11 Daerah di Sultra Berpotensi Status Awas Kekeringan

1058
11 Daerah di Sultra Berpotensi Status Awas Kekeringan
SAWAH- Betang lahan sawah di Desa Cialam Jaya, Kecamatan Konda, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel). (ILHAM SURAHMIN/ZONASULTRA.COM).

ZONASULTRA.COM, KENDARI – Data terbaru Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menunjukkan 11 daerah yang tersebar di enam kabupaten di Sulawesi Tenggara (Sultra) berpotensi mengalami kekeringan dengan status siaga bahkan naik menjadi awas.

Kepala Stasiun Klimatologi Ranomeeto, Aris Yunatas mengatakan, peringatan status siaga ini karena 11 daerah yakni Kota Baubau, Kabaena Barat, Poleang Timur, Poleang, Poleang Barat (Bombana), Lasalimu, Batauga (Buton Selatan), Kota Kendari, Lainea (Konawe Selatan), Parigi, dan Tongkuno (Muna) telah mengalami hari tanpa hujan paling singkat 31 hari.

“Artinya daerah ini sudah 31 hari atau satu bulan tidak turun hujan sama sekali,” kata Aris dihubungi, Senin (2/9/2019) sore.

Bahkan 11 daerah ini pun berpotensi naik status menjadi awas karena puncak musim kemarau di Sultra akan terjadi pada September ini. Status awas bisa dikatakan bahwa suatu daerah tidak mengalami hujan dalam kurun waktu paling singkat 61 hari atau dua bulan.

(Baca Juga : Musim Kemarau, Ini Lokasi Hutan dan Lahan Berpotensi Terbakar di Sultra)

Dibandingkan tahun 2018, kata Aris, kekeringan tahun ini lebih kering karena selain memasuki musim kemarau terdapat pula faktor El Nino meski kekuatannya lemah. Di Indonesia secara umum dampak dari El Nino adalah kondisi kering dan berkurangnya curah hujan. El Nino merupakan fenomena memanasnya suhu muka laut di Samudra Pasifik bagian tengah hingga timur.

BACA JUGA :  BMKG Prediksi Wilayah di Sultra Masih Dilanda Hujan Beberapa Hari ke Depan

Aris menyebutkan, peringatan dini potensi kekeringan tersebut dapat menjadi perhatian pemerintah setempat untuk mengantisipasi kekeringan yang bakal terjadi, terutama dampak bagi petani padi yang bisa saja mengalami gagal panen (puso).

Bukan hanya itu, dampak kebakaran hutan dan lahan (karhutla) juga penting diawasi. Sebab, dalam kondisi puncak musim panas, kebakaran bisa saja disebabkan karena suhu panas yang tinggi, belum lagi faktor disengaja oleh oknum tertentu.

“Ya, mungkin pemerintah bisa mengatur pola tanam dengan beradaptasi terhadap kondisi cuaca saat ini. Artinya memasuki musim kemarau petani bisa menanam tanaman yang tidak terlalu banyak memerlukan air,” jelasnya.

(Baca Juga : Ini Wilayah Indonesia yang Berpotensi Alami Kekeringan di Musim Kemarau)

Saat ini sumber air lahan sawah di Sultra banyak bersumber irigasi dari aliran sungai dan sumur bor juga embung, tapi tentunya potensi kekeringan dapat menyebabkan sumber air itu mengalami penurunan debit bahkan menjadi kering. Kemudian, di daerah perkotaan sumber air bersih harus pula menjadi konsen pemerintah agar kebutuhan air di masyarakat bisa tetap terpenuhi di musim kemarau ini.

BACA JUGA :  BMKG Prediksi Wilayah di Sultra Masih Dilanda Hujan Beberapa Hari ke Depan

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Sultra tahun 2017, untuk luas lahan sawah yang airnya bersumber dari irigasi sebesar 100.121 hektar sedangkan nonirigasi seluas 28.564 hektar.

Untuk diketahui, Kabupaten Bombana merupakan salah satu lumbung beras di Sultra dengan luas lahan sawah hingga tahun 2018 sekitar 14.284 hektar dan Kecamatan Poleang Timur merupakan salah satu wilayah dengan luas sawah terbesar. Pada 2018 produksi padi di Bombana rata-rata 6 hingga 7 ton per hektar, bahkan Kecamatan Poleng bisa memproduksi 9 ton per hektar.

Selain itu, kebakaran lahan gambut telah terjadi sejak beberapa hari lalu hingga hari ini di Desa Keisio, Kecamatan Lalolae, Kabupaten Kolaka Timur (Koltim). Data terakhir luas lahan yang terbakar mencapai 170 hektar. Tim dari Manggala Agni Daops Tinanggea bersama TNI/Polri serta masyarakat setempat terus melakukan upaya pemadaman titik api. (a)

 


Reporter: Ilham Surahmin
Editor: Jumriati

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini