kakao para petani mengalami peremajaan dan rehabilitasi mengikuti program Gerakan Nasional (Gernas) Kakao.

Sayangnya, kakao yang sudah menjadi komoditi primadona perlahan mulai tergusur setelah Bupati Kolaka, Ahmad Safei mulai mempopulerkan program 1.000 hektar lahan untuk tanaman cengkeh di Kabupaten Kolaka. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya petani kakao yang mulai beralih menjadi petani cengkeh.

Program tersebut berimbas pada menurunnya produksi kakao di Kabupaten Kolaka. Sejak Gernas Kakao digalakan pada tahun 2009, hingga tahun 2014 lalu produksi biji kakao terus mengalami penurunan karena banyaknya pohon yang ditebang namun tidak dibarengi dengan upaya regenerasi yang memadai.

Kepala Dinas Perkebunan dan Hotikultura Kabupaten Kolaka, Bahrun Hanise mengatakan, harga pasaran cengkeh yang berkisar Rp 90 ribu per kilogram menjadi faktor perubahan animo petani untuk berlomba-lomba menanam cengkeh.

“Cengkeh lagi booming, sehingga petani banyak yang tertolong. Untuk itu, bagi petani yang belum punya lahan cengkeh, bupati menyiapkan 1.000 hektar cengkeh untuk mereka,” kata Bahrun saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa (28/7/2015).

Menurut Bahrun, langkah tersebut merupakan sebuah terobosan baru bagi Bupati Kolaka saat ini. Selain membantu pemerataan pengelolaan hasil bumi, kebijakan itu juga menjadi langkah awal bagi Pemda Kolaka untuk mulai memperkenalkan buah cengkeh asal Kolaka di pasar dunia.

Bahrun juga tidak menampik jika kakao sudah menjadi sumber mata pencaharian warga Kolaka dalam beberapa tahun terakhir. “Dulu Kolaka terkenal sebagai produsen kakao terbesar, selevel dengan kakao Sulsel. Pada usia produktif cengkeh bisa dipanen dalam sekali minggu. Sehingga hasil panen itu sebenarnya dapat menutupi kebutuhan ekonomi jangka pendek petani,” katanya.

Meski menjadi sumber penghasilan masyarakat ekonomi kecil, Bahrun menilai hasil panen cengkeh dapat memberikan kontribusi ekonomi yang lebih memadai ketimbang hasil panen kakao.

“Walau tanaman cengkeh hanya bisa dipanen dua kali setahun, tapi sekali panen, petani bisa langusung beli mobil Inova,” jelas Bahrun mengandaikan perbandingan hasil panen kakao dengan cengkeh.

Menurutnya, harga cengkeh di level Rp 70 ribu per kilogram saja sudah bisa menguntungkan petani. Bahkan harga cengkeh pernah mencapai level Rp 150 ribu per kilogram. Perbedaan harga jual inilah, katanya, yang menyebabkan petani kakao mulai banyak yang beralih menanam cengkeh.

Tak hanya itu, hasil panen biji kakao di Kolaka sejak tahun lalu diakui Bahrun mulai menurun karena usia tanaman yang mulai kurang produktif serta terserang hama. “Kondisi ini membuat harga kakao frustasi. Dari harga Rp 30.000 per kilogram sempat turun menjadi Rp 2.500 per kilogram. Di saat yang sama harga cengkeh naik, sehingga orang berlomba-lomba tanam cengkeh,” jelasnya.

Meski demikian, Bahrun mengatakan pihaknya masih akan tetap membuat sejumlah terobosan untuk mempertahankan tanaman kakao. Diatara kebijakan itu antara lain dengan tetap melanjutkan Gernas Kakao.

Saat ini Kolaka memiliki 7 jenis tanaman yang menjadi komoditi unggulan, yakni nilam, kelapa, pala, tebu, lada, kakao dan cengkeh. Khusus tanaman kakao, nilam dan kelapa dibiayai melalui APBN. Sedangkan tanaman cengkeh, pala, lada dan tebu masuk dalam penganggaran APBD Kolaka.

Terlepas dari perbedaan harga jual kedua tanaman tersebut, fakta pahit yang tetap akan ditanggung oleh para petani adalah tidak adanya sinergitas kebijakan pemerintah daerah yang dapat meminimalisir fluktuasi harga komoditi perkebunan di pasar-pasar lokal. Sehingga tak jarang petani menjadi korban permainan harga tengkulak dan pedagang pengumpul hasil bumi. Belum lagi arah kebijakan jangka pendek di bidang pertanian Pemda Kolaka yang terus berubah setiap kali ada pergantian kepala daerah.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini