Sultra Masuk Zona Rawan Gempa, Mitigasi Bencana Belum Ada

1450
Peta Sulawesi Tenggara (Foto Google Maps)
Peta Sulawesi Tenggara (Foto Google Maps)

ZONASULTRA.COM, KENDARI – Kasus gempa bumi dan tsunami di Sulawesi Tengah (Sulteng) menjadi pelajaran penting sekaligus peringatan bagi pemerintah untuk mempersiapkan mitigasi bencana. Tak terkecuali di Provinsi Sultra.

Kepala Pusat Studi Kebencanaan LPPM Universitas Hasanuddin Makassar Adi Maulana menjelaskan jika Sultra masuk dalam zona merah dan menjadi salah satu wilayah di Pulau Sulawesi yang rawan terkena gempa bumi. Hal itu disebabkan ada sejumlah sesar aktif yang melewati atau berada di sekitar wilayah Sultra, seperti sesar Teluk Tolo dan sesar Lawanopo serta beberapa sesar lokal lainnya.

“Tapi ini bukan untuk menakuti, ini untuk menyadarkan masyarakat jika kita hidup di wilayah rawan bencana dan ini mau tidak mau kita harus siap. Kalau saya sebutnya ini pemberian atau sunatullah, dan marilah kita hidup berakrab ria dengan bencana alam di sekitar kita,” ungkap Adi Maulana yang turut menjadi pemateri dalam acara diskusi publik tentang bencana dan mitigasinya, Sabtu (20/10/2018) malam di Kendari.

Secara teori pun, ia menjelaskan jika bencana gempa bumi, tsunami maupun erupsi gunung merapi merupakan sebuah proses geologi yang normal dan tidak dapat dihindari meskipun memberikan ancaman bagi jiwa manusia yang berada di atasnya.

Adi menyebutkan hal penting yang bisa dilakukan adalah menyiapkan mitigasi bencana, karena dengan adanya mitigasi bencana akan meminimalisir resiko dan dampak yang terjadi pascabencana. Tidak ada cara lain selain menyiapakn mitigasi yang matang serta sosialisasi yang dilakukan terus menerus.

Belajar dari kasus gempa di Sulteng, ia mengatakan salah satu faktor banyaknya korban jiwa dalam insiden tersebut akibat tidak adanya mitigasi bencana yang baik dari pemerintah. Misalnya jalur evakuasi, sirene bencana dan sejumlah fasilitas pendukung lainnya.

Baca Juga : Gempa Bumi 3,8 SR Guncang Kendari Akibat Aktivitas Sesar Kendari

Olehnya ia menyebutkan beberapa hal yang wajib disiapkan pemerintah Sultra untuk merencanakan dan menyiapkan mitigasi bencana dengan contoh kasus gempa di Palu. Diantaranya, pemerintah harus memiliki genset portable. Genset portable akan menjadi penting ketika gempa yang terjadi mengakibatkan sistem kelistrikan lumpuh, dan ini tidak disiapkan oleh Pemda Sulteng.

BACA JUGA :  Seorang Wanita di Kendari Jadi Korban Salah Tembak Polisi

Kemudian, alat komunikasi satelit. Komunikasi satelit dapat menjadi alat komunikasi bagi stakholder terkait untuk melakukan koordinasi. Peristiwa di Sulteng listrik lumpuh mengakibatkan sistem komunikasi juga ikut lumpuh misalnya layanan provider tidak dapat digunakan.

Selanjutnya, jalur evakuasi. Jalur evakuasi adalah penunjuk arah bagi masyarakat kemana harus menyelamatakan diri ketika bencana datang. Kasus di Palu jalur evakuasi tidak ada sehingga masyarakat bingung harus kemana dan akhirnya panik.

Serta jalur logistik, ini menjadi salah satu antisipasi dini ketika pascabencana tidak ada logistik yang tersedia. Kondisi di Palu, seluruh logistik tidak ada yang tersedia sehingga masyarakat harus menunggu bantuan yang datang dari pemerintah, swasta, dan masyarakat lainnya.

“Sebenarnya terlepas dari ini semua, yang penting itu peringatan kepada diri sendiri atau self awareness. Jadi peringatan kepada diri sendiri adalah alarm terbaik karena berdasarkan riset info dari BMKG dan BPBD perihal bencana hanya 1,8 persen yang mempengaruhi masyarakat,” tukasnya.

“Tipsnya itu kalau sudah terasa gempa kuat dan berlangsung lama kurang lebih 30 detik, segera evakuasi diri Anda lebih utama, tanpa harus menunggu peringatan dari BMKG atau instasi berwenang lainnya,” tuturnya.

Hal senada diungkapkan Kepala Stasiun Geofisika Kendari Rosa Amelia. Ia menjelaskan pentingnya mitigasi bencana merupakan salah bentuk aksi tanggap dini yang harus disiapkan oleh pemerintah setempat. Ia sendiri mengakui hingga saat ini jika terjadi gempa bumi atau potensi tsunami sumber informasi yang menjadi rujukan utama adalah BMKG.

Padahal, jika ada mitigasi bencana yang sudah dirancang dan disiapkan dengan baik oleh pemerintah, setidaknya ada sirene peringatan yang dapat menjadi alarm bagi masyarakat untuk memberitahukan bahwa telah terjadi bencana gempa atau yang lainnya, sehingga dapat mengevakuasi diri ke tempat yang lebih aman.

BACA JUGA :  Seorang Wanita di Kendari Jadi Korban Salah Tembak Polisi

“Selama ini kan memang prosedurnya kita keluarkan rilis yang kita sebar ke semua stakeholder dan media terkait adanya peristiwa gempa, tapi sirene penanda itu belum ada. Padahal itu juga penting,” kata Rosa yang juga hadir dalam diskusi publik tersebut.

Rosa berharap ini menjadi perhatian penting pemerintah untuk segera menyiapkan dan merencanakan mitigasi bencana. Namun, ia juga menegaskan sosialiasi tentang bencana ke masyarakat luas itu tak kalah pentingnya membangun kesadaran sejak dini untuk tanggap bencana.

Sayangnya, hingga saat ini Sultra belum mempunyai mitigasi bencana sebagai bentuk antisipasi awal sebelum bencana alam datang. Mitigasi bencana merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Kabid Kesiapsiagaan BPBD Sultra Mustamin ditemui zonasultra.id di Kendari awal Oktober 2018 lalu mengungkapkan, sejatinya mitigasi bencana serta pembuatan jalur-jalur evakuasi untuk masyarakat dapat dilakukan oleh BPBD kabupaten/kota. Sebab, hal itu merupakan kewenangan masing-masing daerah.

Sehingga yang bisa dilakukan pihaknya untuk memperkecil kemungkinan korban jiwa akibat bencana adalah dengan sosialisasi, karena untuk membuat mitigasi terkendala anggaran.

“Kita hanya sosialisasi saja, karena untuk membuat mitigasi bencana itu kita tidak punya anggaran. Jadi kembali lagi ke masalah anggaran, kalau kita mau buat jalur evakuasi dan sebagainya,” jelasnya.

BPBD mencatat ada 10 ancaman bencana yang mengancam wilayah Sultra yakni banjir, tanah longsor, gempa bumi, puting beliung, banjir bandang, potensi tsunami, dan sebagainya.

“Kalau likuifaksi itu belum ada yang kita temukan, biasanya itu terjadi di areal bekas rawa, pinggir sungai, atau di leher-leher sungai. Makanya di sini pentingnya peran RT/RW setempat agar memperhatikan setiap pembangunan yang ada di daerah masing-masing,” ujarnya. (A)

 


Reporter: Ilham Surahmin
Editor: Jumriati

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini