Penemuan Pakan Alternatif untuk Budidaya Lobster di Sultra

732
Penemuan Pakan Alternatif untuk Budidaya Lobster di Sultra
PAKAN LOBSTER – Keong Bakau dan Kepala Ikan Cakalang yang diolah menjadi sumber protein alternatif untuk pakan lobster. (Foto Istimewa)

Penemuan Pakan Alternatif untuk Budidaya Lobster di Sultra PAKAN LOBSTER – Keong Bakau dan Kepala Ikan Cakalang yang diolah menjadi sumber protein alternatif untuk pakan lobster. (Foto Istimewa)

 

ZONASULTRA.COM, KENDARI – Tim peneliti dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra) berhasil menemukan sumber protein alternatif untuk pakan lobster. Pakan alternatif ini berasal dari keong bakau dan kepala ikan.

Agus Kurnia
Agus Kurnia

Salah satu peneliti, Agus Kurnia Ph.D menjelaskan sumber protein yang diuji coba yakni keong bakau dan kepala ikan cakalang. Spesies yang diteliti adalah lobster Mutiara yang memiliki nama latin Panulirus ornatus.

Ketika dianalisis secara kimia, protein dalam tepung keong bakau dan kepala ikan sekira 66,7 persen sedangkan tepung ikan 67 sampai 68 persen. Begitu pula, ketika diteliti kandungan asam amino bahan-bahan tersebut memiliki kandungan yang hampir sama.

“Hasil penelitian kami dari jenis pakan ini, pertumbuhannya sama dengan lobster yang hanya diberi pakan tepung ikan. Bahkan yang diberi pakan alternatif ini, pertumbuhannya lebih tinggi daripada lobster yang hanya diberi seratus persen tepung ikan,” ujar Agus di ruang kerjanya pada awal Agustus 2017.

Tempat penelitian dilakukan di Desa Tapulaga, Kabupaten Konawe, dalam satu karamba jaring apung selama satu tahun pada 2014-2015 lalu. Secara teknis, dari 60 sampel lobster diberi 4 perlakuan dan 3 kali pengulangan. Dalam setiap wadah yang diisi 5 ekor lobster.

Selama 6 bulan pemeliharaan dengan diberi pakan alternatif, rata-rata berat awal bibit lobster 0,2 gram bisa berkembang hingga berat 8 gram. Sedangkan untuk kelangsungan hidupnya sekira 70 sampai 80 persen.

Untuk usia panen lobster konsumsi sebenarnya adalah 8 sampai 12 bulan. Namun kata Agus, dalam penelitian itu cukup 6 bulan sudah bisa didapatkan hasil penelitian yang ideal.

Ketersediaan Bahan dan Keunggulan Pakan Alternatif

Untuk di Sulawesi Tenggara (Sultra), sumber protein alternatif itu masih tergolong melimpah misalnya keong bakau ada di daerah Moramo (Konawe Selatan) dan Buton Utara. Sementara, kepala ikan cakalang banyak tersedia dan tak terpakai di industri pengolahan ikan, salah satunya yang ada di dekat Pelabuhan Samudra Kendari.

Dari beberapa jenis yang dibudidayakan, lobster Mutiara merupakan yang termahal. Harga lobster Mutiara dalam keadaan hidup dapat mencapai Rp 700 ribu sampai Rp. 800 ribu per-kilogram (Kg). Dibandingkan dengan jenis lain seperti lobster Batik dan lobster Bambu yang harganya sama Rp. 500 ribu sampai Rp. 600 ribu per-kg, serta lobster Kipas Rp 400 ribu sampai Rp 500 ribu per-kg.

Pakan alternatif yang ditemukan tersebut dapat diaplikasikan pada jenis lobster lain sebab pakan itu dirancang untuk semua jenis lobster, meskipun dalam uji coba yang digunakan adalah lobster Mutiara.

Persebaran lobster di Indonesia hampir ada di semua wilayah. Kalau di Sulawesi Tenggara yang terbanyak ada di Kabupaten Wakatobi, dan beberapa ada di Konawe Kepulauan dan Konawe Selatan.

Pakan alternatif yang ditemukan itu dapat diaplikasikan di luar Sulawesi Tenggara sebab bahan berupa keong bakau dan kepala ikan cakalang banyak ditemukan di wilayah lain Indonesia. Habitat keong bakau di wilayah yang ditumbuhi bakau sedangkan ikan cakalang tersebar di seluruh laut Indonesia, yang terbanyak ada di wilayah Ambon.

“Namun beberapa daerah di Indonesia yang sudah kurang bakaunya yah sudah kurang juga jumlahnya (keong bakau). Kalau kepala ikan cakalang dimana-mana ada, seperti di industri-industri pengalengan ikan, kepala ikan cakalang banyak yang tidak dimanfaatkan,” tutur Agus yang juga alumnus Tokyo University of Marine Science and Teknology Japan.

Lobster merupakan komoditi yang cukup mahal di antara beberapa jenis krustasea dan merupakan makanan mewah di Amerika, Eropa, Jepang, dan Korea. Karena harganya tinggi maka produksi lobster selalu diekspor dan tidak ditemukan di pasar-pasar tradisional.

Produksi lobster di Indonesia saat ini sekitar 80 persen masih berasal dari hasil tangkapan sedangkan dari hasil budidaya 10 sampai 20 persen. Menurut Agus, sepanjang pengamatannya pembudidaya lobster ada di Bororo (Konawe Selatan), Tapulaga (Konawe), dan beberapa di Bombana.

“Di Sultra pembudidaya lobster masih sedikit sekali karena mungkin pemeliharaannya yang lama dan masih mengharapkan tangkapan di alam,” ujar Agus.

Agus mengatakan latar belakang penelitian tersebut adalah semakin langkanya bahan pakan lobster yakni tepung ikan yang biasanya dari ikan tembang. Untuk pembudaya di Sultra mengandalkan pakan dari ikan rucah (tidak berniali ekonomis).

Pakan ikan rucah tersebut bersifat musiman yang tersedia hanya pada saat produksi ikan sedang melimpah. Kalau sedang paceklik, pembudidaya sulit mendapatkan ikan rucah, olehnya adanya pakan alternatif dapat menjadi solusinya.

“Ikan rucah ini memang kadar proteinnya tinggi tapi kadar airnya juga tinggi. Kalau pakan buatan kadar airnya 10 persen sedangkan pakan dari ikan rucah kadar airnya sampai 80 persen,” tutur Agus.

Keunggulan pakan alternatif yang ditemukan itu adalah dapat dibuat sendiri oleh pembidaya dengan bahan yang selalu tersedia. Kemudian komposisi dan nilai nutrisi atau gizi sangat terukur dan tepungnya dapat disimpan dalam kurun waktu tertentu.

Selain itu, keunggulan pakan altenatif adalah kondisi pakan yang kering tidak mudah terserang bakteri dan tidak akan membawa penyakit bagi lobster. Namun pakan dari ikan rucah yang basah, jika penyimpanannya tidak baik maka bisa membawa penyakit atau bakteri yang menyebabkan turunnya produksi lobster.

Menurut Agus, selama ini belum ditemukan penelitian maupun pembudidaya yang menggunakan komposisi tepung keong bakau dan kepala ikan sebagai pakan lobster. Olehnya, hasil penelitian itu saat ini sudah didaftarkan ke Direktorat Jenderal Kekayaaan Intelektual, Kemenkumham pada 2016 lalu. Saat ini memasuki tahap akhir proses pemeriksaan paten.

Peten itu dianggap penting karena jadi sumbangsih pertama di Indonesia untuk pakan alternatif lobster. Paten itu juga untuk melindungi temuan peneliti meskipun saat ini komposisi pakan hasil temuan tersebut sudah banyak yang dimanfaatkan/dipraktekkan oleh beberapa pembudidaya di Sultra secara bebas.

Agus optimis pakan alternatif tersebut nantinya dapat diproduksi secara massal oleh industri pakan dengan terus berkembangnya budidaya lobster. Harga pakan yang diproduksipun nantinya dapat terjangkau oleh pembudidaya karena bahan-bahan dasarnya memang mudah didapat.

Selain itu, hasil penelitian itu juga sudah diterbitkan di jurnal internasional, International jurnal of engginering and science (http://www.theijes.com/Vol,6,Issue,1.html). Judul penelitiannya “Replacement of Fish Meal with Fish Head Meal in the Diet on the Growth and Feed Efficiency of Spiny Lobster, Panulirus Ornatus Under Reared in Sea Net Cage”.

Anggota tim peneliti lain yang turut terlibat yakni pakar lobster Dr. Willem H. Muskita, Dr. Yusnaini D.A yang pernah meneliti reproduksi lobster, dan pakar crutacea (udang-udangan) Oce Astuti, serta pakar lainnya yakni Muhaimin Hamzah. (A)

 

Penulis: Muhamad Taslim Dalma
Editor: Jumriati

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini