Mengenal Jati Berusia 3,5 Abad, Pusaka di Tanah Muna (Bagian II)

1142
Mengenal Jati Berusia 3,5 Abad, Pusaka di Tanah Muna (Bagian I)

ZONASULTRA.COM, RAHA – Kawasan Cagar Alam Napabalano bukan hanya menjadi tempat hidup dan berlindung salah satu jati tertua di dunia. Hutan Napabalano juga menjadi rumah bagi satwa-satwa langka.

Penjaga Cagar Alam Napabalano, Mustafa menuturkan hutan Napabalano juga menjadi habitat bagi beberapa satwa seperti monyet, biawak, ular sanca, burung rangkong, kakak tua, nuri kepala paruh merah dan kuning.

“Masyarakat tetap menjaga kelestarian hutan dan hewan yang hidup di kawasan hutan. Mereka bahkan mensakralkan keberadaannya,” urai Mustafa ketika menerima kunjungan Kapolda Sultra Brigjen Pol Iriyanto, beberapa waktu lalu.

#Cerita Mistis Hutan Napabalano

Kawasan Cagar Alam Napabalano, ini tak terjamah dan tetap lestari karena diselimuti mitos keangkeran. Cerita mistis itu disakralkan oleh masyarakat setempat hingga saat ini.

Mustafa mengisahkan cerita seorang anak perempuan yang hilang di dalam hutan Napabalano. Awalnya anak itu, sering terlihat keluar masuk di dalam hutan. Setelah berada di dalam perkampungan, keesokan harinya anak itu tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Kedua orangtuanya sudah mencarinya kemana-mana bahkan warga dalam kampung ikut mencari namun keberadaannya tak seorang pun yang tahu.

Baca Juga : Mengenal Jati Berusia 3,5 Abad, Pusaka di Tanah Muna (Bagian I)

“Minggu pertama masih dicari hingga ke kampung sebelah, tapi tidak ditemukan. Bahkan aparat kepolisian tak mengetahui jejaknya. Sebulan hilang, keluarga pun memutuskan untuk menghentikan pencarian dan ikhlas atas peristiwa itu. Mereka yakin anaknya hilang di hutan Napabalano,” kisahnya.

Mengenal Jati Berusia 3,5 Abad, Pusaka di Tanah Muna (Bagian I)
Kapolda Sultra, Brigjen Pol Iriyanto saat mengunjungi pohon tertua didunia.

Bahkan, dahulu ada salah seorang yang dikabarkan memiliki indra keenam dan dipercaya bisa melihat mahluk astral atau gaib. Namanya La Bandi, salah satu tokoh masyarakat Tampo yang pernah berkomunikasi dengan mahluk gaib. “Katanya, kehidupan mahluk gaib di hutan Napabalano seperti masyarakat penduduk kota Jakarta. Ramai sekali,” urai Mustafa.

BACA JUGA :  Hakim Perempuan di PN Andoolo Ungkap Keresahan, dari Minim Fasilitas hingga Rentan Intervensi

Kesakralan hutan Napabalano sangat dipercaya oleh masyarakat sekitar. Bahkan kata Mustafa, tak ada seorang pun yang berani mengambil sebatang kayu dan ranting dari dalam hutan.

“Tidak ada yang berani biar mengambil ranting di dalam hutan. Bahkan daunnya tak ada yang berani. Itu, sudah tertanam dibenak masyarakat dan hingga sekarang belum ada yang langgar,” jelas Mustafa.

#Penyangga Mata Air Tampo

Selain diyakini angker, hutan Napabalano juga dianggap sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat setempat sebagai penyangga mata air di sekitar masyarakat Tampo.

“Sangat besar manfaatnya untuk masyarakat. Karena hutan Napabalano sebagai penghasil sumber air. Pesannya La Ode Ngkoimani tokoh masyarakat Muna untuk menjaga kelestarian hutan Napabalano. Kalau hutannya habis maka habis pula sumber air di Tampo,” Kata Mustafa.

Masyarakat Tampo pada musim tertentu melakukan ritual untuk menolak marabahaya atau masa paceklik. Seperti jelang masuknya musim barat yang bisa membawa wabah penyakit. Orang Muna menyebut ‘Kasumpuno Bhara’ atau penolak bencana musim barat.

Pada tahun 1980 kampung Tampo pernah dilanda wabah penyakit Kolera atau diare berat dan dehidrasi yang menyerang masyarakat. Korbannya mencapai ratusan orang. Penduduk sekitar meyakini itu ulah dari mahluk gaib hutan Napabalano yang berkeliaran dikawasan pemukiman. Sehingga saat itu, masyarakat Tampo langsung mengadakan ritual tolak bala atau masyarakat Muna menyebut ‘Kaago ago’.

BACA JUGA :  Disabilitas Netra dan Pemilu: Antara Keinginan dan Keraguan Memilih
*Deforestasi Besar-besaran

Keadaan jati tertua dan satwa di dalam Kawasan Cagar Alam Napabalano tak seperti yang terjadi di kawasan hutan lainnya Muna. Deforestasi atau penebangan hutan terus terjadi di daerah yang dikenal sebagai bumi layang-layang itu.

Mengenal Jati Berusia 3,5 Abad, Pusaka di Tanah Muna (Bagian II)Tahun 2003, cerita kejayaan Jati Muna sudah mulai memudar. Hilangnya kejayaan itu sejalan dengan berkurangnya populasi hutan Jati di Muna akibat deforestasi, yakni proses penghilangan hutan alam atau mengubah peruntukkan lahan hutan menjadi non-hutan.

Klimaksnya, deforestasi terjadi pada tahun 2005. Penggundulan hutan untuk kepentingan terjadi secara besar-besaran karena kebutuhan pasar yang tinggi terhadap kayu jati.

Data Dinas Kehutanan Muna pada 2003 lalu, menyebut pada tahun 2001 luas hutan jati di Muna diperkirakan sekitar 34.000 hektar terdiri dari 20.000 hektar jati alam dan 14.000 hektar jati tanam.

Dari luas hutan jati alam itu, 17.000 hektar rusak, hutan jati tanam 8.000 hektar rusak. Puncaknya, pada tahun 2005, pohon jati alam hampir punah, tinggal sekitar 1.000 hektar yang tersisa.

Pembukaan kawasan hutan sebagai lahan perkebunan juga terjadi di sekitar kawasan Cagar Alam Napabalano. Padahal, sebelumnya di sekitar hutan itu, dulu dipenuhi pepohonan jati, namun kini sudah disulap dengan tanaman jagung dan palawija.

Deforestasi bukan saja menjadi ancaman bagi kawasan hutan, namun juga bagi kelangsungan hidup tanaman jati itu sendiri. Karena ancaman itu pula, bila jati tertua itu mati maka bukan mustahil tak akan ditemukan lagi penggantinya. (A)

 


Kontributor: Nasrudin
Editor: Muhamad Taslim Dalma

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini