‘Televisi dalam Refleksi’

114
'Televisi dalam Refleksi'
Alfian

Berinchi-inchi bidangnya menyalurkan rangkaian audio dan visual sembari membawa stimulus-stimulus untuk membuat manusia terpingkal, terharu, tersenyum, tergugah, hingga tergila-gila.. yah, itulah sedikit untaian kata yang kurang lebih menggambarkan sebuah objek Televisi. Kehadirannya layaknya makanan dan minuman, tanpanya sebuah rumah terasa hampa, sebagai sarana akses informasi semakin menegaskan fungsi primernya dalam kehidupan konteks kekinian, sesumbar mungkin terdengar nan hiperbola namun itulah penafsiran hemat penulis berdasarkan pengamatan sehari-hari.

'Televisi dalam Refleksi'
Alfian

Tulisan ini hanyalah pemaparan sederhana dan terbatas dari pemahaman saya yang sering berhadapan dengan Televisi sejak rupanya yang berat memusingkan, dilengkapi dengan tombol besar, warnanya terhitung hanya dua (hitam dan putih) hingga hari ini dilengkapi dengan fitur canggih yang menggelengkan kepala, warnanya berjumlah milyaran.

Diawal 90-an dulu, siaran Televisi masih didominasi oleh TVRI meskipun sudah banyak dari swasta. Seingat saya hanya segelintir oknum yang bisa menikmati tayangan-tayangan alternatif, maklumlah saat itu harga Parabola masih terkait di awan tinggi. Berdasarkan ingatan lalu yang dianalisa sekarang, Program-program yang dominan berisi hal-hal yang sesuai dengan selera pemerintah. Dalam suasana pemerintah Orde Baru yang kurang atau mungkin bahkan tidak demokratis, seolah selera yang ada cuma satu, Yah, selera pemerintah.

Melompat ke hasil reformasi 1998, bak bendungan yang jebol tontonan pun menjadi deras penuh dinamika, Berbagai hal-hal yang sekian lama dinilai tabu dibahas pada periode kekuasaan begitu cepat diungkap atau disebar luas, semisal berbagai praktek pelanggaran HAM dan praktek KKN. Gairah masyarakat yang kritis mendapat “angin surga”. Para pejabat dan aparat baik sipil dan militer yang sekian lama cenderung dinilai sewenang-wenang sempat terpojok dan menjadi obyek sikap kritis masyarakat, terutama LSM.

Jauh hari setelah rezim-rezim berganti, Program-program semakin lancang, agaknya makin lama makin melampaui batas, kian jauh dan menyimpang dari ukuran yang patut. Variatifnya acara televisi, program-program yang disajikan agaknya dapat dibagi dalam beberapa kelompok semisal infotainment, reality show, telenovela, film India, sinetron, musik dangdut dan tayangan misteri. Acara-acara demikian nyaris ada pada setiap stasiun. Seiring perjalanan waktu, mungkin saja karena jijik, mual atau geli, mulailah ada yang mengkritisi hal demikian. Termaksud saya kali ini.

Tayangan-tayangan yang menjamur notabene tanpa batas (borderless) ruang dan waktu, makin hari makin menjemukan, mental penonton tak jarang terkonstruksi tanpa filter, efek negatifnya membabi buta dari anak ingusan hingga tua-tua keladi. Tak heran hari-haripun dihujani dengan adegan-adegan kriminal ala film action, gaya berpakaian nuansa pantai, kesyirikan konyol, tutur kata menginjak bahasa daerah pun bahasa persatuan, etika standar kebarat-baratan yang bebas. Dsb

Tentunnya setiap tayangan yang ada dihasilkan sebagai efek dari bagaimana orang membuat stasiun televisi dan menyusun acaranya yang tidak terlepas dari perhitungan dagang. Jika bicara soal dagang orang cenderung lebih mengutamakan untung, tentu dalam arti materi, tanpa atau sedikit mempedulikan dampak moral. Hal ini bermuara pada peradaban kapitalisasi global yang berfokus mencari untung (materi) belaka tanpa peduli dampak moralnya. Jika menyebut kapitalis, hampir pasti bahwa yang teringat adalah dunia Barat.

Bahkan dari beberapa referensi menilai bahwa tayangan yang disajikan kepada masyarakat Indonesia bukan sekadar mencari untung, tapi terselip suatu misi tertentu yaitu penjajahan budaya atau norma, penyisipan paradigma yang tersistematis. Tentunya hal ini tersinyalemen sebagai strategi-strategi imperialisme Barat selain dominasi di bidang politik dan eksploitasi di bidang ekonomi. Walaupun cara dan wujudnya mungkin berbeda sesuai dengan perjalanan zaman namun dasarnya tetap sama.

Kita tak bisa menampik bahwa sering terlarut dengan tontonan yang didasarkan keinginan, kontras dengan ungkapan bijak yang menyatakan ‘dahulukan kebutuhan ketimbang keinginan’ , Okelah tak jadi masalah bagi oknum-oknum yang berpendidikan baik, bermental kokoh, namun bagaimana dengan berjuta-juta orang yang tingkat pendidikannya dibawah standar, notabene tingkat pendidikan yang ada jauh berbanding terbalik dengan jumlah ancaman negatif yang ibarat virus epidemik siap selalu menyerang.

Sadar atau tidak, bagaikan abrasi, pondasi etika ketimuran yang terkenal sopan santunnya terkikis pasti. Banyak mengkritisi mungkin terlihat baik untuk menanggapi bablasnya tayangan pertelevisian kita, namun jauh lebih baik menawarkan solusi dengan menganggap hal ini sebagai issue utama dalam setiap diskusi dimanapun, kapanpun, hingga siapapun kita bisa aktif dalam menyuarakan hal ini, perlahan membentuk tindakan-tindakan pasti seperti mengontrol tontonan sesuai dengan kebutuhan yang baik indah dan benar, selektif terhadap memilih tayangan tanpa terbudaki oleh selera.

 

Penulis : Alfian SWR

Penulis adalah alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis UHO, Pemerhati Sosial asal Kab.Muna

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini