Menebak Gubernur Sultra Pasca Nur Alam

612
La Lemanjaya
La Lemanjaya

Calon gubernur dan wakil gubernur Sultra mengerucut pada 3 pasangan kandidat. Nomor urut para kontestan sudah ditentukan. Ali Masi, Asrun, dan Rusda Mahmud telah berbagi angka cantik. Para kandidat mulai ancang-ancang beradu strategi. Beberapa hari kedepan menjadi masa kampanye bagi calon gubernur dan wakil gubernur Sultra. Peserta kontestasi pilgub akan kembali bersafari mengunjungi kantong-kantong suara di daerah-daerah.

Di atas panggung, para kandidat berkomitmen untuk mengadakan kampanye damai nan santun. Tapi jangan kaget, tim sukses di bawah sudah mulai saling gontok-gontokan komentar di media online. Ada yang membela, mengangkat, dan menunjukan prestasi kandidat pilihannya. Ada pula yang menjelekkan, merendahkan, serta menunjukan ketidakmampuan pasangan lain. Tak sedikit, beberapa oknum mengeluarkan prediksi raihan suara masing-masing kandidat. Sudah barang tentu, calon yang mereka jagokanlah yang dianggap paling unggul.

Memahami Segmentasi Pemilih

Para cagub tentu menginginkan sebanyak-banyaknya dukungan suara. Tapi jangan salah, perilaku pemilih punya hukumnya tersendiri. Calon pemilih tentu menghadapi pilihan yang sulit. Apakah akan memutuskan untuk memilih atau tidak. Selanjutnya, jika bersedia memilih, siapa yang akan dipilih juga menjadi tanda tanya tersendiri.

Berbagai pengalaman pilkada mutakhir menunjukan pemahaman terhadap anatomi pemilih menjadi kunci kemenangan dalam kontestasi. Pemilih dapat dikategorikan dalam beberapa segmen. Masing-masing kelompok punya karakteristik tersendiri, punya kebutuhan sendiri, punya harapan sendiri. Setiap bagian punya keunikan, sehingga membutuhkan pendekatan yang tentu saja berbeda-beda.

Pemilih dengan kombinasi pendidikan tinggi, mapan secara ekonomi, tinggal di perkotaan tentu berbeda dengan karakteristik pemilih yang berpendidikan rendah, atau tinggal di perdesaan. Demikian pula, pemilih yang sangat dekat dengan teknologi informasi, bangun tidur sampai tidur lagi ditemani handphone. Petani, nelayan, pedagang, pengusaha, pekerja kantoran tentu punya preferensi politik yang bisa saja berbeda-beda.

Segmentasi pemilih menjadikan kampanye tidak bisa dilakukan secara monoton. Variasi dan improvisasi metode kampanye tentu dibutuhkan untuk menarik dukungan voters sebanyak mungkin.

Belakangan ini, muncul klaim-klaim berupa angka survei tentang keunggulan salah satu kandidat Gubernur atau Wakil Gubernur Sultra. Hal ini tentulah positif dipandang untuk menjaga kepercayaan diri tim sukses sekaligus menjaga asa untuk memenangkan pertarungan. Tetapi sekedar mengingatkan, tidak sedikit kekalahan dalam pertarungan pilkada dikarenakan sikap terlena terhadap keunggulan hasil survei.  Hal ini menjadikan tim sukses menjadi ”takabur”, serta berleha-leha dengan pencapaian sementara itu.

Media termasuk media sosial menjadi salah satu sarana efektif untuk berkampanye. Menurut Alvaro Research, kepiawaian tim kampanye melakukan penetrasi melalui media sosial terbukti mampu meraup banyak suara kaum millennials. Para kontestan pilkada di Sultra juga memanfaatkan media online untuk merebut suara. Sayangnya, tim kampanye maupun simpatisan belum terorganisir dengan baik, bahkan terkesan sporadis. Melalui percakapan media sosial, tim kampanye bisa membangun image positif jagoannya. Di saat yang sama, para pendukung pun bisa mengkaunter bila ada berita negatif terhadap pilihannya.

Tidak sedikit kemenangan pilkada juga disebabkan keunggulan membangun narasi. Sebagai contoh, kuatnya narasi yang dimunculkan dalam Pilgub Jakarta. Ketimpangan ekonomi dan lapangan kerja menjadi isu yang selalu diangkat. Tim sukses bergerilya dari kampung ke kampung. Mereka menjelaskan program kerja yang dianggap mampu menjawab problematika masyarakat tersebut.

Bagaimana dengan di Sultra?. Sayangnya hingga saat ini belum terlalu jelas narasi yang diangkat masing-masing pasangan calon. Isu kerusakan lingkungan akibat aktivitas tambang, ketimpangan antara desa kota, ketimpangan pembangunan wilayah daratan dan kepulauan, termasuk penyediaan lapangan kerja layak belumlah dianggap isu strategis dan pilihan utama untuk diangkat. Bahkan yang lebih banyak diblow-up adalah narasi tentang dinasti politik yang belum terbukti berhasil di Pilwalkot Kendari.

Prasyarat Kemenangan

Berbagai kekalahan petahana pada pilkada beberapa kabupaten di Sultra pada putaran sebelumnya menunjukan masyarakat punya standar tersendiri menilai keberhasilan suatu pemerintahan. Buktinya, calon incumbent di pilkada Muna, Buton Utara, dan Konawe Utara pun tumbang. Padahal secara kasat mata, kemajuan pembangunan sudah ditorehkan sang petahana. Tapi apa mau dikata, pilihan rakyat berkata lain. Sebagian besar pemilih enggan menitipkan harapan kembali kepada mereka.

Mengakhiri tulisan ini, saya akan sedikit bercerita. Tepat setahun lalu, dalam perjalanan Makassar-Surabaya, tak disangka saya duduk bersebelahan dengan mantan calon wakil bupati yang tidak terpilih pada pilkada serentak di Sultra. Sebenarnya, saya sempat terkejut, bahkan sedikit tidak percaya dengan hasil pilkada di wilayahnya. Bagaimana mungkin mereka bisa kalah dalam pilkada yang diikutinya.

Beragam syarat-syarat kemenangan sudah digenggam. Didukung penuh Bupati yang sedang memimpin. Didukung sebagian besar partai di parlemen. Didukung sebagian besar simpul-simpul massa dan organisasi masyarakat. Didukung modal finansial yang besar. Tapi kenyataan berkata lain, pil kekalahan harus ditelan.

Saya tidak akan menjelaskan dugaan alasan kekalahan sang calon. Mengapa?. Karena akan mengulang ulasan diatas. Satu hal yang pasti, pertarungan pilkada adalah soal bagaimana kalkulasi politik dan kemampuan meracik strategi. Merencanakan dan mengevaluasi metode kampanye secara berkala mutlak dilakukan. Demikian kesimpulan yang dapat saya tarik dari obrolan sekitar 1 jam di udara melintasi laut jawa.

Karena itulah, persaingan merebut hati pemilih selalu menjadi pusat perhatian. Disamping banyak kelucuan para pendukung untuk menyatakan dukungan terhadap jagoannya, perilaku pemilih juga bagaikan kotak pandora yang kadang mengejutkan. Siapa yang lebih memahami anatomi pemilih? Siapa yang lebih efektif strategi kampanyenya? siapakah yang lebih luas dan lugas memanfaatkan media? Siapa yang punya narasi paling kuat? Yakinlah dialah yang akan memenangkan pertarungan pilgub Sultra. Kita tunggu saja.

 

Oleh : La Lemanjaya
Penulis adalah pemerhati sosial ekonomi, bekerja di BPS Muna.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini