Konflik Lahan Sawit di Konut, Saling Klaim Lahan, Penegak Hukum Tak Berdaya

139

ZONASULTRA.COM, WANGGUDU– Sejatinya kehadiran perusahaan perkebunan sawit PT. Damai Jaya Lestari (DJL) milik pengusaha “raja minyak” dari Medan, DL. Sitorus di kecamatan Wiwirano dan kecamatan Langgikima, bisa memberikan kesejahteraan para petani di daerah itu.

Namun harapan besar itu tak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Petani selalu berada pada posisi yang dirugikan dan menguntungkan pihak perusahaan. Jeritan petani plasma dianggap angin lalu belaka. Pemerintah daerah pun hanya diam tak bisa berbuat banyak. Mulai bagi hasil yang tidak adil hingga Konflik lahan menjadi masalah krusial yang harus segera diatasi.  (Baca Juga : Janji Manis PT. DJL di Konut, Petani Sawit : Kami Mau Mengadu Kemana Lagi?)

Potensi konflik antar pemilik lahan dengan pihak perusahaan (PT.DJL) dan warga cukup besar. Bahkan potensi konflik ini bisa menjadi bom waktu jika pemerintah tak segera turun tangan memediasi perusahaan dan para petani yang saling klaim sebagai pemilik lahan .

Terlebih lagi petani selama ini berada dalam posisi yang dirugikan. Beberapa pemilik lahan harus kehilangan tanah mereka akibat revisi SKT yang dilakukan sepihak oleh mantan kepala desa Polo-Polora, Endang.

Bahkan kubu Nais Laturumo saat ini tengah mengumpulkan bukti kuat untuk dibawa ke meja hijau. Sebanyak 56 orang pemilik lahan sudah menandatangani rencana gugatan tersebut yang akan segera didaftarkan ke pengadilan negeri.

“Kami tinggal menunggu saja waktunya kapan, rencananya setelah pilkada kami sudah memasukan gugatan itu ke Pengadilan Negeri Unaaha. Karena kami merasa ini benar-benar hak kami yang harus kami perjuangkan,” kata Ansar, yang diaminkan beberapa pemilik lahan lainnya.

Bahkan kata dia, masyarakat yang kehilangan lahannya siap mati jika memang itu jalan terakhir yang harus ditempuh.

“Kenapa kami sangat bersikukuh? baru-baru ini Dinas Pendapatan (Dispenda) Konut mengeluarkan bukti pajak bumi dan bangunan (PBB) yang harus kami bayar, nah disitu nama yang tertera pada PBB itu adalah nama yang sesuai dengan SKT terbitan pak Nais Laturumo,” yakinnya.

Sementara kubu Endang, juga tengah melakukan pengumpulan tandatangan untuk mengugat balik Nais Laturumo karena dianggap sengaja tidak mau menandatangani berita acara pembayaran yang diajukan pihak perusahaan sebagai bukti administrasi pembayaran plasma kepada pemilik lahan.

“Alasan Pak Nais tidak mau menandatangani surat itu karena peta dan SKT yang dibuatnya tidak sesuai, sementara waktu kami turun melakukan pengecekan bersama dengan pemilik lahan dan juga pihak kepolisian, ternyata itu tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Dia hanya membuat SKT saja, sementara dia tidak pernah turun melihat mana lokasi itu,” kata salah satu kerabat Endang yang enggan disebutkan namanya.

Saat ditemui, Endang mengungkapkan alasannya melakukan revisi SKT saat dirinya masih menjabat sebagai kepala desa Polo-Polora didasari banyaknya komplain dari pemilik lahan yang saling klaim kepemilikan.

“Pada tahun 2011 kami melakukan pertemuan antara pihak perusahaan dan pemilik lahan, waktu itu dihadiri oleh Camat Wiwirano yang dijabat oleh Raga L dan Iptu Muhammad Basir yang saat itu menjabat sebagai Kapolsek Wiwirano,” katanya.

Suasana saat itu, kata dia, sempat memanas antara beberapa pemilik lahan yang mengklaim memiliki lahan dan pemilik lahan era kepemimpinan Nais Latorumo, sehingga pihaknya bersama dengan pemerintah kecamatan dan kepolisian mengambil sikap untuk kembali melakukan pengukuran dan merevisi SKT yang ada.

Sayangnya, pertemuan yang dilakukan itu hanya dihadiri oleh 10 orang pemilik lahan saja, sangat berbeda jauh dengan pertemuan yang dilakukan Nais Latorumo yang dihadiri 89 orang pemilik lahan.

“Disaat yang bersamaan, muncul gugatan dari dua wilayah desa pemekaran, yakni Desa Hialu dan Desa Laumoso. Makanya peta yang digunakan oleh kades sebelumnya kami ubah dengan peta yang baru,” kata Endang.

Dalam perjalanan menuju kantor PT DJL, awak zonasultra.id sempat bertemu dengan Arjan, pemilik lahan di Desa Hialu yang merupakan desa pemekaran dari desa Polo-polora. Ia mengaku kehilangan lahan sekitar 3 hektar akibat imbas dari revisi SKT dan perubahan peta. Namun saat dirinya menanyakan itu ke pihak perusahaan tak mendapat respon.

Lelaki paru baya itu juga menunjukkan foto copy kwitansi yang bertuliskan biaya pembuatan SKT dengan nominal Rp. 31.200.000 yang ditandatangani oleh Abuhaera yang kala itu menjabat sebagai Camat Wiwirano, dengan total 208 lembar SKT dan 8 sertifikat dengan luasan 1.235 hektar.

Selain kwitansi, Arjan juga menunjukkan nama pemilik lahan yang di dalamnya terdapat beberapa nama mantan penjabat daerah Konawe dan pejabat kepolisian, hingga pejabat pejabat kecamatan dan kepolisian sektor Wiwirano.

“Kami curiga beberapa nama penjabat yang memiliki lahan merupakan cara perusahaan untuk memuluskan kegiatan mereka atau lebih sederhana dikatakan sebagai gratifikasi. Kenapa kami katakan seperti itu, karena orang-orang ini bukanlah penduduk asli di sini, bagaimana mungkin mereka memiliki lahan,” kata lelaki yang juga mengaku sebagai aktifis ini.

Arjan mengungkapkan, sejak awal sosialisasi hingga pada proses panen PT DJL sudah banyak membawa permasalahan, mulai dari saling serang antara perusahaan sawit dan perusahaan tambang, yang membuat sebahagian masyarakat pemilik lahan menjadi dilema, hingga pada persoalan bagi hasil yang dinilai tidak sesuai.

Penyerobotan Hutan Lindung dan Ketidakberdayaan Penegak Hukum

Pada awal tahun 2015, Kepolisian Resort (Polres) Konawe melalui Satuan Reserse Kriminal (Reskrim) menetapkan tiga orang tersangka dalam kasus pengerusakan hutan lindung di wilayah itu. Namun hingga saat ini kasus tersebut terkesan tenggelam begitu saja.

Tiga nama yang ditetapkan sebagai tersangka saat itu hingga saat ini masih bebas berkeliaran, bahkan tersangka Endang dinyatakan memenuhi syarat sebagai calon Kepala Desa Polo-polora dalam Pilkades yang digelar Mei lalu.

Kepala Satuan (Kasat) Reserse Kriminal (Reskrim) Polres Konawe, yang kala itu masih dijabat Iptu Donny Kristian Bara’langi mengungkapkan, pihaknya tidak akan mengeluarkan Surat Keterangan Berkelakuan Baik (SKCK) sebagai berkas syarat mutlak dalam pencalonannya (Endang), namun pada kenyataannya Endang tetap diloloskan.

Sementara tersangka Jasper Simatupang (JS) yang merupakan Pimpinan Proyek (Pimpro) PT. DJL hingga saat ini tidak diketahui keberadaannya.

Berbeda dengan kedua tersangka tersebut, satu orang tersangka lainnya SM yang sempat dikabarkan sudah ditahan di rumah tahanan (Rutan) Unaaha. Namun informasi tersebut belum diketahui kebenarannya. Dari informasi yang berhasil dihimpun awak media ini nama tersebut masih bebas saja dan tidak pernah ditahan.

Sayangnya, meski sudah terbukti melanggar Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 1991 tentang Pengerusakan Hutan, pasal 78 ayat 1 dan 2 Jo pasal 50 ayat 3 huruf A dan B, dan  atau pasal 92 ayat 1 huruf A Jo pasal 17 ayat 2 huruf B. dengan ancaman 20 tahun penjara dan denda Rp.20 miliar. Ketiga tersangka itu hanya dikenakan wajib lapor dan tidak dilakukan penahanan.

Sisi Lain PT DJL

Arjan mengakui jika keberadaan PT DJL di Kecamatan Wiwirano dan Kecamatan Langgikima membawa banyak manfaat, seperti adanya peningkatan ekonomi di masyarakat meskipun perusahaan tersebut belum banyak membawa kemakmuran dan kesejahteraan kepada masyarakat kecil.

“Memang dulu sebelum ada perusahaan sawit, masyarakat di dua kecamatan ini cukup kesulitan untuk mendapatkan penghasilan, karena tanahnya tandus dan kurang subur, sehingga pekerjaan masyarakat dulunya hanya mengolah rotan saja,” ujar lelaki yang sedikit brewok itu.

Kata dia, masyarakat memang harus mengakui jika tidak ada perusahaan sawit ini, maka mereka (masyarakat pemilik lahan) tidak akan bisa memiliki barang elektronik seperti tv dan juga barang mewah lainnya.

“Bahkan waktu itu tidak ada orang yang mau berkunjung ke Wiwirano dan Langgikima, karena katanya tidak ada kehidupan di zsini, bahkan dulu daerah ini sempat jadi sasaran mutasi empuk bagi PNS yang dinilai malas dan suka membangkang saat era kepemimpinan almarhum Razak Porosi,” ujarnya.

Lanjut Arjan, persoalan yang paling urgen hanya satu, yakni proses pembagian hasil atau plasma yang tidak sesuai dengan perjanjian awal.

“Kalau ini diperhatikan sebenarnya tidak ada masaalah, atau ketika ada kebijakan baru maka pemilik lahan harusnya dilibatkan, minimal ada pemberitahuan agar masyarakat tidak salah presepsi. Tapi kalau cara seperti ini kami pemilik lahan beranggapan bahwa sampai hari ini PT DJL telah melakukan pembodohan dan pembohongan publik. Dan itu harus kami lawan,” terang Arjan.

Sementara itu, Iptu Muhammad Basir yang diduga menerima gratifikasi lahan dari perusahaan atas kerjasama dengan tersangka Endang, membantah jika lahan miliknya merupaka hasil sogokan PT DJL untuk tidak melakukan tindakan hukum jika terjadi persoalan.

Mantan Kapolsek Wiwirano itu mengaku lahan dengan luasan lebih dari 10 hektar itu didapatnya dalam transaksi jual beli tanah antara dirinya dengan beberapa pemilik lahan yang ingin menjual lahannya dengan harga Rp.4 juta perhektarnya.

“Bahkan saya juga membeli beberapa hektar lahan dari Pak Suleman, karena waktu itu dia ingin menjualnya. Kebetulan ada uang, saya pun langsung beli tanah itu. Jadi kalau ada yang mengatakan itu gratifikasi itu tidak benar,” kata Muhammad Basir yang saat ini menjabat sebagai Kasat Intelkam Polres Konawe.

Ia mengaku tidak terlalu banyak tahu tentang persoalan  sengketa lahan dan sistem plasma di Wiwirano. Pasalnya, saat ia menjabat sebagai Kapolsek Wiwirano, PT DJL sudah masuk dan sudah melakukan eksploitasi.

Namun untuk persoalan revisi SKT, dirinya mengaku hadir saat proses pengukuran ulang yang dilakukan sejumlah orang yang mengaku memiliki lahan.

“Saat itu kami hanya bertugas sebagai pihak keamanan saja, karena waktu itu orang-orang yang mengaku memiliki lahan datang dengan parangnya, tetapi kalau revisi SKT itu saya kurang tahu,” jelasnya.

Dilain pihak, Kepala Kepolisian Resort (Kapolres) Konawe, AKBP Jemi Junaedi saat dikonfirmasi terkait adanya isu jika PT DJL kebal hukum akibat tidak jelasnya kasus penyerobotan lahan yang menyeret tiga orang tersangka, mengaku belum mempelajari kasus tersebut, sebab ia baru beberapa bulan menjabat sebagai Kapolres Konawe setelah menggantikan AKBP Dr Barito Mulyo Ratmono.

“Saya belum tahu kasus itu, karena saya masih fokus dalam pengamanan pemilihan kepala daerah (Pilkada) di sini (Konut), jadi saya belum bisa berkomentar banyak,” singkat mantan Kapolsek Unaaha itu.

Pihak PT Damai Jaya Lestari menolak memberikan komentar terkait sistem bagi hasil atau plasma antara masyarakat pemilik lahan dan pihak perusahaan yang dinilai merugikan banyak petani.

Saat awak media ini bertandang ke kantor perusahaan milik DL Sitorus, itu tidak satupun pengambil kebijakan yang bersedia memberikan keterangan dengan alasan, staf bagian plasma dan kemitraan sedang tidak berada di tempat.

“Sesuai dengan arahan dari Pimpro, kita diarahakn bertemu pak Majid (staf plasma dan kemitraan PT DJL), dan saat ini pak Majid sendang keluar,” kata Arman, security perusahaan yang saat itu sedang bertugas di Pos I.

Setelah menunggu selama dua jam, pihak perusahaan tetap menolak memberikan keterangan sedikitpun kepada awak zonasultra.id. Saat dihubungi via selulernya, Majid tidak menjawab dan hanya mengirimkan pesan sms.

“Saya rasa wawancara bagus selama itu bersifat positif,” singkat Majid melalui pesan sms-nya. (***)

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini