Kartini Paris, Kartini Tokyo, dan Kartini Kamboja

63
Andi Syahrir

 

OPINI – Kemarin orang ramai-ramai cerita Kartini. Pahlawan kita. Kemarin miladnya yang ke-137. Seperti tahun-tahun sebelumnya, media massa berlomba menyiarkan para wanita yang paling menyerupai Kartini. Kaum perempuan banyak yang ramai-ramai berkebaya saat beraktifitas.

Semangat peringatannya belum bergerak jauh. Masih tentang emansipasi. Persamaan derajat dengan kaum lelaki. Padahal, dialektika tentang ke-Kartini-an tidak hanya soal itu. Misalnya, terdapat gugatan tentang kenapa harus Kartini? Kenapa bukan perempuan lain yang tak kalah heroiknya?

Pergulatan wacana juga tentang lipatan-lipatan sejarah yang publikasinya tak dikenal luas. Misalnya sosok-sosok besar di sekitar Kartini yang tak familiar di telinga awam semacam Kyai Sholeh Darat. Tokoh ini disebut-sebut menjadi simpul bertemunya urat nadi dua ormas terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

Pertanyaan kritis Kartini menginspirasi kyai –yang juga salah seorang guru dari KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan– untuk menyusun sebuah tafsir Al Qur’an berjudul “Faidhur Rohman” dan diyakini menjadi tafsir pertama di Nusantara yang ditulis dalam Bahasa Jawa menggunakan aksara Arab. Tafsir ini kemudian menjadi hadiah perkawinan Kartini.

Soal hadiah perkawinan. Kira-kira masih ada tidak kaum wanita sekarang yang mau dihadiahi tafsir? Jawabnya, banyak. Tapi lebih banyak lagi yang tidak berharap mendapat hadiah seperti itu.

Sekarang hadiah perkawinan yang paling dinanti oleh kebanyakan kaum wanita adalah liburan ke Paris. Berbelanja di La Vallée Village, sebuah pusat perbelanjaan ternama di kota mode itu. Jika dulu Kartini berkeluh kesah atas marjinalnya hak-hak mereka untuk menjadi pintar, Kartini sekarang berkeluh kesah jika belum plesiran ke luar negeri. Soal dari mana duitnya, itu urusan ke sembilan puluh dua.

Ada liputan pikiranmerdeka.co (edisi 20 April 2016) yang barangkali sedikit relevan. Tentang putri seorang kepala dinas di Aceh. Di akun media sosialnya, dia mengunggah beberapa fotonya saat berbelanja di Paris dengan tas belanja merk Michael Kors.

Gadis cantik ini alumni fakultas kedokteran. Gaya hidupnya yang glamour dinilai tidak wajar karena dia masih berstatus internship (pegawai tidak tetap) dokter di Aceh dan ayahnya hanyalah pegawai negeri sipil kendatipun seorang kepala dinas. Saat ini, sang ayah dikait-kaitkan pada banyak kasus korupsi. Itu sedikit kisah tentang Kartini Paris. Banyak yang begini.

Beberapa pekan sebelumnya, juga ramai tentang 11 orang istri anggota DPR yang tour dari Osaka ke Jepang selama sembilan hari (30 Maret – 7 April 2016). Foto-foto tour mereka di jejaring sosial menuai banyak kritikan. Bahkan Ketua DPR Ade Komaruddin menyebut istri-istri anggota DPR itu “genit”. Barangkali banyak di antara mereka yang juga sengaja berkebaya tanggal 21 April kemarin. Mereka juga Kartini, Kartini Tokyo.

Sehari setelah milad ke-137 Kartini, seorang wanita renta berjalan tertatih-tatih. Di tangannya, sebuah plastik hitam yang telah robek. Isinya berceceran. Butir-butir beras berjatuhan. Tangannya sebisa mungkin mencegah agrar beras itu tak terbuang. Dia berkebaya. Sudah usang, baik model maupun umur kainnya.

Dia berjalan dari rumah ke rumah. Mengetuk pintu hati penghuninya. Berharap belas kasihan. Dia seorang Kartini. Sedang memperjuangkan haknya. Hak paling dasar. Untuk hidup. Tapi dia hanya Kartini Kamboja. Kartini yang sedang menyusuri gang-gang di Jalan Bunga Kamboja. Kendari. Masih di Indonesia.***

 

Andi Syahrir
Alumni Pascasarjana UHO & Pemerhati Sosial

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini