Voice dan Noise di RSUD Abunawas

63

RSUD Abunawas sedang jadi trending topik di Kota Kendari. Dipicu oleh Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pergantian RS Abunawas menjadi RSUD Kota Kendari. Adu argumentasi tidak hanya di ruang dewan yang memang memiliki kewenangan untuk mempertengkarkannya.  

Tapi juga telah merembes ke isu kultural tentang penghormatan atas eksistensi seorang tokoh lokal Kendari, Abunawas. Konon, keluarga besar Abunawas sedang bersiap-siap memperkarakan Walikota Kendari yang dinilai menyinggung secara personal.

Saya tidak ingin masuk ke substansi polemik yang melibatkan Walikota dengan keluarga besar Abunawas. Pun, saya tidak dalam posisi mendukung gagasan pemkot maupun bersimpati atas keberatan dari sejumlah elemen dewan dan kelompok masyarakat lainnya. Yang jelas, penghormatanku atas institusi pemkot dan nama baik Bapak Abunawas sama tingginya.

Sebagai warga kota yang pretensinya hanya berkeinginan mendapat pelayanan maksimal dari pemerintahnya, ribut-ribut soal nama ini sebenarnya menyedihkan. Bagi saya, penamaan itu adalah soal yang ke sekian.

Bahkan ketika nama rumah sakit itu tidak mengambil dua nama yang diperdebatkan –RSUD Kota Kendari atau RSUD Abunawas– saya tidak mempersoalkan. Saya hanya warga kota yang berangan-angan pelayanan rumah sakit semakin baik. Tahu sendirikan bagaimana pelayanan rumah sakit secara umum di Indonesia?  

Apakah ketika rumah sakit ini “dikembalikan” namanya menjadi RSUD Kota Kendari maka pelayanannya menjadi lebih baik? Apakah ketika RSUD Abunawas dipertahankan namanya maka pelayanannya menjadi lebih optimal?

Kita hanya selalu terjebak pada “bagaimana cara berbuat”. Bagaimana mengganti nama, bagaimana membangun gedung, bagaimana menyiapkan sarana dan prasarana. Tapi kita tidak pernah memandang ke hal yang lebih mendasar, yakni “kenapa berbuat demikian”.

Kenapa kita membangun rumah sakit? Agar masyarakat terpenuhi kebutuhannya untuk menjadi sehat. Itu tujuannya. Seharusnya langkah-langkah kita, perdebatan-perdebatan kita, proses dialektika kita, dalam rangka mencapai tujuan itu.

Apakah nama “RSUD Abunawas” atau “RSUD Kota Kendari” adalah proses pencapaian tujuan itu? Bahkan tanpa nama sekalipun, rumah sakit bisa mencapai tujuannya menyehatkan masyarakat asal terkelola dengan baik.

Dengan demikian, perdebatan soal nama ini seharusnya tidak berpanjang-panjang dan tetap dalam bingkai persaudaraan, sehingga tidak sempat menjadi santapan empuk media (baik media mainstream maupun media sosial) untuk “digoreng-goreng”.  

Luar biasa kita bersitegang urat leher, bersiap ke meja hijau, hingga berbondong-bondong mendatangi kantor dewan demi nama sebuah bangunan publik bernama rumah sakit.

Adakah di antara kita yang pernah berniat beramai-ramai mendesak dewan agar mendorong investigasi ketika ada dugaan malpraktek yang terjadi di rumah sakit itu? Atau adakah di antara kita yang ingin memperkarakan pihak rumah sakit ketika terjadi indikasi menelantarkan pasiennya?

Adakah ranperda yang benar-benar mengulik setidaknya tentang standar pelayanan minimum pelayanan rumah sakit, sehingga warga benar-benar memiliki kuasa untuk mendapatkan pelayanan optimal, lalu dengan cepat teridentifikasi siapa yang lalai jika terjadi sesuatu yang tidak semestinya?

Lalu mengapa pemkot justru memprioritaskan energinya untuk sebuah ranperda tentang nama pada institusi pelayanan. Bukankah yang fundamental sesungguhnya adalah pelayanannya, bukan namanya?  

Sayang sekali memang, kita selalu reaktif pada isu yang tidak berkaitan langsung dengan pencapaian tujuan. Reaksi kita masih sebatas noise. Bising. Gaduh. Belum pada tahap voice. Suara. Menyuarakan yang lebih substansial.***

Andi Syahrir

Alumni Pascasarjana UHO & Pemerhati Sosial

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini