Mengenal Jejak Perjuangan Alwy Mansyur, Veteran Asal Sultra

879
Mengenal Jejak Perjuangan Alwy Mansyur, Veteran Asal Sultra
VETERAN - Alwy Mansyur merupakan salah satu veteran asal Sulawesi Tenggara (Sultra) yang lahir di Walay, Kecamatan Abuki, Kabupaten Konawe pada tahun 1926 silam. (Ilham Surahmin/ZONASULTRA.COM)

ZONASULTRA.COM,KENDARI– Alwy Mansyur merupakan salah satu veteran asal Sulawesi Tenggara (Sultra) yang lahir di Walay, Kecamatan Abuki, Kabupaten Konawe pada tahun 1926 silam. Sosoknya dikenal menjadi salah satu anggota Tri Komando Rakyat  (TRIKORA)  yang membantu pejuang kemerdekaan Indonesia dalam misi pembebasan Irian Jaya dari gengaman Belanda.

Tepatnya Desember 1962 sampai dengan Juni 1978, Alwy memenuhi panggilan (TRIKORA) dengan mengikut latihan militer yang bermula dari Kijantung, lalu pindah ke KLAPA II, pusat komandan Jon Pelopor selama 3 bulan. Kemudian bulan September hingga November 1962, mengikuti persiapan bergerilya di Irian Jaya menghadapi bom waktu yang ditinggalkan Belanda.

Pada 7 Desember 1962 hingga 30 April 1963, dirinya bertugas di Perwakilan Pembina VRI Karesidenan Manokwari masa United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) sebagai Sekretaris Perwakilan.

alwy_mansyur1UNTEA adalah sebuah organisasi bentukan PBB untuk mengatasi penyelesaian konflik Indonesia dan Belanda yg saling memperebutkan Irian Barat. Dimana berdasarkan perjanjian New York, Belanda harus menggangkat kaki dari Irian Barat selambat-lambatnya 1 Mei 1963.

Alwy Mansyur mengatakan selain menjadi sekretaris perwakilan, dirinya juga merangkap pada urusan tugas pendidikan dan kebudayaan khusus bagi pemuda Irian Jaya yang ingin tugas belajar di Jawa. Pria yang kini memasuki usia 90 tahun itu mengungkapkan dirinya dipercayakan untuk memiliki senjata api guna membantu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) serta menjaga rumah masing-masing.

“Bukan perkara mudah untuk berjuang waktu itu, tapi saya dan kawan-kawan yakin dengan sepenuh hati demi keadilan dan kebenaran kami pasti bisa memenangkan peperangan ini, meski nyawa taruhannya,” ungkap Alwy dengan nada sedikit lantang ditengah keterbatasan pada pendengarannya kepada awak zonasultra.id saat disambangi dikediamannya, Selasa (8/11/2016) siang.

(Baca Juga : Inilah Peninggalan Jepang dan Belanda yang Tersembunyi di Kota Kendari)

Dijelaskannya, untuk memenangkan peperangan melawan Belanda saat itu, dirinya bersama kepala perwakilan berusaha merangkul dan meminta bantuan pemuka suku Irian Mandacan Leudwik Mandacan dan Baras Mandacan berpangkat Letnan dan Kolonel. Akan tetapi bukan hal mudah untuk mendapatkannya, sebab mereka harus menggunakan pendekatan persuasif dengan cara mengambil hati para pemuka suku melalui acara makan dan minum bersama.

“Alhamdulilah dengan cara itu kami mengundang semua suku Irian Manacan berpesta, akhirnya kami mendapatakn simpati dari mereka, dan mau membantu kami melawan Belanda,” ujarnya dengan vokal suara yang terdengar sudah tidak jelas.

Selain itu, pihaknya juga tidak memiliki senjata yang lengkap untuk melawan Belanda. Alasan khawatir Belanda akan menyerang, akhirnya mereka memutuskan untuk pergi ke kota Baru mengambil senjata.

Pada saat mengibarkan bendera merah putih di kantor perwakilan, Alwy yang memimpin lagu Indonesia Raya menjelaskan bahwa pada saat itu pihaknya dilindungi oleh para anggota suku Irian Manacan dan tentara dengan perlengakapan senjata yang lengkap melawan bala serangan batalion Belanda.

alwy_mansyur2Penyerahan kekuasaan Irian Barat dari pemerintahan UNTEA (PBB) kepada pemerintah Indonesia dilaksanakan pada tanggal 1 Mei 1963 di Kota Baru. Dan pada hari yang sama, di Makassar (Ujung Pandang) dilaksanakan upacara pembubaran Komando Mandala.
Waktu itu pun dirinya diangkat sebagai Kepala Kantor Pendidikan dan Kebudayaan Karesidenan serta merangkap sebagi koordinator Binkab Pendidikan Dasar dan Pendidikan Masyarakat.

BACA JUGA :  Hakim Perempuan di PN Andoolo Ungkap Keresahan, dari Minim Fasilitas hingga Rentan Intervensi

Dengan tugas utama adalah membentuk pemerintahan baru, dimulai dengan segera membuka sekolah dari tingkat Sekolah Dasar (SD), SMP dan SMA negeri di Manokwari, sebab waktu itu lembaga pendidikan sama sekali tidak ada disana hingga membuka perguruan tinggi dan fakultas . Selanjutnya dibidang sosial ia membangun Yayasan Pendidikan Islam (Yapis).

Selain itu, ia juga aktif sebagai pembina pramuka, pembina umat, veteran serta konsolidasi membina kesatuan bangsa dan keamanan terutama menjelang Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA), sehingga kiat pemerintah RI waktu itu memenangkan PEPERA di Irian Jaya tahun 1969.

***

Untuk diketahui, sebelum melakukan perjuangan untuk pembebasan Irian Jaya, Alwy Mansyur telah melakukan perjuangan kemerdekaan pada bulan September hingga Desemebr 1945 sebagai anggota kesatuan pemuda Luwu Palopo dimasa pimpinan Andi Makkulau (Putra Datu Luwu), yang kemudian bersama kawan dan teman pimpinan Andi Hamid, Pakki, Andi Attas ikut usaha merampas senjata Jepang gudang SBHK Jepang, di Furukawa/Walenrang.

Pada tahun berikutnya 1946, ia terjun langsung pada pertempuran besar di Palopo melawan Nica yang dipimpi tentara Australia. Karena kekuatan senjata yang tidak seimbang, mereka menyingkir disekitaran kota perang gerilya dengan menyebrang ketenggara/ Latowu, bertahan di Benteng Batuputi bersama Sri Datu Luwu dan sekeluarga, yang kemudian tertangkap oleh Nica akhir tahun 1947 dan diwajibkan melapor pada waktu-waktu tertentu.

Alasan intimidasi yang terus dilakukan Nica, dirinya diam-diam pindah ke Makassar pada Agustus 1948, sambil mencari sekolah (Sekolah Guru Normal) namun tetap aktif secara diam-diam bergabung dengan KGSS Makassar sekitarnya, LAPRIS pimpinan Ranggong DG Mo. Kendati demikian, tahun 1949 diriny bersama kawan lainnya adalah pelajar yang ketahuan membantu perjuangan RI dan dikeluarkan dari sekolah.

alwy_mansyur3

Tak berhenti disitu, pertengahan September ditahun yang sama 1949, ia bergabung dengan PKR melucuti senjata Belanda melalui gerakan Masamba Affair yang dipimpin oleh Ny. Salawati Daud, Andi Attas dkk yang telah melarikan diri dari penjara Nica.

“Setelah Masambba Fair, terjadi hal yang sedih karena para pejuang dengan gugurnya pemuda yang gagah berani Wolter Monginsidi pada 5 Oktober 1949,” ujarnya.

Sayangnya, atas keterbatasan fisik yang dimiliki Alwy Masyur tak banyak data dan informasi lengkap yang dapat diberikan kepada zonasultra.id terkait perjuangan beliau dimasa penjajahan Belanda dan Jepang yang terjadi di Indonesia.

Sempat dikatakannya, sebelum mengkhiri ceritanya, ia menilai cara penjajahan yang dilakukan Belanda dan Jepang sangat berbeda dimana Belanda hanya mengistimewakan seluruh keturuanan orang ternama untuk diberikan sejumlah fasilitas yang memadai tapi bagi rakyat biasa sama sekali tidak diperhatikan.

BACA JUGA :  Disabilitas Netra dan Pemilu: Antara Keinginan dan Keraguan Memilih

Sedangkan Jepang merupakan negara yang begitu keras menjajah Indonesia namun dirinya memiliki visi untuk membantu kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu Alwy sangat senang bekerja untuk Jepang atas janjinya membatu kemerdekaan negara Indonesia.

Riwayat Pendidikan

Alwy Mansur awalnya bersekolah di Volkssrhool selama 3 tahun di Tongauna tahun 1936, kemudian lanjut disekolah VSS atau sekolah sambungan di Wawotobi tahun 1938. Setelah itu melanjutkan pendidikan di Kyoin Yoseisjo (Sek. Guru Jepang) Palopo, 1945.

Lalu, pada tahun 1950 ia bersekolah di Sekolah Normal (SGB) Makassar hingga 1952. Mendapatkan gelar sarjana muda Pendidikan Makassar tahun 1969 Univeristas Hasanuddin. Selanjutnya Sarjana Pendidikan di Universitas Halu Oleo (Unhalu) saat itu tahun 1983 dan terkahir melanjutkan pendidikan di Sekolah Pimpinan Administrasi (SESPA) tahun 1982 di Jakarta.

Piagam dan Tanda Penghargaan

Sebagai pejuang kemerdekaan tak sedikit penghargaan yang telah diperoleh pria yang fasih berbahasa inggris ini. Tak tanggung-tanggung 16 penghargaan telah diraihnya seperti tanda penghargaan dari Presiden RI sebagai sukarelawan TRIKORA, penghargaan menteri Pendidikan dan Kebudayaan sebagai sukarelawan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI masa UNTEA/PP tahun 1963.

alwy_mansyur4

 

Penghargaan juga diberikan dari Kepala Kantor Perwakilan Pemerintahan RI masa UTEA/PBB atas bakti TRIKORA Mei 1963, tanda penghargaan dari Dephankam/ Kepala Adm. Veteran RI atas masa bakti dua kali veteran dan tanda pengahargaan dari KODIM 1711- KOREM 171 Manokwari atas bantuan penyelamatan keamanan tahun 1969.

Satya Lancana Karya Satya 25 tahun di Irian Jaya tahun 1977, Satya Lencana LVRI, Satya Lencana  Perjuangan angkatan 45, Satya Lencana Satya Dharma, Satya Lencana Penegak, Satya Lencana GOM IX (TRIKORA), Satya Lencana PEPERA, Satya Lencana Klas I.
Piagam penghargaan dari Kwarnas Gerakan Pramuka Pusat, Piagam penghargaan Presiden, kenaikan pangkat I tingkat, bakti TRIKORA serta piagam pembina penataran P-4 tingkat nasional sebagai penatar P-4 ditingkat I Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) .

Pesan

Sebagi salah satu pejuang, tak lupa Alwy Mansyur menyampaikan pesan kepada pemerintah dan generasi penerus bangsa. Dirinya berharap pemerintah saat ini khusus di Sultra terus meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui kebijakan yang memang tidak menyulitkan masyarakat, sebab cita-cita pemerintah jaman perjuangan kemerdekaan adalah melindungi rakyat dari kesengsaraan penjajah masa itu.

(Baca Juga : Cerita Pengikut Kahar Muzakkar, Pimpinan DI/TII Yang Terlupakan di Bumi Anoa Bagian Selatan)

Sedangkan bagi generasi penerus bangsa, jadilah pemuda yang memiliki rasa nasionalisme dan memiliki yang tinggi terhadap kemerdekaan dan negara Indonesia, sebab berapa banyak pemuda dan pemudi dimasa perjuangan kemerdekaan yang rela mati hingga titik darah penghabisan demi Indonesia.

Karenanya Alwy mengajak masyarakat Sultra untuk tetap mencintai dan menjaga wilayah dan negara Indoensia tetap utuh dan aman. (A)

 

Penulis : Ilham Surahmin
Editor    : Rustam

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini