Sejuknya Toleransi Beragama, Masjid dan Gereja Berbagi Tembok

130

ZONASULTRA.COM, KENDARI – 50 tahun lebih dua rumah ibadah berbagi tembok. Pemandangan itu terlihat di Masjid Dakwah Wanita dan Gereja Pantekosta, Bukit Zaitun di Kelurahan Dapu-Dapura Kecamatan Kendari, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra).

Dua rumah ibadah yang letaknya hanya dipisahkan oleh sekat dinding adalah bukti nyata kehidupan harmonis dan toleransi antar umat beragama di bumi Anoa.

Kedua bangunan yang nyaris satu atap itu sama-sama dibangun tahun 1960-an. Gereja Pantekosta berdiri 3 tahun lebih awal dibandingkan Masjid Dakwah Wanita. Kini, setelah 50 tahun lebih, kedua bangunan ini masih kokoh, hidup berdampingan bagai saudara tanpa pernah terjadi gesekan apalagi konflik antarkedua umat beragama ini.

Pengurus Masjid Dakwah Wanita Kendari, Sulfakri Sidik menuturkan, sejak dulu kehidupan antar umat beragama di sini sangat harmonis, saling pengertian dan saling memahami. Bangunan masjid dan gereja yang hanya dipisahkan tembok tersebut tidak menjadi penghalang bagi jamaah, baik Muslim maupun Nasrani untuk menjalankan ibadah masing-masing.

Tak pernah terbesit sedikitpun perasaan saling terganggu. Justru kedekatan tersebut bagi mereka adalah sebuah keunikan yang menjadi kebanggaan.

“Setiap penyelenggaraan ibadah maupun kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya, kita selalu berkoordinasi dan saling komunikasi. Apalagi di bulan Ramadhan seperti ini. Kita tanya ibadah mereka hari apa, kalau kebetulan waktunya bertepatan dengan ibadah kita, maka pengeras masjid kita kecilkan. Begitupun sebaliknya, seperti saat Ramadhan sekarang mereka ada kebaktian yang bertepatan dengan tarawih, jadi jadwal kebaktian mereka majukan,” terang Sulfakri ditemui di Masjid Dakwah Wanita baru-baru ini.

Sementara itu, Pimpinan Jemaat Gereja Pantekosta Bukit Zaitun, Pendeta David Agus Setiawan mengakui, masyarakat Kota Kendari, sangat menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, terutama dalam kegiatan ibadah. Sehingga tak heran, jika kedua bangunan rumah ibadah tersebut tetap kokoh berdampingan hingga sekarang.

“Dari dulu juga kita sudah hidup berdampingan tanpa pernah ada rasa saling terganggu. Saat-saat masjid belum lama berdiri, mereka belum punya pompa air sehingga kalau mau wudhu agak kerepotan. Karena kami waktu itu sudah punya pompa air, ya silahkan ambil selang dan tarik airnya ke masjid,” ungkap David.

Keharmonisan antara dua umat beragama inipun, lanjut David terlihat saat mereka membersihkan lingkungan sekitar. Jika yang melakukan kerja bakti adalah pihak masjid, maka halaman gereja juga ikut dibersihkan. Begitupun sebaliknya, jika mereka yang mengadakan kerja bakti, maka halaman masjid juga mereka bersihkan.

David mengingat, kala isu pembakaran gereja di Jawa Timur, sekitar tahun 1997 menyebar hingga ke Kendari.
Diakuinya, ada rasa khawatir jika gereja mereka akan menjadi sasaran pembakaran, sehingga pihaknya meminta bantuan pengamanan dari kepolisian. Namun yang terjadi, para remaja masjid tanpa pernah diminta justru ikut bergabung bersama petugas kepolisian dan berjaga-jaga di sekitar gereja.

Seperti itulah potret kerukunan dan toleransi umat beragama dalam menjalankan ibadah, sesuai keyakinan masing-masing. Hidup berdampingan, saling membantu dan saling menjaga, guna terwujudnya perdamaian di muka bumi. Hingga kini, kedua bangunan tersebut telah menjadi situs sejarah di Kota Kendari dengan jargon, Kendari Kota Bertakwa. 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini