Zona Cerita: Bukan Hanya Salah La Ege

155
Cerita Pagi Untuk Perempuan Terhebat
Zona Cerita
Zona Cerita, Zona Sultra
Zona Cerita

 

Niang berduduk melantai pada tegel UGD yang berdebu. Berkaos partai, dengan rambut kumal namun terkuncir. Sedikit-sedikit ia sesenggukan, baru saja usai isak tangis sedu sedannya. Dan itu membasahi wajahnya. Tatapannya lemah nan kosong menerpa wajah ibunya yang sekarat.

Ia terangkul Pak Kumbara, bapaknya , yang berkomat-kamit tanpa suara.  Sepertinya ia berdzikir, dengan matanya berkaca-kaca. Di pangkuan Pak Kumbara tergolek pulas anak Niang.  Nampak belum genap setahun umurnya. Dengan dot menyumpal di bibir ia belum mengerti apa yang terjadi.

Petang itu Si Ibu tiba di UGD Rumah Sakit Kota. Ia dilarikan ke Rumah Sakit setelah geger otak akibat tertabrak motor di Kampung, sepulang mencuci pakaian di sumur tetangga. Darah hebat mengucur dari beberapa lubang di kepalanya. Hidung, telinga ikut menyimbahkan darah kental. Tengkuknya seperti lembek. Tragis terlihat wajah keibuannya berparas senahas itu. Hati siapapun basah kala melihat ini. Terlebih ia manusia perasa. Tak mesti kehidupannya sebegini duka nestapa.

Mereka adalah sekeluarga. Dari sebuah kampung yang jaraknya 40an Kilometer dari Kota Raha. Ibu paruh baya itu bernama Sanikem. Dua hari lalu tepat ulang tahunnya yang ke 65. Hari ini ia tergolek sekarat, dengan napas tersengau diujung harapan. Jelas sakaratul maut.

Ibu Sanikem adalah pekerja keras. Dua minggu belakangan ini ia beraktivitas sebagai tenaga serbaguna. Di dapur umum, juga kuli kasar pada proyek pembangunan perpustakaan di desanya. Suaminya Pak Kumbara juga bekerja disitu, sebagai tukang batu. Sedang Niang juga bantu-bantu, di dapur umum. Mereka hanya transmigran miskin yang sebenarnya petani. Kerja sampingan seperti adalah rejeki nomplok, ditengah peliknya hasil panen medio tahun ini.

Sayang sekali, Ibu Sanikem tertabrak oleh tetangganya sendiri. Namanya La Ege. Ia bocah tunggal Pak Sekretaris Desa. Baru beberapa bulan ini ia berseragam putih-abu-abu. Kejadiannya tak jauh dari rumah Ibu Sanikem. Kala itu La Ege sedang memacu kuda besi hadiah pelulusannya. Di jalanan desa mereka berkebut-kebutan bersama teman-temannya. Nahas, motornya menyeruduk Ibu Sanikem yang sedang menyeberang sembari memanggul cucian. La Ege terseret di aspal, lukanya tak begitu serius. Sedang Ibu Sanikem terpental hingga kepalanya tertumbuk pada tumpukkan batu gunung, bahan pondasi.

Insiden itu menuai keramaian. Penduduk desa berbondong-bondong menyelamatkan Ibu Sanikem. Juga La Ege, yang akhirnya berurusan dengan pihak kepolisian. Kedua orang tua La Ege panik tak ketulungan. Ibunya bertangis teriak meronta-ronta, hingga akhirnya pingsan. Sedang bapaknya sesak napas dengan bibir bak berlumur kapur, melemah, nyaris pingsan sambil meremas dada kirinya. La Ege pun diurusi oleh kakaknya, dari mengobati lukanya di puskesmas desa hingga menemaninya di Kantor Polisi.

La Ege, oh La Ege. Bocah polos perenggut nyawa Ibu Sanikem yang ramah. Hadiah pelulusannya berupa motor memakan korban. Tragisnya itu adalah orang sebaik Ibu Sanikem. Oh Tuhan, apakah ini salah La Ege?, kenapa tidak orang jahat saja yang di tabraknya?, atau kenapa harus La Ege yang tabrak?, atau ya sudahlah, kenapa harus ada tragedi berkelumit nestapa ini. Kenapa oh kenapa?

**

Kecelakaan lalu lintas (Lakalantas) yang melibatkan La Ege hanyalah hilir dari fenomena maraknya bocah liar dijalanan. Di hulunya, segudang faktor korelasi kriminogen dan faktor pre-emptif melandasi ini. Kasus La Ege hanyalah setumpuk sampah dihilir sungai. Jauh menyusur hingga ke hulu banyak kondisi yang mendukung insiden ini. Untuk terus terjadi dan terus terjadi.

Zona Cerita: Bukan Hanya Salah La Ege
La Ode Muhram

Usut punya usut, kenyataannya fenomena bocah-bocah liar berbalapan sudah menjadi pemandangan biasa. Motor dipacu sekencang mungkin ala Moto GP dengan sirkuitnya jalanan desa. Penduduk kampung pun tak anggap ini berbahaya, hingga tak ada teguran terlontar untuk kelakuan kampungan itu.

Lebih mencengangkan lagi, konon, mengendarai motor untuk bocah sepadan La Ege sepertinya dianggap prestasi. Orang-orang tua di kampungnya pun seolah menganggap motor sebagai hadiah yang layak. Malah seperti dikompetisikan. Hari ini Si Itu besok Si Anu. Yah, Nampak bersahut-sahutan bocah-bocah di kampung ini diberi hadiah motor oleh orang tuanya. Kurang lebih seperti itu paparan salah seorang penduduk desa menjelaskan semua.

Kondisi seperti ini akhir-akhir ini terlihat lumrah dimana saja. Di Kota, dengan populasi yang padat, parahnya tak ketulungan. Lebih deras kondisinya dibanding seperti diatas. La Ege – La Ege disini lebih banyak berkali lipat jumlahnya. Tentu, kemampuan ekonomi orang tua, rutinitas yang padat, gengsi, keinginan anak, menjadi faktor banyaknya populasi mereka. Hingga makin banyak saja yang berkebut-kebut dimana saja di sudut Kota Raha ini.

Tengoklah arena sekitaran pinggir laut, kawasan by pass, seputaran tugu. Entah anak darimana dan semoga bukan pengulangan atas kekurangajaran orang tuanya. Ketenangan jalan sebagai fasilitas umum jadi catwalk buasnya mereka dalam berkendara. Sesekali mereka berbondong, berkejaran, beriringan, dengan knalpot racing membelah ketenangan, meraung-raungkan gas.

Bebasnya kekurangajaran ini sangat jarang ditampik oleh razia lalu-lintas. Kalaupun ada razia, Untung-untung diberi sanksi, atau nasehat menjerakan. Atau parahnya, jikalau terjaring pada akhirnya keluarga, atau kerabat mereka membebaskan lagi. Mungkin saja Pak Polantas gerah. Atau bosan dengan main karet seperti ini. Namun kita berharap semoga ketegasan lebih dioptimalkan. Tak istilah ada anakkku-anakmu, anak aparat pun mesti disikat jika keparat.

Sebenarnya, tentu tak ada yang ingin hingga esok lusa kebebalan ini dipelihara. Tak mungkin membiarkan waktu menjemput insiden-insiden semacam ini. Hingga ketika memakan korban jiwa hanyalah air mata dan duka nestapa yang bisa merayakan kebebalan yang kolot itu. Ketika semuanya sudah terjadi hanya sesal yang tersisa, juga saling menyalahkan. Kita jelas tak inginkan itu. Kita harus sudahi itu dengan kesadaran kita. Lebih sadar lebih keras.

***

Kembali ke Rumah Sakit. Tak begitu malam, kabar duka tersiar dari rumah sakit. Ibu Sanikem meninggalkan dunia untuk selama-lamanya. Suami yang tua dan janda dengan satu anak (Niang) menanggung duka yang berat atas kepergian Ibu yang serba bisa ini. La Ege pun akhirnya mendekam di jeruji besi. Rentang waktu kedepan menegaskan status hukumnya sebagai anak yang berhadapan dengan hukum. Lebih tepatnya lagi, anak yang berkonflik dengan hukum. Sebagaimana Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak mengkategorikan itu.

Sementara itu, orang tua La Ege masih belum pulih dari shock beratnya. Tak disangka motor yang mereka hadiahkan atas kelulusan La Ege menumbalkan nyawa Ibu Sanikem. Seorang ibu yang ramah pada mereka. Tak hanya sekadar tetangga. Seorang Ibu yang tak jarang menjadi buruh cuci harian, juga perawat taman rumah mereka. Kurang lebih ramah dan jasa-jasanya akan selalu terkenang, meskipun dilapisi duka atas tragedi ini.

Sedih-sesedihnya, hari itu seluruh kampung dirundung duka. Tua- muda tertunduk sesal atas ketidaksadaran hingga pembiaran selama ini. Hanya hikmah yang bisa dipetik, untuk dijadikan pelajaran dihari-hari esok. Meski sesekali insiden itu bisa saja membayang dan mengingatkan duka itu. Duka yang tragis itu.

Orang tua yang bijak sekiranya mampu mengajari anaknya. Kalaupun tak mampu mengajari, setidaknya jangan berikan sesuatu yang tak sesuai dengan kadar kedewasaan anak. Seperti mengizinkan berkendara di umur yang muda, mengizinkan berkendara tanpa safety riding. Atau sekurang-kurangnya jangan balap dan menghargai pengendara yang lain.

Bukan hanya orang tua. Saudara-saudari, keluarga, tetangga, kerabat, mesti jangan melakukan pembiaran, atau terlupa oleh faktor-faktor preventif. Agar fenomena ini bisa dihabisi atau sekurang-kurangnya dikurangi sebanyak-banyaknya. Begitupula ditataran reaktif, Pak Polantas bisa lebih greget,Sistem No-Bat (nongol-babat) yang dipakai. Jangan ada istilah anak-anakmu, anak aparat dibabat kalau keparat. Kita harus saling mengingatkan tak pandang hak dan kewajiban, sebab ini adalah masalah bersama.

Atas kejadian ini semoga hikmah bisa kita rengkuh. Kita lekatkan dihati kita, di otak kita agar kita bisa saling mengingatkan bahaya ini semenjak dari bibit-bibitnya. Semoga La Ege tak balap lagi, semoga tak ada La Ege lain, tak ada Ibu Sanikem lainnya dihari kedepan. Mari kita jaga itu.

Wallahu a’lam bishowab.

Oleh : La Ode Muhram
Penulis Merupakan Pemerhati Sosial asal Kabupaten Muna

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini