Kisah Ita, Gadis Koltim yang Selamat dari Ganasnya Tsunami Palu

970
Kisah Ita, Gadis Koltim yang Selamat dari Ganasnya Tsunami Palu
KORBAN TSUNAMI - Ita Prawidya, gadis asal Desa Aere, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka Timur (Koltim) yang menjadi korban bencana Tsunami Palu, Sulawesi Tengah, dirawat di RS Bahteramas Kendari. Sabtu (7/10/2018) (Sri Rahayu/ZONASULTRA.COM)

ZONASULTRA.COM, KENDARI – Berbekal ijazah S-1 Sastra Indonesia dari Universitas Sembilanbelas November (USN) Kolaka, Ita Prawidya menginjakkan kakinya di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Dara 24 tahun itu berniat mencari kerja di Tanah Tadulako.

Namun, sore itu, Jumat, 28 September 2018, amukan sang alam mengandaskan impiannya. Seperti mimpi, dalam sekejap gelombang tsunami menggulung tubuhnya dan menghempaskannya jauh ke daratan. Beruntung, hari itu ajal belum menjemput. Ita selamat dari amukan sang gelombang.

Saat ini, gadis asal Desa Aere, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka Timur (Koltim) itu tengah dirawat di RS Bahteramas Kendari. Saat dikunjungi, Sabtu (7/10/2018), ia akhirnya mau berbagi pengalaman pahitnya saat harus berhadapan dengan ganasnya tsunami yang meluluhlantakkan Kota Palu.

Ditemui di ICU RS Bahteramas Kendari, keadaan Ita masih sangat lemah dengan luka dan memar di bagian wajah dan kaki. Ia mengalami sesak nafas karena benturan benda keras di dadanya, dan banyak mengisap pasir laut, sehingga masih harus mendapat bantuan pernapasan.

Kisah Ita, Gadis Koltim yang Selamat dari Ganasnya Tsunami Palu
Pengurus kerukunan keluarga Bulukumba (KKB) Sultra diwakili ketua umum Kerukunan Keluarga Bulukumba Andi Irwan Nur menyerahkan bantuan kepada keluarga korban

Walaupun kondisinya lemah, Ita dengan suara pelan menuturkan dalam bahasa Konjo kepada pengurus Kerukunan Keluarga Bulukumba (KKB) Sulawesi Tenggara, yang saat itu juga menjenguk dirinya, tentang perjuangannya melawan maut.

Ita berada di Palu beberapa hari sebelum bencana untuk melamar pekerjaan. Ita meninggalkan Koltim menuju Kajang untuk bersilaturahmi dengan keluarga sebelum ke Makassar, dan bertolak menuju Palu.

Sore itu, bersama beberapa remaja lain yang juga ikut melamar pekerjaan, Ita menuju ke area pantai untuk mengisi perut. Mereka memilih makan bakso sambil mengamati suasana pantai yang mulai ramai untuk persiapan Festival Adat Kaili.

BACA JUGA :  Hakim Perempuan di PN Andoolo Ungkap Keresahan, dari Minim Fasilitas hingga Rentan Intervensi

Ita masih sempat mendengar lantunan selawat dari masjid-masjid di sekitar pantai, ketika tiba-tiba ia merasakan bumi bergetar sangat keras. Getaran yang menimbulkan kepanikan. Belum sempat mencari tahu apa yang terjadi, gulungan ombak tinggi telah berada tepat di depannya.

“Saya mencoba berlari kencang tetapi gulungan ombak tsunami lebih cepat menerjang dan menyapu semua yang ada di depan saya,” ungkap Ita.

Ita merasakan dirinya terhempas keras dan ditenggelamkan oleh tenaga kuat dalam gulungan air yang bercampur dengan pasir. Ia tak lagi menyadari apa yang terjadi. Ia pingsan. Dan ternyata gelombang tsunami menyeretnya ke daratan. Ke sebuah bangunan jauh di seberang jalan yang tak bisa ia gambarkan lokasinya.

Setelah memuntahkan sisa air dan pasir yang terisap ke kerongkonganya, Ita perlahan mulai tersadar dan merasa kesakitan. Ia sempat tak bisa mendengar karena telinga dan hidungnya terisi pasir laut. Ia juga kesulitan bernapas karena wajah dan dadanya terbentur ke tembok bangunan.

Dalam keadaan sakit dan gelap gulita, hal pertama yang dilakukan Ita ketika sadar adalah sujud syukur karena sang pemilik kehidupan masih memberinya kesempatan melihat dunia.

Sang Ibu Jadi Penyemangat

Dalam kesendirian dan kesakitannya, bayang-bayang sang Ibu yang masih dirawat di rumah sakit di Kolaka setelah menjalani operasi kista semakin membuatnya perih. Wajah wanita yang melahirkannya memunculkan semangat hidupnya untuk terus bertahan. Ia ingin bertemu kembali dengan sang Ibunda.

BACA JUGA :  Disabilitas Netra dan Pemilu: Antara Keinginan dan Keraguan Memilih

Ita pun bangkit dan tertatih-tatih keluar bangunan. Area pantai yang tadinya riuh dan padat bangunan tiba-tiba kosong. Sepi. Tak ada suara, kecuali angin dan debur ombak.

Ita memilih berjalan menyusuri sisa-sisa amukan tsunami dalam kegelapan. Tak lama berjalan, ia melihat sebuah mobil yang lampunya masih menyala. Namun tak ada siapa-siapa di sana. Ia mendekati mobil itu dan menekan klakson selama mungkin untuk mencari bantuan. Tapi tetap tak ada satu orang pun yang tampak. Hanya sunyi dan gelap.

Ketakutan terus menghampirinya. Ingatan akan keluarganya di Koltim membuat tangis Ita pecah semakin keras. Ia tak tahu berapa lama ia menunggu dalam kesunyian dan kegelapan, ia akhirnya mendengar suara motor dan mobil dari kejauhan.

Ita yang sudah sangat letih, berjuang sekuat tenaga dengan cara merangkak untuk mendekati sumber suara. Ia melewati puing-puing bangunan beserta mayat-mayat yang berserakan di jalan.

Akhirnya Ita sampai di tempat sumber suara. Di sana ia mendapatkan pertolongan. Dua hari kemudian Ita mendapat kabar bahwa kendaraan pengantar bantuan dari Kendari sudah ada yang akan kembali. Ita pun akhirnya diikutkan dalam rombongan kendaraan tersebut menuju Poso, Morowali, dan akhirnya tiba di Kendari dan langsung diantar ke RS Bahteramas untuk mendapatkan perawatan secara gratis. (A)

 


Penulis : Sri Rahayu
Editor : Jumriati

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini