Sengkarut Layanan Terhadap Peserta BPJS Kesehatan

264
Ramadhan
Ramadhan

Ada masalah serius ihwal pelayanan kesehatan di negeri ini yang harus serius dibahas. Kita harus memikirkan solusinya agar layanan kesehatan menjadi baik. Sekalipun sangat sulit menciptakan jaminan kesehatan kepada masyarakat. Program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dalam praktiknya ternyata tidak begitu efektif. Masih ada petugas Rumah Sakit (RS) tidak begitu respek terhadap calon pasien yang datang berobat dengan membawa kartu BPJS. Entah apa alasannya. Raut wajah masam para petugas medis itu terlihat jelas. Tindakan medis terhadap pasien juga kurang tanggap.

Apa yang salah sebenarnya dari program kartu sakti ini? Padahal peserta BPJS Kesehatan rutin membayar iuran setiap bulan. Tapi mengapa layanan tak kunjung membaik. Apakah memang BPJS kurang tepat diterapkan di negeri ini? Ataukah sikap apatis petugas medis-yang mohon maaf-peserta BPJS-dipandang sebelah mata kala berobat. Persepsi itu terus menghantui beberapa kalangan, saat melihat pelayanan RS terhadap pengguna BPJS. Memang ironi.

Pelayanan medis di RS yang terdapat di Sultra ini misalnya, kadangkala para petugas kesehatannya kurang respek terhasap pasien. Apakah mereka lelah? Ataukah balasan yang mereka peroleh dari manajemen RS tidak seimbang beban kerjanya. Kalau mau tajir, salah bila menjadi paramedis, jadilah pengusaha. Tugas paramedis memang mulia, bila dijalankan secara profesional. Sesuai sumpah jabatan, ikut prosedur dan patuh kode etik. Namun, kita tidak bisa menutup mata dan telinga, bahwa di antara mereka masih ada yang memanfaatkan profesi terhormat itu untuk mencari keuntungan.

Hati saya memang sudah lama terpanggil untuk membahas ulah paramedis, termasuk sistem administrasi di RS yang ribet. Ketika menggunakan cara santun bila datang berobat, sepertinya paramedis kurang respon. Nanti urat leher membesar, barulah mereka bertindak. Aneh memang negeri ini.

November lalu, pasien korban kecelakaan lalu lintas yang dibawah ke RSU termegah di Sultra, bertarung dengan maut. Darahnya terus mengalir karena luka bagian kepala, namun tindakan medis tak kunjung dilkakukan. Nanti, keluarga pasien memanggil paramedis dengan nada melengking, baru ada tindakan medis.

Cerita sumbang tentang perlakuan terhadap pasien berbeda selalu menyeruak. Kalau warga-mohon maaf-yang kelihatan tidak kuat secara finansial datang berobat-maka pelayanan tidak begitu maksimal. Tingkah petugas kesehatan macam raja. Padahal harusnya mereka yang menjadi pelayan, bukan sebaliknya. Sumpah profesi hanya kita jumpai saat acara seremoni saja.
Pasien peserta BPJS kurang mendapat perhatian serius. Kalau berobat jalur umum, paramedis langsung tanggap. Semoga ulah oknum paramedis itu berubah. Kita memahami bila mereka juga manusia yang saat itu mungkin sedang lelah. Jadi tidak begitu tanggap. Tapi, apapun alasannya mereka harus siap memberikan pelayanan prima terhadap pasien di saat jam kerja. Kalau mereka tidak tanggap, ikrar sumpah paramedis cuma dongeng?

Memang harus ada evaluasi terhadap BPJS dan RS, termasuk para penyelenggara kesehatan. Sepertinya mereka degradasi moral. Motode pelayanan kesehatan, mungkin kita harus belajar dari negara-negara yang menjadikan pelayanan kesehatan sebagai moral tertinggi bangsanya. Lihat saja, negeri Kuba, Rusia dan Swedia. Atau kita belajar dari negeri tetangga Singapura. Bagaimana mereka memperlakukan pasien.

Kalau kita membandingkan dengan negeri itu, Indonesia memang jauh tertinggal. Apalagi pelayanan kesehatan oleh RS di daerah-daerah terpencil. Miris negeri ini. Memang demikian. Kita mau mengadu kemana lagi? Pemerintah hanya sibuk menagih iuran setiap bulan kepada para peserta BPJS. Tapi soal membenahi layanan, ogah.

Memang kita tahu, kalau RS sebagai mitra BPJS. RS hanya bertugas melayani pasien. Proses pembayarannya, RS mengklaim tagihan pelayanan kesehatan kepada BPJS. Yang jadi masalah, BPJS kelihatannya kurang punya power untuk memperingati RS untuk memperlakukan pasien peserta BPJS, macam pasien berobat jalur umum. Negeri ini memang penuh sengkarut kesehatan. Ketika melihat pelayanan RS kurang maksimal, mungkin saja karena BPJS belum melunasi pembayaran. Tapi terlepas dari itu, RS harus tetap menegakan pelayanan kesehatan yang baik. Jangan hanya mengejar tagihan ke BPJS.

Tercatat, BPJS Kesehatan cabang Kendari belum membayar dana klaim ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) Desember 2017 sebesar Rp 5 miliar. “Dana klaim yang sudah terbayar baru sampai November 2017, sedangkan Desember 2017 belum terbayarkan sekira Rp5 miliar,” ungkap Yusuf Hamra Direktur Utama (Dirut) RSUD Bahteramas Provinsi Sultra. Angka itu mungkin saat ini jauh lebih besar, mengingat sudah memasuki akhir tahun 2018. Utang negara kepada negara. Bayarnya dari duit rakyat. Tapi perlakuan terhadap rakyat ihwal jaminan kesehatan, masih jauh panggang dari api.
Kemana duit iuran peserta BPJS? Sudah saatnya penegak hukum menelusuri aliran duit itu. Jangan sampai ada wewenang yang disalahgunakan. Semoga prasangka ini hanya sebatas persepsi negatif saja. Tapi prasangka buruk, harus terus dipelihara agar nalar tidak mati.

Berobat, Peserta BPJS Bayar Duit Jaminan ke RS

Hati kecil ini terpanggil, ketika melihat problem ditubuh pihak RS dan BPJS. Persoalan ini, ibarat benang kusut, sangat sulit untuk merapikanya kembali. Belum tuntas soal tunggakan pembayaran klaim RS terhadap BPJS. Masalah lain, soal pelayanan RS terhadap pasien peserta BPJS. Ada aturan RS yang tidak mungkin diintervensi BPJS ihawal pelayanan terhadap pasien. Terlebih soal urusan administrasi.

Membutuhkan tindakan medis, dengan membawa kartu peserta BPJS, sangat ironi. Setelah berobat, pasien harus menyerahkan duit jaminan. Nominalnya memang kecil. Tapi pasien harus menyerahkan duit jaminan, padahal setiap bulan membayar iuran ke BPJS.

Duit jaminan dari pasien, baru bisa diambil ketika, 1 X 24 jam saat hari kerja setelah penyerahan duit jaminan. Kebijakan lainnya, duit bisa diambil tiga hari kedepan, bila saat itu bertepatan dengan hari libur berturut-turut. Pertanyaanya, saat sore hari saja, petugas RS yang mengurusi soal duit jaminan itu sudah pulang. Bagaimana mau mengambil duit jaminan, bila petugas sudah pulang? Entahlah ini aturan sangat lucu. Bagaimana kalau pasien tidak sempat mengambil duit jaminan?

Pihak RS berkilah duit itu dianggap hangus. Pasien dianggap sebagai pasien umum. Aturan yang sungguh sangat lucu. Nalar berpikir yang sangat rusak. Bagaimana bisa terdaftar secara administrasi sebagai pasien peserta BPJS saat berobat, lalu karena tidak ambil duit jaminan, menjadi pasien umum. Perubahan yang sangat instan. Sistem administrasi yang bertabrakan.

Tidak menutup kemungkinan, RS menggunakan daftar pasien itu untuk klaim ke BPJS, meskipun sudah berubah menjadi pasien umum. Sebab sejak awal sudah mendaftar sebagai pasien peserta BPJS saat datang berobat. Kalau benar demikian, itu artinya selain dapat pembayaran dari pasien secara langsung, RS juga dapat dari BPJS. Semoga saja, itu tidak terjadi. Sepertinya frasa soal pelayanan kesehatan adalah bisnis, memang benar. Rasa-rasanya sudah saatnya BPJS, RS dan semacamnya bertobat. (***)

 

Oleh: Ramadhan
Penulis adalah alumni Fakultas Hukum UHO sekaligus Pemerhati Sosial

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini