WALHI Sultra Desak Bupati Konkep Tertibkan IUP PT. DBM di Wawonii

153

Seperti diberitakan sebelumnya, masyarakat di tiga desa tersebut membakar sejumlah fasilitas perusahaan antara lain gedung kantor, mess karyawan, 6 unit truck dan 3 alat berat excavator serta pabrik

Seperti diberitakan sebelumnya, masyarakat di tiga desa tersebut membakar sejumlah fasilitas perusahaan antara lain gedung kantor, mess karyawan, 6 unit truck dan 3 alat berat excavator serta pabrik smelter milik PT DBM. Amukan massa ini dipicu oleh janji-janji manis perusahaan yang tak kunjung direalisasikan. 
Dalam press releasesnya yang dikirimkan ke redaksi zonasultra.id, Rabu (18/3/2015), Kisran menguraikan aksi pembakaran tersebut merupakan akumulasi kekecewaan masyarakat, setelah berkali-kali melakukan negosiasi terhadap isi perjanjian yang telah disepakati bersama perusahaan. Ada pun poin-poin perjanjian antara lain, kesepakatan ganti rugi lahan dan tanaman masyarakat yakni, untuk pohon kelapa disepakati diganti rugi sebesar Rp 3,5 juta per pohon, namun oleh perusahaan hanya membayar ganti rugi sebesar Rp 1 juta. Untuk pohon pala  Rp 7 juta per pohon, tapi realisasinya cuma Rp.500 ribu per pohon. Warga juga kecewa karena ganti rugi tanah hanya diharga Rp 1.200 per meter. 
Demikian pula janji perusahaan yang akan membangun sarana dan prasarana umum, seperti, jalan raya, listrik, sarana kesehatan, sarana pendidikan, sarana ibadah, sarana olah raga dan bantuan organisasi kepemudaan sama sekali  tidak dipenuhi.  Keberadaan perusahaan dinilai telah merusak situs budaya yang sangat dikeramatkan warga, berupa makam Kapita Samaga, tokoh pahlawan  yang sangat dihormati warga Batulu (Polara).   
“Janji perusahaan yang akan memperkerjakan masyarakat setempat tidak sesuai dengan harapan masyarakat karena faktanya orang luar Wawonii yang banyak dipekerjakan,” kata Kisran.
Dikatakan Kisran, masalah sosial dan lingkungan hidup, keberadaan perusahaan tambang telah menimbulkan kekhawatiran besar bagi warga Polara, ini ditandai dengan seringnya terjadi konflik sosial antara masyarakat dengan karyawan tambang. Sedangkan dari sisi lingkungan hidup, masyarakat menilai telah terjadi abrasi pantai secara besar-besaran akibat penggalian oleh perusahaan tambang. Ini dapat dilihat kondisi pantaiyang berada dibagian tengah (belakang basecamp PT DBM). 
Informasi yang diperoleh dari pemerintah Kelurahan Polara menyebutkan terjadi penyedotan pasir secara besar-besaran dari pantai ke areal penampungan dalam basecamp sehingga mengakibatkan abrasi pantai sekitar lokasi perusahaan.
Disamping itu, keberadaan aktifitas perusahaan dinilai sangat tertutup oleh masyarakat, terutama soal dokumen yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan perusahaan (Amdal) sama sekali tidak bisa diakses oleh publik, serta  tidak pernah disosiasasikan ke masyarakat. Bahkan, diduga pembangunan smelter oleh perusahaan diduga tanpa dokumen amdal, sebab baru mulai disosialisasikan padahal pembangunan fisik pabrik sudah sekitar 90 persen.  
   
“Puncak dari kemarahan warga Batulu adalah janji perusahaan yang akan memberikan beasiswa kepada siswa-siswi dan mahasiswa di wilayah kecamatan wawonii tenggara, namun janji tersebut tidak jua terealisasi,” tulis Kisran.
 
Karena itu Walhi meminta kepada Bupati Konawe kepulauan untuk menertibkan IUP tambang yang bermasalah, baik yang terindikasi masuk dalam kawasan hutan, maupun perusahaan yang mengabaikan hak-hak masyarakat, termasuk perusahaan yang mall administrasi dalam proses penerbitan izin. 
Selain itu, Walhi mengingatkan kepada pemerintah provinsi untuk tidak gagap menggunakan standar ganda. Jika pulau Wawonii dicanangkan sebagai basis wilayah perikanan maka seharusnya Perda Nomor 2 tentang RTRW Provinsi Sultra dijalankan dengan konsisten. Jangan disatu sisi menjadikan Wawonii pusat kawasan perikanan, tapi pada saat bersamaan justeru pulau sekecil ini dipaksakan untuk dieksploitasi. 
Menurut Kisran, pulau wawonii jangan hanya dipandang dengan keberadaan potensi SDA-nya yang melimpah, sehingga pemerintah lebih berhasrat memperjual belikan IUP tambang. Terbuktil pemerintah di Sultra ini lebih doyan memperjualbelikan IUP. Saat ini di Wawonii terdapat 18 IUP tambang yang masih aktif, termasuk PT. Derawan Berjaya Mining. 
Kehadiran perusahaan-perusahaan tambang di Pulau Wawonii sangat merugikan masyarakat setempat, sebagai contoh  IUP PT. DPBM berdasarkan SK Bupati Konawe Nomor:63/2007 , luas IUP: 10.070 ha dan Hasil telaah spasial areal IUP Tambang dalam agenda KORSUP Minerba oleh KPK RI dan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan menyebutkan jika IUP PT. DBM terindikasi masuk kawasan hutan lindung, dengan luas : 342,17 ha. Ini tidak saja merugikan negara, tetapi juga masyarakat, dan sudah pasti Pulau Wawonii dalam ancaman bencana ekologis. Belum lagi hak kelola masyarakat menjadi hilang sehingga mengancam ketersediaan pangan dan produksi mereka. Termasuk situasi sosial dan budaya menjadi hilang akibat pengaruh tambang yang merusak. 
“Jadi jangan hanya menyalahkan masyarakat kalau akhirnya memilih jalurnya sendiri, tentu karena ini tidak adanya partisifasi yang seimbang, bagaimana mungkin orang lokal sudah mendiami pulau itu, sekian lama tiba-tiba hanya dalam waktu singkat 5-7 tahun  melakukan aktivitas penambangan sudah merasa sebagai penguasa di bumi Wawonii, ini tentu akan melahirkan kesenjangan sosial apalagi kalau mereka sudah tidak berproduksi,” terang Kisran. 
Kisran juga mengingatkan aparat kepolisian agar melihat permasalahan secara utuh tentang ihwal terjadinya suatu peristiwa, harus diurai secara koprehensif, kenapa bisa terjadi. Janganlah  membuat situasi semakin gaduh, dengan mencoba mengerahkan pasukan seolah-olah dalam situasi kondisi penyiapan perang, sehingga langsung atau tidak langsung menimbulkan dampak psikologis yang luar biasa bagi anak-anak, kakek-nenek dan masyarakat umum. 
Apalagi dengan menggunakan cara-cara intimidasi, kekerasan atau bahkan kriminalisasi, justeru masyarakat akan semakin beringas.
Untuk diketahui, PT Derawan Berjaya Mining yang mendapatkan ijin berdasarkan SK Bupati Konawe No: 53/2007 tanggal 19 Februati 2007, dengan luas KP: 10.070 Ha. Dimana pada waktu itu wilayah pulau Wawonii masuk kedalam wilah administratif Kabupaten Konawe. Dalam menghadapi investasi pertambangan, masyarakat Batulu pada waktu itu terjadi pro-kontra antara menerima dan menolak pertambangan pasir chrom lewat PT. DBM. Dalam situasi demikian, masyarakat Batulu akhirnya menerima kehadiran PT DBM dengan catatan perusahaan dapat memenuhi poin kesepakatan perjanjian bersama masyarakat.  
Sayangnya, selama delapan tahun beroperasi semua janji perusahaan urung ditempati. Beberapa kali warga mempertanyakan realisasi dari perjanjian tersebut, baik kepada pihak manajemen secara langsung  maupun melalui mediasi pemerintah setempat, tetapi tidak mendapat respon.
 
Janji-janji muluk perusahaan menyisakan kekecewaan yang besar bagi warga Batulu,  membuat warga berusaha merebut kembali tanah-tanah mereka yang telah dicaplok perusahaan, baik melalui unjuk rasa di perusahaan maupun unjuk rasa ke pemerintah Konawe Kepulauan di Langara. Namun  apa yang dilakukan warga Batulu dipandang sebelah mata dan dianggap angin lalu. Perusahaan semakin percaya diri karena telah dijaga oleh aparat bersenjata, yakni dari personel  Brimob dan TNI serta mengangkat koordinator security yang diambil dari warga setempat.
Situasi di wilayah Batulu (Polara, Kekea dan Tondonggito)  pasca pembakaran hingga kini masih belum kondusif, bahkan terjadi ketegangan saat kapal patroli polisi yang mengangkut puluhan polisi hendak merapat ke pantai Polara.  Pengerahan aparat kepolisian dalam jumlah besar membuat warga  yang terdiri kaum pria, ibu hingga  anak-anak sempat melakukan aksi unjuk rasa menolak kehadiran polisi yang diduga hendak menangkap para pelaku pembakaran. (Azwirman)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini