Panas Dingin di Gelanggang Pilgub Sultra

326
Panas Dingin di Gelanggang Pilgub Sultra
Panas Dingin di Gelanggang Pilgub Sultra

Panas Dingin di Gelanggang Pilgub Sultra Panas Dingin di Gelanggang Pilgub Sultra

 

ZONASULTRA.COM, KENDARI – Seumpama turnamen sepakbola, Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sulawesi Tenggara (Sultra) akan segera memasuki babak final. Tiketnya tentu saja rekomendasi dukungan partai politik yang memiliki kursi di DPRD Sultra. Bedanya, nanti bisa ada lebih dari dua klub di satu lapangan.

Total ada 45 kursi dengan rincian PAN sembilan kursi, Golkar tujuh kursi, Demokrat enam kursi, PDIP lima kursi, PKS lima kursi, Gerindra empat kursi, Hanura tiga kursi, Nasdem tiga kursi, PPP dua kursi, dan PKB satu kursi. Berdasarkan peraturan undang-undang, partai harus mengumpulkan 20 persen kursi atau lebih untuk dapat mengusung pasangan calon gubernur, yang berarti minimal sembilan kursi.

Satu-satunya partai yang aman adalah PAN, si Matahari Putih. Dengan jumlah kursi sebanyak itu siapapun yang didorong akan berada di atas angin karena tak perlu repot mencari koalisi. Selain itu, poros koalisi lainnya dapat dibangun dengan mudah oleh Golkar maupun Demokrat.

Poros baru juga bisa dibentuk antara PDIP-PKS-Gerindra. Sebaliknya, bila dua dari tiga partai tak bisa bersatu maka jumlah pasangan calon akan terkunci pada tiga atau dua pasang saja. Siapapun yang jadi jawara akan berhadap-hadapan di babak final pada 27 Juni 2018 mendatang, hari pemungutan suara.

 

Akademisi dan Militer

Figur-figur yang sedang berusaha menembus poros-poros datang dari pemain lama dan pemain baru di blantika politik level gubernur. Pemain lama adalah mereka yang pernah terwacana maju pada pilgub periode sebelumnya yaitu La Ode Ida, Ali Mazi, Ridwan Bae, dan Amirul Tamim. Sedangkan pemain yang baru saja tebar pesona adalah Rusda Mahmud, La Ode Masihu Kamaluddin, Asrun, Lukman Abunawas, LM. Rusman Emba, Supomo, Tina Nur Alam, Hugua, Abdul Rahman Farisi, dan LM. Sjafei Kahar.

Dalam daftar itu hanya ada tiga akademisi yaitu La Ode Ida (pernah jadi dosen UHO), Masihu Kamaluddin (Rektor Universitas Lakidende), dan Abdul Rahman Farisi (dosen Universitas Hasanuddin) dan satu dari militer Supomo (angkatan udara). Dalam peta perpolitikan maupun historis pemilihan langsung di Sulawesi Tenggara pada era reformasi, hampir tak ada ruang dan harapan untuk figur dengan latar belakang itu.

Jabatan gubernur, walikota, bupati dimonopoli oleh yang lahir dari pengusaha-birokrat-politisi. Bayangkan, satu pasang gubernur dan 17 pasang walikota bupati se-Sultra dari kalangan militer, hanya Wakil Gubernur Saleh Lasata dan Wakil Bupati Buton Tengah La Ntau, sedangkan akademisi hanya La Bakry sebagai Wakil Bupati Buton.

Secara historis, pertarungan para akademisi dosen ini juga terbilang naas, misalnya mantan rektor UHO Mahmud Hamundu kalah di Pilgub 2007 dan La Ode Magribi (tercatat dosen UHO) di Pilwali Kendari 2012. Kedua tokoh ini masih untung dapat tiket pencalonan sedangkan akademisi lainnya hanya sampai pasang baliho dan ikut-ikutan penjaringan partai.

Demikian pula yang memegang kunci poros pencalonan pilgub kali ini bukanlah dari kalangan akademisi dan militer. Mereka adalah Ridwan Bae karena menjabat Ketua Golkar Sultra, Hugua Ketua PDIP Sultra, dan Asrun meskipun bukan Ketua PAN Sultra namun putra bungsunya Adriatma Dwi Putra merupakan Sekretaris PAN Sultra. Belum lagi ketua-ketua partai lainnya yang juga dimotori pengusaha-birokrat-politisi.

Hal yang menyamakan semua latar belakang itu adalah semangat mereka untuk mendapat tiket pencalonan dan sama-sama ingin melanjutkan kepemimpinan Nur Alam. Hal ini terlihat dari upaya mereka bersosialisasi melalui media sosial, baliho dan ikut penjaringan di sejumlah partai politik. Malah figur-figur seperti Supomo, La Ode Ida, Abdul Rahman Farisi, dan Masihu Kamaluddin begitu rajin mengakuti tahapan penjaringan partai yang menggelar acara pemaparan visi misi.

Sinar Harapan dan Angin Segar

Seiring berputarnya jarum jam, beberapa kandidat mulai terlihat bagai bunga layu sebelum mekar, padahal wasit KPU belum meniup peluit tanda dimulainya pendaftaran calon gubernur. Misalnya, legislator PAN di Senayan Tina Nur Alam yang hanya hadir secara langsung ketika mendaftar di sejumlah partai, namun tak ikut acara penyampaian visi misi di Demokrat dan PDIP.

Kelesuan gerakan juga ditunjukkan politisi senior Ridwan Bae yang dicoret dari bursa pencalonan Demokrat dan tidak mengikuti pemaparan visi misi di PDIP dan Hanura. Bahkan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Golkar tak kunjung menetapkan Ridwan sebagai calon gubernur, malahan yang duluan ditetapkan adalah pasangan calon Bupati Kolaka Asmani Arif-Syahrul Beddu, Konawe Rahmatullah-Alauddin, dan Baubau AS. Thamrin.

Sambangi Ruang Kerja Tina Nur Alam, Ridwan Bae "Meminang"?
Kebersamaan dua anggota DPR RI Ridwan Bae dan Tina Nur Alam usai melakukan perbincangan di Gedung Nusantara I DPR RI, Jakarta, Rabu (29/3/2018) lalu.

Melemahnya kedua anggota DPR RI yang sempat terkabar akan berpasangan itu bukan tanpa alasan. Tina Nur Alam merupakan istri gubernur nonaktif Nur Alam. Sejak Nur Alam berada dalam tahanan KPK 5 Juli 2017 lalu, turut mempengaruhi manuver Tina untuk melanjutkan estafet kepemimpinan suaminya itu. Sedangkan Ridwan Bae masih berhitung matang untuk tampil kembali setelah kekalahannya di Pilgub 2012 dan kekalahan krusial putranya LM. Ihsan Taufik yang tak berdaya head to head melawan Rajiun di Pilkada Muna Barat 2017.

Kondisi tersebut membawa angin segar bagi figur yang hendak mengetuk pintu PAN dan yang berambisi mengendarai Golkar. Kader PAN yang sendiri dan terwacana sudah mendapatkan restu DPP PAN adalah Asrun. Walikota Kendari dua periode itu melenggang sendirian di jalan tol dengan sinar harapan si Matahari Putih. Sebuah lenggangan yang bisa saja disandung La Ode Ida yang kabarnya langsung melobi pendiri PAN Amin Rais. Ida merupakan Caleg PAN untuk DPR RI pada 2014 lalu yang kini menjabat anggota Ombudsman RI.

Bukti Asrun begitu superior di jejaring Matahari Putih adalah pada Pilkada Kendari 2017, dimana putra bungsunya Adriatma Dwi Putra (ADP) dengan mudah mendapat SK rekomendasi PAN mengalahkan kader senior PAN Abdul Rasak. Dominasi Asrun di tubuh Matahari Putih juga terlihat ketika mampu mengganjal langkah Nur Alam yang hendak menduduki kursi nahkoda PAN Sultra untuk periode ke empat saat Musyawarah Wilayah (Muswil) 2016 lalu. Meski Asrun saat itu gagal terpilih jadi Ketua PAN Sultra, namun posisi sekretaris dikuncinya dengan mendudukkan ADP.

Sedangkan di Golkar, angin-angin segar dari rindangnya beringin dihirup Bupati Muna Rusman Emba, mantan gubernur Ali Mazi, dan mantan Bupati Buton Sjafei Kahar. Ketiga figur ini memiliki hubungan historis tersendiri dengan beringin rindang dan Ridwan secara pribadi.

Rusman Emba pernah menjadi Ketua DPRD Sultra dari Partai Golkar. Apalagi, Rusman dapat diuntungkan oleh pertalian darah (kemenakan-paman) dengan Ridwan. Kendati Rusman sudah bergabung jadi pengurus PDIP, dalam beberapa momentum politik keluarga itu saling kuat-melengkapi.

Kolaborasi Ridwan-Rusman dapat dilihat ketika Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada Muna 2015-2016 lalu, Ridwan balik mendukung Rusman setelah sempat mendukung Baharuddin melalui Golkar. Kemudian, pada Pilkada Muna Barat 2017, Rusman Emba berani berseberangan dengan PDIP demi mendukung putra Ridwan, Ihsan Taufik. (A* Bersambung)

(Berita terkait : Panas Dingin di Gelanggang Pilgub Sultra Part 2)

 

Catatan: Muhamad Taslim Dalma
Editor: Jumriati

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini