Menimbang Pengusiran Wartawan

99
Andi Syahrir
Andi Syahrir

OPINI : Ekspresi Rivai Pamone kecut ketika sekelompok orang tiba-tiba berteriak-teriak, mengacungkan jempol ke bawah, bahkan mendorong punggungnya hingga tubuh wartawan berpostur tinggi tersebut terjajar ke depan. Rivai tentunya tidak nyaman dan terganggu, tetapi tidak mampu berbuat apa-apa.

Perlakuan yang diterima wartawan Metro TV tersebut terekam dalam sebuah video yang tersebar luas di publik. Rivai dengan terpaksa meninggalkan lokasi liputannya pada Aksi 212 yang dipusatkan di Monas, Jakarta, 2 Desember 2016 lalu, demi alasan keamanan. Singkatnya, wartawan Metro TV itu diusir.

Andi Syahrir
Andi Syahrir

Pengusiran itu memicu reaksi dari organisasi profesi wartawan seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Organisasi ini mengecam keras tindakan intimidasi, penghalang-halangan, dan pengusiran atas pekerja pers.

Ketua AJI Suwarjono menyatakan, ini merupakan pelanggaran serius terhadap kerja jurnalistik dan perbuatan pelanggaran hukum sehingga layak untuk dipidanakan dan diproses hukum. Aksi penghalangan kerja jurnalistik mengancam hak masyarakat untuk mendapatkan berbagai informasi yang terkait dengan kepentingan publik (Merdeka.com, Sabtu/3 Desember 2016).

Menurut Suwarjono jika ada pihak-pihak yang tidak puas atas pemberitaan media masaa, bisa langsung protes ke media yang bersangkutan dengan menggunakan hak jawab, hak koreksi dan menyampaikan pendapatnya. Apabila tidak puas dan ada dugaan pelanggaran etik, bisa melaporkan ke Dewan Pers.

Tindakan kekerasan terhadap wartawan bukanlah hal baru. Tindakan-tindakan brutal untuk pekerja pers nyaris sama tuanya dengan profesi itu sendiri. Tetapi jika melihatnya secara kasuistik, tindakan pengusiran yang dialami Rivai Pamone perlu dilihat paling tidak dari dua dimensi.

Pertama, kasus pengusiran Rivai Pamone terpicu oleh laporan pandangan matanya tentang jumlah peserta aksi yang memadati Lapangan Monas. Berdasarkan video itu, sepertinya Rivai menyebut angka 50.000 yang lalu diprotes oleh seseorang.

Mungkin saja angka 50.000 yang disebutkan Rivai adalah suatu jumlah yang besar menurut dia. Tapi bagi peserta aksi itu merupakan laporan “meremehkan” dan “pembohongan” terhadap fakta sesungguhnya.

Kasus wartawan Metro TV ini sama seperti seorang suporter sepakbola yang mengenakan jersey Tim A dengan seluruh atributnya, lalu berada di tengah-tengah suporter Tim B. Ketika seorang pemain Tim B terjatuh karena dilanggar oleh pemain Tim A dan berakibat kartu kuning, suporter tadi berteriak nyaring “wasit curang!”. Untuk ukuran sepakbola di Indonesia, saya tidak berani mengatakan bagaimana nasib suporter itu.

Tidak berarti bahwa pengusiran terhadap wartawan atau indikasi bahwa suporter sepakbola tadi bakal dibabakbeluri, merupakan tindakan yang dibenarkan. Tapi poin pentingnya adalah doktrin utama seorang pekerja pers adalah mengutamakan keamanan diri.

Seorang reporter yang berada di tengah-tengah massa yang dia sadar bahwa identitas yang melekat padanya tak begitu disenangi, tentunya perlu melipatgandakan kehati-hatiannya dalam menyampaikan laporan pandangan mata, apalagi menyangkut soal data.

Saya teringat pesan mentorku saat dididik menjadi wartawan sekitar 13 tahun silam. “Utamakan keselamatan saat meliput. Untuk apa berita bagus kamu peroleh tapi tak mampu menuliskannya karena kamu sudah mati.” Pesan itu sangat melekat dalam hatiku.

Tetapi dalam banyak hal keberanian dan kenekatan memang menjadi insting yang harus dimiliki seorang wartawan. Banyak wartawan yang dikenal karena kenekatannya dalam menerobos wilayah liputan dan sukses dengan laporan yang eksklusif.

Tidak berarti menafikan akal sehat. Analisa terhadap wilayah liputan merupakan hal prioritas yang pertama kali dilakukan sebelum ke lapangan, terutama area yang bernuansa konflik. Sikap, bahasa tubuh, mimik, perkataan adalah hal-hal krusial yang menentukan keberhasilan liputan.

Dalam hal ini, wartawan Metro TV tersebut agak mengabaikan aspek keamanan dirinya ketika sedang menjalankan tugas profesionalnya. Penyebutan data-data numerik dalam laporan pandangan mata adalah blunder mengingat perguliran isu yang sangat sensitif jika menyangkut soal jumlah.

Kedua, pengusiran Rivai Pamone dkk dengan pengusiran wartawan yang meliput rapat anggota dewan, misalnya, berbeda nuansa kebatinannya dalam konteks “mengancam hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang terkait kepentingan publik” seperti dikemukakan ketua AJI di atas.

Ada persoalan obyektifitas yang ditudingkan ke Metro TV. Kita sama tahu, dalam dunia pers, obyektifitas adalah sebuah ideologi. Menurut ilmuwan Swedia, Jörgen Westerståhl, obyektifitas media diukur dari dua kriteria, yakni faktualitas dan impartialitas.

Faktualitas berarti berita yang disampaikan berdasarkan fakta. Faktualitas dapat dipenuhi jika mengandung unsur kebenaran (truth), informatif, dan relevansi. Memenuhi kriteria impartialitas jika memiliki unsur seimbang (cover both side) dan netralitas.

Seiring memanasnya suhu politik Jakarta –yang lalu menasional– serta “dibumbui” dengan isu penistaan agama, telah mendorong terjadinya polaritas cukup ekstrim di masyarakat. Pemberitaan Metro TV –oleh pihak yang berpartisipasi ataupun bersimpati dalam aksi bela Islam– dinilai tak netral dan tak berimbang. Tidak memenuhi kriteria impartialitas. Begitu tudingannya.

Berulangnya model pemberitaan yang terindikasi tak obyektif menimbulkan semacam akumulasi kekecewaan publik atas Metro TV. Laporan “50.000 massa” Rivai Pamone menjadi pelatuk dari ledakan rasa ketidaksukaan atas dugaan ketidaknetralan, ketidakberimbangan, dan bahkan indikasi tendensius yang dilakukan stasiun TV ini.

Dugaan-dugaan ini tentunya membutuhkan pembuktian ilmiah. Lembaga seperti Dewan Pers dan KPI seharusnya bisa lebih proaktif merespon isu obyektifitas itu untuk menjernihkan persoalan. Jangan membiarkan Metro TV ataupun media lain menyelesaikannya sendiri karena akan selalu beraroma subyektif.

Perlu pihak ketiga yang netral. Tentunya Dewan Pers dan KPI seyogyanya dapat menjadi pemain sentral agar aksi-aksi melawan hukum seperti intimidasi dan pengusiran wartawan tak lagi terjadi di masa mendatang.

Lembaga profesi wartawan sekelas AJI pun sebaiknya tidak sekadar menjadi tukang semprit terhadap pihak yang “menistakan” wartawan dan profesi wartawan, tapi juga membangun iklim autokritik tentang profesionalitas pekerja pers, minimal tentang keselamatan diri saat bertugas.***

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini