Kery : UU Nomor 23 Rampas Hak Daerah

30

ZONASULTRA.COM, UNAAHA – Pemberlakukan Undang Undang (UU) Nomor 23 tahun 2014 tentang batas kewenangan pemerintah kabupaten (pemkab) yang kini di ambil alih oleh pemerintah provinsi (pemprov), membuat kepala daerah kabupaten/ kota tidak leluasa dalam menentukan kebijakan. Hampir semuanya dikendalikan oleh gubernur atau pemerintah provinsi (pemprov), mulai dari pemberian izin pengelolaan sumber daya alam (SDA) seperti pertambangan dan pertanian.

Hal itupun diklaim sejumlah pihak sangat berdampak pada keterlambatan pembangunan serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebab anggaran yang sedianya dialokasikan dalam menjalankan program melalui peningkatan Pendapatan Asli Daera (PAD) yang di hasilkan dari pengelolaan SDA yang dimiliki oleh daerah sepenuhnya dimasukkan dalam kas provinsi.

Seperti yang dialami Pemerintah daerah (Pemda) Konawe Sulawesi Tenggara (Sultra), sejak diberlakukannya UU 23 banyak program pemerintah yang kini terbengkalai, karena alasan kekurangan anggaran untuk menjalankan program tersebut. Bahkan program peningkatan kesejahteraan masyarakat yang semula dicanangkan kini tinggal cerita saja.

Bupati Konawe Kery Syaiful Konggoasa dalam setiap kesempatan mengaku, pihaknya tidak bisa berbuat banyak karena semua kewenangan sudah diambil alih oleh pemprov, sehingga pembangunan di wilayah yang dipimpinnya terhambat akibat peraturan tersebut. Kata dia, sebelum diberlakukan UU 23 Pemda Konawe masih bisa berbuat dengan memanfaatkan potensi SDA yang ada.

“Kalau ini masi tetap diberlakukan maka percuma ada otonomi daerah (otoda), sebab semua kewenangan sudah diambil provinsi, dan kita di kabupaten hanya bisa menonton saja, karena kita sudah mau berbuat tapi langkah kita dibatasi. Contoh kecil pembangunan mega industri, nyata-nyata sudah Keputusan Presiden (Kepres) masih juga di persulit dengan ini itu, sementara yang punya wilayah itu kita, tapi apa kita malah disuruh urus banyak tetek bengek,” keluh Kery kepada zonasultra.id beberapa waktu lalu.

Jika peraturan tersebut masih tetap diberlakukan, maka menurutnya otoda harus dihapuskan karna sangat bertolak belakang, kewenangan dan pengambilan keputusan di daerah kabupaten sudah bukan hak bupati lagi melainkan gubernur.

“Ini sangat tidak sejalan dengan otoda, memangnya provinsi tau apa yang sangat dibutuhkan masyarakat kita disini? Selain itu apakah pemerintah provinsi dalam hal ini Gubernur tau bagaiman kondisi masyarakat dan juga wilayah di Konawe ini? Seandainya di Sultra hanya ada satu kabupaten bisa saja seperti itu, tetapi ini banyak dan seorang gubernur itu harus mengurusi semuanya,” ketusnya.

Iapun mengaku Pemda Konawe mengalami kerugian miliaran rupiah atas pemberlakuan UU tersebut. Dari sektor pungutan retribusi seluruhnya diambil oleh provinsi, selain itu dari wacana yang muncul di publik saat ini mengatakan bahwa proses tender semua rencana kerja yang sudah ditetapkan juga akan diambil alih oleh provinsi.

“Lantas kita di kabupaten ini bagaimana? Apakah kita hanya penonton saja? Sementara kita yang punya wilayah, makanya saya minta kepada masyarakat untuk memilih Gubernur nanti harus benar-benar orang yang akan membangun daerah kita, jangan hanya karena dikasi uang baru langsung bilang mendukung. Semua kebijakan sudah diambil alih gubernur, nah kalau kita memilih orang yang tidak mau membangun daerah kita ini bagaiman,” imbuhnya.

Dengan berbagai keluhannya atas UU 23 itu, Kery meminta kepada DPR RI untuk melakukan peninjauan kembali. Banyak hal yang harus dibenahi di dalamnya tidak hanya masalah kebijakan daerah yang dirampas tetapi pengelolaan sumber daya yang dimiliki wilayah kabupaten/kota yang nantinya berimbas positif pada pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini