Perbuatan Unsur Pidana Atau Perdata..??

801

Warga kota baubau telah di kagetkan oleh sikap pemerintah kota baubau dalam membongkar papan reklame neon box miliki CV. Silvana Advertising (Buton Pos/selasa/06 Oktober 2015) Tentunya dengan sikap seperti itu akan menimbulkan tanda tanya besar..? Ada apa dan mengapa sehingga hal tersebut bisa terjadi. apakah pihak CV. Silvana Advertising yang salah..? Ataukah pihak Pemerintah Kota baubau yang salah..? Tentunya perbuatan tersebut masing-masing pihak punya alasan serta dasar hukum dalam melakukan sebuah tindakan baik tindakan pemasangan atau pembongkaran. Maka menurut saya tindakan-tindakan tersebut dari kedua belah pihak akan berdampak pada persoalan hukum, bisa persoalan pidana maupun perdata. tentunya semuanya tergantung dari gugatan yang di ajukan dan tergantung dari penilaian dan keputusan hakim.

Jika kita sering mendengar “perbuatan melawan hukum” dalam aspek hukum perdata, bagaimanakah konsep PMH dalam hukum pidana? Apa unsur-unsurnya? Serta apa perbedaannya dengan konsep PMH dalam hukum perdata?

Perbuatan Melawan Hukum

(onrechtmatige daad) dalam konteks perdata diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek (“BW”), dalam Buku III BW, pada bagian “Tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan demi Undang-Undang”, yang berbunyi:

“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Menurut Rosa Agustina, dalam bukunya Perbuatan Melawan Hukum, terbitan Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia (2003), hal. 117, dalam menentukan suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai melawan hukum, diperlukan 4 syarat:

1.    Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku

2.    Bertentangan dengan hak subjektif orang lain

3.    Bertentangan dengan kesusilaan

4.    Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.

Mencermati perluasan dari unsur “melanggar hukum” dari Pasal 1365 BW tersebut di atas, dalam praktek, Pasal 1365 BW sering disebut sebagai pasal “keranjang sampah”. Demikian menurut Rosa Agustina.

Sedangkan, dalam konteks hukum pidana, menurut pendapat dari Satochid Kartanegara, “melawan hukum” (Wederrechtelijk) dalam hukum pidana dibedakan menjadi:

1.    Wederrechtelijk formil, yaitu apabila sesuatu perbuatan dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.

2.    Wederrechtelijk Materiil, yaitu sesuatu perbuatan “mungkin” wederrechtelijk, walaupun tidak dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Melainkan juga asas-asas umum yang terdapat di dalam lapangan hukum (algemen beginsel).

Lebih lanjut, Schaffmeister, sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah dalam bukunya Pengantar Dalam Hukum Pidana Indonesia, hal. 168, berpendapat bahwa “melawan hukum” yang tercantum di dalam rumusan delik yang menjadi bagian inti delik sebagai “melawan hukum secara khusus” (contoh Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP), sedangkan “melawan hukum” sebagai unsur yang tidak disebut dalam rumusan delik tetapi menjadi dasar untuk menjatuhkan pidana sebagai “melawan hukum secara umum” (contoh Pasal 351 KUHP).

Pendapat dari Schaffmeister ini benar-benar diterapkan dalam hukum positif di Indonesia, contohnya dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”). Dalam Pasal 2 UU Tipikor terdapat unsur melawan hukum, sedangkan dalam Pasal 3 UU Tipikor tidak dicantumkan unsur “melawan hukum”. Lebih jelas lagi dalam penjelasan Pasal 2 UU Tipikor disebutkan:

Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum”

dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perudang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana

mengenai perbedaan perbuatan “melawan hukum” dalam konteks Hukum Pidana dengan dalam konteks Hukum Perdata adalah lebih dititik beratkan pada perbedaan sifat Hukum Pidana yang bersifat publik dan Hukum Perdata yang bersifat privat. Untuk itu, sebagai referensi, saya akan mengutip pendapat dari Munir Fuady dalam bukunya Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), terbitan PT. Citra Aditya Bakti (Bandung: 2005), hal. 22, yang menyatakan:

“Hanya saja yang membedakan antara perbuatan (melawan hukum) pidana dengan perbuatan melawan hukum (perdata) adalah bahwa sesuai dengan sifatnya sebagai hukum publik, maka dengan perbuatan pidana, ada kepentingan umum yang dilanggar (disamping mungkin juga kepentingan individu), sedangkan dengan perbuatan melawan hukum (perdata) maka yang dilanggar hanya kepentingan pribadi saja.”

Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa Kategori:Hukum Perdata

Apakah sama unsur onrechtmatige daad dengan onrechtmatige overheidsdaad? Dan kebijakan penguasa seperti apa yang bisa dan tidak bisa digugat di PN?
Baik Perbuatan Melawan Hukum (Onrechtmatige Daad) maupun Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa (Onrechtmatige Overheidsdaad) diatur oleh ketentuan atau dasar hukum yang sama. Yakni, Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).

Pasal 1365 KUHPer berbunyi, ‘Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

Berdasarkan pasal di atas, setidaknya ada lima unsur yang harus dipenuhi;

(1)   adanya perbuatan;

(2)   perbuatan itu melawan hukum;

(3)   adanya kerugian;

(4)   adanya kesalahan; dan

(5)   adanya hubungan sebab akibat (kausalitas) antara perbuatan melawan hukum dengan akibat yang ditimbulkan.

Kelima unsur di atas bersifat kumulatif, sehingga satu unsur saja tidak terpenuhi akan menyebabkan seseorang tak bisa dikenakan pasal perbuatan melawan hukum (“PMH”).

Perbedaan antara PMH dengan PMH oleh penguasa hanya terletak pada subjeknya. Bila dalam PMH biasa, subjeknya adalah perorangan atau badan hukum. Sedangkan, PMH oleh penguasa harus dilakukan oleh penguasa. Lalu, siapa yang bisa termasuk kategori penguasa?

Ujang Abdullah saat menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (“PTUN”) Palembang pernah menulis makalah yang berjudul ‘Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa’. Dalam makalah tersebut dijelaskan antara lain bahwa pengertian penguasa tidak hanya meliputi instansi-instansi resmi yang berada dalam lingkungan eksekutif di bawan Presiden akan tetapi termasuk juga Badan/Pejabat lain yang melaksanakan urusan pemerintahan.

Peraturan perundang-undangan tak mengatur secara spesifik kebijakan atau PMH oleh penguasa apa saja yang bisa digugat ke peradilan umum (Pengadilan Negeri). Namun perlu Anda ketahui, selain di peradilan umum, PMH oleh penguasa bisa juga digugat ke PTUN.

Nah, di PTUN ini, kebijakan penguasa apa saja yang bisa digugat diatur secara spesifik. Yakni, Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara yang bersifat konkret, individual, dan final (lihat Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009). Artinya, untuk perbuatan penguasa yang bersifat konkret, individual, dan final tidak bisa digugat ke Pengadilan Negeri karena sudah ada forum lain, yaitu PTUN yang berwenang memeriksanya.

Semoga aja dengan adanya persoaln dari kasus yang terjadi bisa memberikan efek jera kepada masing-masing pihak. Karena negara kita adalah negara hukum maka hukumlah yang harus ditegakan demi terpenuhinya rasa keadailan di masyarakat.**

 

PERBUATAN UNSUR PIDANA ATAU PERDATA..??
( Dampak beda pemahaman terkait pemasangan dan pembongkaran papan reklame neon box milik CV. Silvana Adversising )

Oleh : La Ode Tamsil., SH.
Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Jayabaya.
Koordinator IPPLI (Investigacion Policy Political Law In Indonesian)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini