Ketika Petahana Jadi Korban Regulasi

1204
Baron Harahap Opini
Baron Harahap

Pembatalan paslon petahana karena alasan mutasi/penyalahgunaan program atau kewenangan menuai korban baru. Senin 23 April 2018, Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan putusannya. Kasasi KPU Kota Makassar ditolak, MA memperkuat Putusan PTTUN Makassar sebelumnya. Pasangan calon Danny Pomanto – Indira Mulya Sari (Petahana) terbukti melakukan penyalahgunaan program atau kewenangan. Secara hukum harus dibatalkan sebagai paslon pilkada Kota Makassar 2018. Putusan a quo final dan mengikat. Tak ada lagi upaya hukumnya. Right to be a candidate sirna seketika. Peluang Danny Pomanto untuk menjabat dan mengabdikan dirinya sebagai Walikota Makassar untuk masa jabatan 2018-2023 (periode kedua) sudah tertutup.

Selain Pilkada Makassar, berkaitan pembatalan paslon petahana juga terjadi pada Pilkada Kabupaten Biak Numfor dan Pilkada Kabupaten Palopo. Terhadap kasus paslon petahana Biak Numfor, Pemeriksaan kasusnya sedang berjalan pada tingkat Mahkamah Agung. KPU Kabupaten Biak Numfor menyatakan kasasi atas putusan PTTUN Makassar nomor : 20/G/Pilkada 2018/PTTUN Mks per tanggal 29 Maret 2018 (belum incracht van gewidjge). Isi putusan a quo yakni meminta KPU Biak Numfor untuk mencabut keputusan nomor: 02/HK.03.2-kpt/9106/KPU-Kab/II/2018 tentang penetapan pasangan calon dalam pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Biak Numfor tahun 2018 pada tanggal 12 Februari, membatalkan paslon petahana.

Berbeda dengan paslon petahana Kota Makassar dan Biak Numfor yang disanksi melalui sengketa TUN Pemilihan, untuk kasus paslon Petahana Palopo, sanksi pembatalan paslon petahana lahir lewat rekomendasi Panwas Kabupaten Palopo. Rekomendasi Panwas notabene masih dalam proses tindak lanjut oleh KPU Kabupaten Palopo.

Sebelumnya, pada tahun 2017 Mahkamah Agung (MA) juga membatalkan keikutsertaan pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Boalemo (Petahana) Rum Pagau dan Lahmuddin Hambali sebagai petahana di Kabupaten Boalemo, Gorontalo, sebab terbukti melakukan mutasi 6 (enam) bulan sebelum penetapan pasangan calon. Hal ini termuat dalam Putusan MA Nomor: 570 K/TUN/Pilkada/2016 tanggal 4 Januari 2017. Inilah kasus pertama pembatalan paslon petahana sejak berlakunya UU No.10 Tahun 2016 (UU Pilkada).

Keadaan Hukum

Pemberian sanksi pembatalan paslon petahana sesuai pasal 71 ayat (2) dan (3) UU Pilkada, jika terbukti dalam 3 (tiga) keadaaan. Pertama, dapat dilakukan jika paslon petahana terbukti melakukan mutasi dalam kurun waktu 6 bulan sebelum dan 6 bulan sebelum penetapan calon. Keadaan kedua jika paslon petahana terbukti melakukan penyelahgunaan program atau kewenangan, dan keadaan ketiga jika paslon petahana terbukti melakukan kedua hal sekaligus, mutasi dan penyelahgunaan program. Paslon petahana yang terbukti melakukan hal a quo, oleh KPU Prov/Kabupaten/Kota dinyatakan tidak memenuhi syarat. Kepastian ini termuat dalam ketentuan Pasal 89 ayat 1,2 dan 3 PKPU 3/2017.

Sanksi pembatalan paslon petahana karena alasan mutasi dan atau penyalahgunaan program atau kewenangan melalui mekanisme sengketa Tata Usaha Negara Pemilihan. Alurnya dimulai dari tahap sengketa ajudikasi di Panwas/Bawaslu Provinsi bahkan hingga PTTUN dan Mahkamah Agung. Ini diatur dalam pasal 153 hingga 154 UU Pilkada jo Perbawaslu 13/2017 jo Perma 11/2016. Contoh kasus ini dapat diliat pada Pilkada Boalemo, Kota Makassar dan Biak Numfor. Sedangkan untuk kasus Pilkada Palopo tidak melalui sengketa tetapi melalui rekomendasi atas dasar laporan yang masuk ke Panwaslu Palopo sesuai Pasal 30 jo Pasal 139 ayat (2) UU Pemilihan jo Perbawaslu 14/2017.

Meski sebagian kasus tersebut (minus Boalemo dan Makassar) masih berproses dan belum memiliki kekuatan hukum tetap (incrahct), namun jika dicermati dalam beberapa kasus diatas, toh semua menggunakan dasar norma (landasan materil) yang berlaku pada Undang-Undang No.10 Tahun 2016, yakni Pasal 71 ayat (2) dan (3). Namun atas itu lahir pelbagai alur pemberian sanksi bagi petahana atas kasus mutasi dan penyalahgunaan program. Hal ini menarik untuk ditilik. Sebab dalam pandangan yang tersistematis, kesatuan regulasi tersebut nampak bak labirin yang memiliki lebih dari satu alur, baik dari alur mekanisme penyelesaian sengketa/masalah, juga pada sisi subjek hukum yang bertanggung jawab.

Beda Mekanisme

Dalam UU Pilkada yang diatur secara tegas “mekanisme” pemberian sanksi pembatalan paslon termasuk petahana limitatif hanya berkaitan dengan dugaan pelanggaran money politic yang TSM sebagaimana Pasal 135A UU Pemilihan jo Perbawaslu 13/2017. Pelanggaran mutasi/penyalahgunaan program oleh paslon petahana tidak diatur secara tegas di UU Pilkada. Apakah dapat diajukan melalui sengketa TUN pemilihan (mulai dari ajudikasi Panwas/Bawaslu hingga tingkat PTTUN dan MA yang berujung pada putusan) ataukah melalui mekanisme penanganan sengketa PAP (ajudikasi di Bawaslu Provinsi), ataukah melalui proses penanganan pelanggaran administrasi ditingkat Panwas/Bawaslu Prov yang berujung pada rekomendasi. Setidaknya sudah terjadi dalam beberapa kasus sebagaimana disebutkan di pengantar tulisan ini. Tidak ada norma yang menyebutkan secara tegas baik di tingkat UU Pilkada maupun peraturan teknis Perbawaslu atau Perma.

Mencermati model penanganan kasus Boalemo, Kota Makassar, Biak Numfor dan Palopo, terjadi model penanganan yang berbeda. Boalemo, Kota Makassar dan Biak Numfor terproses dengan model penyelesaian melalui sengketa TUN Pemilihan, sedangkan untuk Palopo terproses dengan mekanisme penanganan laporan pelanggaran tahapan pemilihan (bukan pelanggaran TSM) oleh Panwas sesuai Perbawaslu 14/2017.

Kedua model ini memiliki konsekuensi hukum berbeda pula. Penyelesaian dengan model mekanisme TUN Pemilihan menghasilkan output putusan sengketa (vide:pasal 153 dan 154 UU Pemilihan), yang bersifat imperatif wajib dilaksanakan oleh KPU. Sedangkan dengan model penanganan laporan oleh Panwas berdasar Perbawaslu 14/2017, outputnya rekomendasi. Sifat rekomendasi panwas wajib ditindaklanjuti oleh KPU. Mekanisme tindak lanjut KPU terproses sesuai dengan PKPU 13 Tahun 2014, yang akhirnya bersifat opsional pada KPU, yakni dapat melaksanakan rekomendasi a quo sepanjang isi rekomendasi berkesesuaian dengan kajian/perspektif KPU, namun rekomendasi juga potensial tidak dilaksanakan oleh KPU, jika ternyata isi rekomendasi menurut KPU tidak berkesesuaian dengan ketentuan perUU yang berlaku.

Dualisme penanganan perkara berkaitan dengan satu perbuatan terlarang bagi paslon petahana berimplikasi menggerus prinsip kepastian hukum serta sifat mengikat atas produk dua model a quo. Dengan mekanisme TUN Pemilihan, melalui putusan MA, Paslon petahana Kota Makassar akhirnya disanksi pembatalan. Hal yang sama potensial terjadi pada Biak Numfor. Sedangkan paslon petahana Palopo yang menggunakan Perbawaslu 14/2017 meski telah di rekomendasikan sanksi pembatalan oleh Panwas, sampai saat ini tetap terkukuhkan dan teproteksi haknya sebagai paslon petahana karena sifat rekomendasi berbeda dengan putusan sengketa TUN Pemilihan yang imperatif.

Subjek Hukum

Ikhwal menyangkut mutasi atau penyalahgunaan program atau kewenangan, penanganannya dalam UU Pemilihan tidak dikategorisasi sebagai sengketa PAP, pun sengketa TUN pemilihan. Namun dalam praktek, misalnya kasus Boalemo, Kota Makassar dan Biak Numfor penanganannya dengan cara sengketa TUN Pemilihan. Konsekuensinya KPU selaku pejabat/badan TUN menjadi subjek tergugat. Pengecualiannya terkait pilkada Palopo yang ditangani oleh Panwas dengan model penanganan laporan pelanggaran pemilihan, paslon petahana yang menjadi subjek terduga melakukan pelanggaran pemilihan dengan menggunakan Perbawaslu 14/2017 sebagai landasan hukumnya.

Jika menelusuri regulasi pilkada, setidaknya ditemukan satu kaidah norma yang menunjukkan bahwa KPU lah pihak yang dituju sebagai subjek hukum tergugat jika ingin menguji mutasi atau penyalahgunaan program atau kewenangan yang dilakukan paslon petahana pada sengketa TUN Pemilihan. Ini termaktub pada Pasal 89 ayat (3) PKPU 3 Tahun 2017 “jika terbukti melakukan mutasi maka paslon disanksi pembatalan karena Tidak Memenuhi Syarat”. Norma ini menegaskan jika terbukti paslon petahana melakukan mutasi atau penyalahgunaan program atau kewenangan, maka paslon a quo dinyatakan “tidak memenuhi syarat”.

Jadi, perkara mutasi atau penyalahgunaan program sesungguhnya dianggap/dilekatkan sebagai pemenuhan syarat/tambahan kepada paslon petahana. Oleh karenanya menguji mutasi atau penyalahgunaan program atau kewenangan paslon petahana sama dengan menguji syarat calon/pencalonan, yang secara absolut merupakan ranah sengketa TUN Pemilihan dengan subjek hukum tergugat KPU dan objek yang diadili adalah keputusan penetapan calon dari KPU.

Persoalan hukum berikutnya, bagaimana mungkin KPU Provinsi/Kabupaten digugat berkaitan dengan mutasi/penyalahgunaan program, sedangkan KPU Provinsi/Kota tidak pernah mengetahui/menguji/memverifikasi kedua hal tersebut. Sederhananya, paslon petahana yang berbuat, namun tanggung jawab berada pada KPU. Lain halnya jika dalam syarat calon melekat standarisasi mengenai syarat mutasi dan penyelahgunaan program yang memiliki ukuran tertentu sebagaimana syarat lain yang diteliti dahulu ditangan KPU. Disisi inilah terdapat celah hukum (legal gap) yang mana KPU dimintai pertanggungjawabannya, padahal hal tersebut diluar kewenangannya.

Wewenang KPU Provinsi/Kota hanya memverifikasi syarat calon dan syarat pencalonan, dan notabene tidak pernah memverifikasi berkaitan dengan mutasi dan atau penyalahgunaan program bagi paslon petahana. Karena sesuai UU Pilkada, hal itu bukan merupakan syarat calon yang diatur dalam ketentuan pasal 7 ayat (2) UU Pilkada. Paslon petahana lah yang seharusnya ikut mempertanggungjawabkan perbuatannya pada sengketa TUN Pemilihan. sayangnya mekanisme TUN pemilihan sebagaimana Perma 11 Tahun 2016 tidak mengenal intervenient (pihak ketiga), sehingga sulit mencari kebenaran materiil atas perkara a quo.

Jalan Keluar

Dalam konsepsi pemenuhan hak, tidaklah diperbolehkan suatu hak politik dicabut dengan mekanisme yang notabene menegasi kepastian hukum, dengan model penanganan sengketa yang kurang teridentifikasi dan memiliki ragam alur. Ketidakpastian itu tentu berimplikasi terhadap gonjang-ganjingnya ruang right to be candidate Paslon. Hemat penulis, seharusnya mengenai mutasi/penyalahgunaan program seharusnya masuk dalam klasifikasi pelanggaran PAP yang harus diadili dengan mekanisme sengketa PAP. Ada beberapa argumentasi yang melandasi hal ini.

Pertama, Selain karena alasan tidak ada pengaturan secara tegas yang menyebutkan mekanisme mengadili jika terjadi perkara a quo, juga tidak mungkin dimintakan pertanggungjawaban pemenuhan syarat tersebut pada KPU, karena KPU tidak pernah memverifikasi syarat dimaksud. Sesuai prinsip tiada wewenang tanpa tanggung jawab (Geen bevoegdheid zonder verantwoordenlijkheid), maka dimaknai pula tiada tanggung jawab tanpa wewenang. Disinilah hal prinsipil yang dikangkangi oleh regulasi.

KPU tidak bekompetensi memverifikasi dan tidak memiliki instrumen verifikasi berkaitan dengan mutasi dan atau penyalahgunaan program oleh paslon petahana sehingga secara formil maupun marteriil tidak mungkin dapat dimintai tanggung jawabnya sebagai subjek tergugat berkitan dengan perkara a quo lewat mekanisme TUN Pemilihan. Begitupula halnya tidak dapat ditangani dengan mekanisme Perbawaslu 14/2017 karena output nya dalam bentuk rekomendasi, hal mana isi rekomendasi bersifat opsional bagi KPU, serta bagi paslon petahana tidak disediakan ruang secara aktif untuk menyangkal sangkaan pelapor secara maksimal. Tentu lebih tepat diselesaikan lewat mekanisme sengketa PAP. Pihak terduga melakukan pelanggaran pemilihan/terlapor/paslon petahana aktif serta membuktikan/menangkal laporan pelapor. KPU tinggal menunggu apa hasil putusan PAP oleh Bawaslu Provinsi tersebut. Apalagi masih tersedia upaya hukum tingkat MA jika paslon petahan tersanksi pembatalan.

Kedua, implikasi atas argumentasi pertama membutuhkan suatu bentuk pertanggungjwaban langsung terhadap pemilik hak (paslon petahana). Perbuatan (kasus a quo) mesti langsung dihadapkan pada pihak yang berkepentingan-yang memiliki hak secara langsung, dimana ketika disanksi pun sudah tersedia ruang pembelaan haknya ke MA (Perbawaslu 13/2017 jo Perma 11/2016). Akan lebih benderang mengenai seluk-beluk kejadian yang akan diterangkan dalam mekanisme penanganan. Proses materilnya akan lebih jelas dan berkualitas.

Beberapa jalan keluar yang diajukan mengharapkan perbaikan regulasi sengketa Pilkada, agar kedepannya alur penyelesaian sengketa pilkada lebih benderang dan berkejelasan. Pada akhirnya semua bermuara bagaimana melahirkan suatu kontestasi pilkada yang berkualitas, untuk demokrasi yang lebih baik.

 


Oleh: Baron Harahap
Penulis adalah Alumni Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo/Praktisi Hukum.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini