Masih Seputar Nur Alam

107
La Ode Muhammad Dzul Fijar
La Ode Muhammad Dzul Fijar

Entah saya secara kebetulan atau tidak, setiap membuka jejaring sosial Facebook, saya selalu melihat pemberitahuan dari berbagai media tentang kasus Gubernur Sultra. Sesekali saya membaca berita tersebut, isinya hampir sama namun judul beritannya yang agak beda. Yang jelas tentang penetapan Gubernur Sultra yakni Nur Alam sebaga tersangak Oleh KPK. Sulawesi Tenggara bergema atas kasus yang menimpa Gubernurnya.

La Ode Muhammad Dzul Fijar
La Ode Muhammad Dzul Fijar

Berbagai kalangan disibukan dengan diskusi hukum, walaupun banyak masyrakat awam yang hanya mengetahui bahwa Nur Alam sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, lalu mengklaim sepihak bahwa Gubernur Sultra telah bersalah. Bahkan cacian dan makian dilontarkan.

Awalnya KPK menggeledah Kediaman Gubernur sultra, dan beberapa tempat lainnya. Setelah beberapa jam KPK mengadakan konferensi pers, dan menetapkan Gubernur Sulawesi Tenggara sebagai Tersangka terkait Kasus Korupsi dengan dugaan penyalahgunaan wewenang pemberian izin pertambangan nikel di dua Kabupaten di Sulawei Tenggara selamat kurun waktu 2009 – 2014.

Penggeledaan tersebut dilakukan berdasarkan pasal 1 angka 17 KUHAP “penggeledaan rumah adalah tidakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang – undang ini”.

Selang beberapa jam setelah melakukan pengeledaan, KPK lalu mengadakan konferensi pers terkait penggeledaan yang dilakukan oleh KPK di rumah NA. La Ode Muhammad Syarif selaku wakil ketua KPK menegaskan, penetapan Gubernur Sulawesi Tenggara (NA) sebagai tersangka karena penyidik telah menemukan dua alat bukti yang sah dan akan meperbanyak lagi alat bukti lainnya. Penyidik telah menemukan dua alat bukti yang sah di rumah NA.

Kategori alat bukti yang sah juga diatur dalam KUHAP, tepatnya dalam pasal 184 Kuhap disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah; keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Martiman Prodjohamidjojo dalam bukunya Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, hal. 19 mengulas tentang alat bukti, dalam hal ini hanya alat bukti yang sah menurut Undang – Undang yang dapat digunakan untuk pembuktian, diluar ketentua itu tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah.

Ketika dua alat bukti yang telah dikumpulkan oleh penyidik KPK maka dengan kewenangan yang dimiliki oleh KPK, Maka NA ditetapkan sebagai tersangka. Lagi – lagi berkiblat dalam KUHAP bahwa dalam pasal 1 poin 14 di tegaskan “Tersangka adalah seseorang yang dengan perbuatannya, atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”.
**

Gubernur sebagai kepala daerah pada tingkat provinsi menjalankan tugas dan kewenangannya berdasarkan desentralisasi dan tugas pembantuan, sedangkan sebagai wakil dari pemerintah pusat di wilayah provinsi,

Gubernur menjalankan tugas dan wewenangnya berdasarkan asas dekosentrasi yang bertanggung jawab kepada Presiden. Hal tersebut berdasarakn pasal 1 angka 7, 8, dan 9 Undang – Undang Nomor 3 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Dari dalil tulisan diatas, maka Gubernur dalam hal ini NA mempunyai tugas dan kewenangan yang dimiliki sebagai kepala daerah yang ditetapkan dalam pasal 65 ayat 1 (Tentang Tugas) dan Pasal 65 ayat 2 (Tentang Kewenangan) undang – undang Nomor 23 tahun 2014. Adapula tugas dan kewenangan Gubernur sebagai wakil dari pemerintah pusat didaerah.

Lantas Bagaimana dengan roda pemerintahan yang dipimpin oleh NA selaku Gubernur Sultra yang Berstatus Sebagai Tersangka, Apakah NA dapat diberhentikan dari jabatannya? Pada dasarnya setiap kepala Daerah/wakil kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh masyarakat dapat diberhentikan karena dua alasan, yaitu faktor politik dan faktor hukum yang menimpa kepala daerah/wakil kepala daerah.

Terkait kasus NA, disini kita bisa melihat bahwa NA diduga melakukan tindak pidana korupsi dengan dugaan penyalahgunaan wewenang pemberian izin pertambangan nikel di dua kabupaten. Jadi opsi kedua bisa digunakan yakni karena faktor hukum, tetapi proses pemberhentia NA tidak segampang membalikan telapak tangan.

Banyak proses – proses hukum yang mesti dilalui. Toh, terbukti pasca dua hari setelah ditetapkan sebagai tersangka Gubernur Sultra tampak ceria dan senang dengan wajah yang sangat membanggaan. Sebab setelah dua kali 24 jam NA resmi menyandang gelar Doktor dari Universitas Negri Jakarata. Jiwa – jiwa pemimpin masih tertanam didalam dirinya, walaupun kabar duka hadir dan menimpa dirinya, bahkan cacian dari rakyatnya telah menjadi bumbu – bumbu perusak mood pasca ditetapkan sebagai tersangka, tetapi disisi lain kabar membanggakan juga Ia peroleh dengan meraih gelar Doktor dari UNJ.

Terlepas dari gelar doktor yang diraihnya, tersangka tetaplah tersangka. NA harus terus melalui proses hukum yang didugakan kepadanya. Ketentuan dalam UU Pemda menerangkan dengan jelas bahwa secara de jure NA masih menjadi gubernur SULTRA aktif untuk saat ini. Ia masih berwenang untuk menjalankan tugas-tugas pemerintahan di Pemprov SULTRA. Karena berdasarkan pasal 30 ayat (1) dan pasal 31 ayat (1) UU Pemda seorang Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dapat diberhentikan sementara atau dinonaktifkan ketika status kepala daerah naik menjadi terdakwa.

Jika nantinya NA dinaikan statusnya sebagai terdakwa (Berandai–andai) maka NA akan di nonaktikan dari jabatannya sebagai gubernur, Maka dengan sendirinya Wakil Gub. Yakni H. Saleh Lasata akan menjadi pelaksana tugas (Plt. Gub. Sultra), sesuai dengan pasal 34 UU Pemda. Jika H. Saleh Lasata sudah di tetapkan sebagai pelaksana tugas, maka kewenangan yang diberikan kepadannya tidak sama dengan kewenangan yang dimiliki oleh gubenur sebagai wakil dari pemerintah pusat dan sebagai kepala daerah. Sebab ruang gerak seorang pelaksana tugas kepala daerah bisa dibilang cukup terbatas. Sedangkan berdasarkan Pasal 126 ayat 1 Peraturan Pemerintah No.6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berbunyi, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara oleh presiden tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara.

Yang lebih krusial justru ketika NA menjadi tahanan KPK, Diakhir masa kepemimpinannya tentu kinerja NA sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan berbagai macam pembangunan dan program kerja yang Ia canankan. Dilain sisi NA juga harus menyelesaikan masalah hukum yang menimpa dirinya dalam hal ini adalah kasus korupsi. Maka berdasarkan Hal itu sesuai dengan UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 65 ayat 3 yang berbunyi: Kepala daerah yang sedang menjalani masa tahanan dilarang melaksanakan tugas dan kewenangannya. Ayat berikutnya, ayat 4 berbunyi: Dalam hal kepala daerah sedang menjalani masa tahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau berhalangan sementara, wakil kepala daerah melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah. Kewenangan sementara yang dipegang wakil gebernur itu diperkuat dalam pasal 66 ayat 1c UU 23/2014 yang berbunyi, wakil kepala daerah mempunyai tugas membantu kepala daerah dalam melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah menjalani masa tahanan atau berhalangan sementara.

Sebagai akhir dari tulisan ini, saya kembali menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara Hukum. Setiap perbuatan yang kita lakukan akan menjadi perbuatan hukum jika menimbulkan akibat hukum pula. Urusan pembuktian formal atas sangkaan itu memiliki ruang dialektika dengan mekanismenya sendiri. Olehnya itu, setiap perbuatan hukum yang menimbulkan akibat hukum mempunyai aturan formal tersendiri. Percayakan kepada KPK, yang untuk mengusut tuntas kasus NA terkait penyalahgunaan wewenang pemberian izin pertambangan nikel.

 

Penulis : La Ode Muhammad Dzul Fijar
Mahasiswa Fakultas Hukum UHO asal Muna

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini