7 Petahana di Sultra: Antara Realitas Politik Masa Kini dan Peluang Kemenangan

2335
7 Petahana di Sultra: Antara Realitas Politik Masa Kini dan Peluang Kemenangan

ZONASULTRA.COM, KENDARI – Pesta demokrasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak tahun 2020 sebentar lagi digelar. Segala persiapan dilakukan mulai dari tingkat penyelenggara hingga para kandidat yang akan bertarung. Di Sulawesi Tenggara (Sultra) ada tujuh kabupaten penyelenggara pilkada yakni Kabupaten Konawe Utara (Konut), Konawe Kepulauan (Konkep), Konawe Selatan (Konsel), Muna, Buton Utara (Butur), Kolaka Timur (Koltim), dan Wakatobi.

Di 7 wilayah tersebut, para petahana kembali akan bertarung untuk periode kedua. Mereka adalah Ruksamin (Konut), Amrullah (Konkep), Surunuddin Dangga (Konsel), Rusman Emba (Muna), Abu Hasan (Butur), Tony Herbiansyah (Koltim), dan Arhawi (Wakatobi).

Mempertahankan kekuasaan tentu menjadi motivasi besar bagi mereka untuk tetap duduk menjadi orang nomor 1 di daerahnya. Menjadi seorang kepala daerah memang memiliki banyak keuntungan. Salah satunya dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor 109 tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah.

Dalam PP tersebut disebutkan bahwa besaran biaya penunjang operasional kepala daerah berdasarkan klasifikasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) paling rendah Rp125 juta dan tertinggi Rp600 juta. Biaya ini untuk mendukung pelaksanaan tugas mereka. Kepala daerah juga mendapatkan gaji pokok Rp2,1 juta dan tunjangan jabatan Rp3,7 juta.

Menjadi kepala daerah juga tentu memiliki kekuatan penuh untuk mengatur segala hal di wilayah kekuasaannya. Apalagi sejak adanya undang-undang otonomi daerah (Otda) yang memberikan ruang kepada daerah untuk mengatur sendiri wilayahnya dengan berpedoman terhadap aturan undang-undang.

Sayangnya bukan hal mudah bagi 7 petahana ini untuk tetap bisa mempertahankan kekuasaannya. Banyak penantang yang memiliki niat menumbangkan mereka dengan berbagai strategi politik. Meski di sisi lain, petahana lebih diuntungkan.

Realitas Politik Masa Kini

Berburu pintu atau rekomendasi partai politik menjadi langkah awal bagi setiap bakal calon, baik incumbent atau petahana maupun penantang. Siapa yang mendapatkan rekomendasi partai dengan jumlah kursi terbesar di DPRD masing-masing adalah bakal calon yang bisa dikatakan memiliki kemampuan dan modal besar.

Eka suaib
Eka Suaib

Pengamat Politik Universitas Halu Oleo (UHO) Eka Suaib mengatakan, petahana di Sultra dibanding penantang memiliki peluang lebih besar untuk menang karena ada tiga aspek yang mempengaruhi. Pertama, kurangnya figur alternatif yang muncul dalam pilkada serentak di sejumlah daerah sehingga parpol hanya melirik petahana.

Kedua, naluri kekuasaan petahana masih tinggi untuk tetap bertahan dengan alasan mereka mampu melakukan mobilisasi politik dan yang ketiga ada pertemuan kepentingan antara parpol dan petahana dengan membentuk pola simbiosis mutualisme.

Pilkada serentak dewasa ini menurut Eka terjadi deviasi. Dalam pelaksanaan pilkada ada filosofi yang disebut efek ekor jas atau coat tail effect, bahwa ketika pilpres dimenangkan oleh partai koalisi tertentu harusnya koalisi tersebut dapat diikuti hingga ke level bawah, tapi kenyatannya parpol tetap berkompetisi memenangkan calonnya di pilkada. Kondisi ini pun secara pandangan politik memberikan dampak yang tidak efektif terhadap penyelenggaraan sistem pemerintahan.

Parpol yang berkompetisi dimaksudkan mereka menjalankan pola perpolitikan dengan berbasis pada tujuan utama memenangkan calon yang diusung saja dan tidak dititikberatkan pada kesamaan visi misi partai dengan calon. Artinya tidak ada tawaran parpol kepada calon yang diusungnya untuk menjalankan platform dari partai mereka ketika calonnya terpilih. Misalnya partai A memiliki visi misi kesejahteraan ekonomi, belum tentu memberikan rekomendasi calon yang memiliki visi yang sama. Hal tersebut merupakan fakta saat ini.

“Kita amati selama ini yang terjadi pembentukan sebuah koalisi partai selalu berada pada last minute atau mendekati babak akhir penetapan calon. Itu dibaca tidak lazim dalam sistem pemerintahan Indonesia yang menganut sistem presidensial,” kata Eka Suaib saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat (6/3/2020).

Penentuan koalisi di babak akhir dinilai sarat dengan transaksional. Partai yang memiliki jumlah kursi besar punya nilai tawar yang tinggi, serta partai penentu koalisi dengan jumlah kursi sedikit tapi dapat mencukupi koalisi poros baru tentu juga akan memasang harga yang tidak kecil. Layaknya hukum pasar, semakin banyak peminat maka semakin tinggi penawaran.

BACA JUGA :  Hakim Perempuan di PN Andoolo Ungkap Keresahan, dari Minim Fasilitas hingga Rentan Intervensi

Kondisi tersebut dinilai Eka Suaib bahwa politik saat ini sudah menjadi industri dengan adanya keterlibatan para pengusaha, birokrat yang sudah cukup uang, incumbent yang sudah mapan serta politisi yang telah malang melintang di pilkada melalui sebuah proses tarik menarik untuk mencapai kesepakatan. Meskipun pada dasarnya uang bukan faktor utama, tapi tanpa uang perpolitikan bisa menjadi repot.

Lahirnya Pemilih Milenial

Semakin besarnya populasi pemilih milenial saat ini menjadi ancaman tersendiri bagi petahana. Kemajuan teknologi serta semakin luasnya jangkaun provider milenial bukan hanya ada di perkotaan tapi sudah merambah sampai ke wilayah pelosok. Artinya, pesta demokrasi seperti pilkada akan selalu ramai diperbincangkan di dunia maya melalui media sosial seperti Facebook.

Akan muncul meme, video atau gambar-gambar unik namun bermakna tersirat dan belum tentu benar (hoaks) yang menciptakan sebuah peperangan komentar dan share dalam dunia maya antar masing-masing pendukung calon petahana dan penantang. Salah pergerakan sedikit dapat berakibat fatal pada penurunan pamor calon di mata pemilih pemula.

Situasi ini bagi Eka harus menjadi perhatian tim petahana bagaimana bisa menjalankan kampanye secara terstruktur dan tidak hanya mengandalkan sistem politik uang atau membeli suara pemilih dengan uang. Telah terjadi pergeseran paradigma pemilih dengan lahirnya pemilih pemula itu, mereka menerima uang tapi belum tentu memilih.

Agar tidak merugi dan mengahabiskan amunisi pada pola cara lama, baiknya parpol dan calon dapat bekerja secara efisien dan efektif menggunakan dana mereka untuk hal-hal yang bermanfaat misalnya menggunakan media sosial guna membangun brand image jagoannya untuk meraup suara milenial. Selain tetap melakukan blusukan dan kampanye di masyarakat.

Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UHO Muhammad Aswan Zanynu
Muhammad Aswan Zanynu

Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UHO Muhammad Aswan Zanynu mengatakan, pola perilaku pemilih pemula itu unik dalam hal menentukan pilihannya saat pilkada. Rujukan utama mereka ada pada kelompok teman bermainnya. Teman bermainnya terbagi menjadi dua, teman real dan teman intermediasi (media sosial). Ketika disuguhkan tiga kandidat atau lebih, mereka akan confirm lebih dulu kepada kelompok bermainnya, suara apa yang paling masuk akal maka mereka akan berada pada seputaran lingkaran tersebut.

“Sudah seperti itu perilaku unik generasi Z, mereka akan merujuk pada suara popularitas teman geng-nya, jadi mereka tanya dulu siapa kira-kira yang bagus untuk dipilih,” ungkapnya.

Pada konteks teman intermediasi, media sosial telah mengatur dan membaca kebutuhan penggunanya, sehingga konten yang disajikan akan berhubungan dengan user dan kebanyakan mereka hanya berteman dengan yang sevisi. Misalnya, dia menyukai sosok Jokowi maka semua postingan yang berhubungan dengan Jokowi akan disukai, dikomentari dan disebarluaskan melalui akunnya. Dalam ilmu komunikasi dikenal teori kultifasi yakni media akan terus menyajikan konten kepada khalayak sesuai apa yang dia inginkan dan menjadi kenyamanan mereka.

Sehingga, mustahil bagi masyarakat mendapatkan konten politik kalau tidak pernah menyukai politik, tapi kalau seseorang menyukai mistis maka konten di media sosialnya akan dibanjiri dan mudah ditemukan hal tersebut. Saat ini menurut Aswan cara kerja media sudah seperti itu.

Pemilih pemula saat menentukan pilihan berlandaskan pada cost and reward, apa yang dia dapatkan setelah memberikan suaranya kepada salah satu calon.

Penelitian yang pernah dilakukan Aswan Zanynu bahwa pelajar SMA saat ditanyakan siapa presiden yang akan dipilih saat pilpres, jawabannya adalah mereka akan memilih calon yang bisa menghapuskan ujian nasional. Jadi, pemilih pemula lebih berpikir apa keuntungan yang akan didapatkan ke depan setelah menentukan pilihan.

BACA JUGA :  Disabilitas Netra dan Pemilu: Antara Keinginan dan Keraguan Memilih

Berbeda dengan pemilih tradisional, mereka akan memilih setelah ada yang memberikannya uang. Contoh kasus, pada Pilpres 2019 kemarin menurut Aswan suara Jokowi banyak tergerus karena janji politiknya ada yang tidak ditepati, sehingga pemilih yang berladaskan pada trust (kepercayaan) akhirnya beralih.

“Sederhananya begini, nda apa apa saya pilih dia di pemilihan 2014, tapi tunggu pemilihan selanjutnya saya hukum saya tidak mau beri suaraku, jadi ada hukuman,” katanya.

Baginya kandidat tidak harus menghamburkan uang untuk meraup suara milenial. Lebih baik mereka mencari tahu apa yang diinginkan kaum milenial dan penuhi keinginan itu dengan janji yang bisa dipenuhi. Serta baiknya dana mereka bisa diinvestasikan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat.

Peluang Kemenangan Petahana

Berbicara soal peluang kemenangan petahana, perkembangan di 7 kabupaten di Sultra saat ini hanya ada satu daerah yang kemungkinan terdapat calon independen yakni Konkep. Situasi ini dinilai bahwa Pilkada 2020 di Sultra calon yang diusung parpol masih dipercayai ketimbang calon perseorangan.

Pengamat Politik UHO Najib Husein menyebutkan di Konkep kemungkinan tiga calon bakal maju, dua dari partai satu dari jalur independen. Kemudian Konsel, besar kemungkinan petahana melawan kotak kosong, apabila Irham Kalenggo tidak berani bertarung tanpa Partai Golkar.

Pengamat Politik UHO Najib Husein
Najib Husein

Selanjutnya Butur kemungkinan ada 4 atau 3 calon. Jika terjadi tiga calon besar kemungkinan muncul nama Abu Hasan, Ridwan Sakaria, dan Aswadi Adam. Munculnya Aswadi menjadi ancaman bagi Abu Hasan karena Aswadi sudah punya basis suara. Tapi apabila mucul lagi satu calon maka pertarungan antara Abu Hasan dan Ridwan akan sangat seru. Pasalnya, lima tahun sebelumnya Ridwan berhasil ditumbangkan Abu Hasan ketika maju untuk periode keduanya.

Untuk Koltim saat ini baru dua nama yang muncul. Keduanya dari unsur petahana Bupati Tony Herbiansyah dan wakilnya sendiri juga ikut melawan Tony yakni Andi Merya Nur. Kekuatan incumbent di Koltim masih sangat kuat sehingga Koltim bisa menjadi pertarungan head to head. Di Wakatobi ada dua calon yaitu dari petahana Arhawi sendiri dan wakilnya juga ikut maju sebagai 02 mendampingi Haliana, kans kekuatan incumbent di sana masih kuat.

Di Konawe Utara (Konut) dinilai akan menjadi pertarungan yang sangat sengit karena terjadi pecah kongsi antar bupati dan wakilnya dan keduanya bertarung menjadi 01. Khusus Konut dinilai strategi yang digunakan kedua kekuatan ini pasti berbeda dengan dilakukan dari 5 tahun yang lalu. Sehingga cukup menarik dan ketat persainganya, besar kemungkinan akan menjadi head to head.

Kabupaten Muna berpeluang akan ada 3 calon, ketika terjadi 3 calon kekuatan incumbent itu masih cukup kuat untuk mengalahkan calon yang lain.

“Petahana di 2020 menurut saya semua akan mengalami sebuah pertarungan yang ketat namun ada beberapa petahana masih punya basis suara yang kuat misalnya untuk Konsel dan kemudian Wakatobi. Petahana cukup kuat di dua lokasi tersebut tapi tidak menutup kemungkinan lawan-lawan politiknya bisa membuat strategi baru sehingga bisa mencari titik lemah para incumbent. Sedangkan untuk daerah lain peluang mereka masih meragukan untuk mempertahankan posisinya hari ini,” terang Najib di ruang kerjanya, Jumat (28/2/2020).

Najib juga menilai ada fenomena menarik pada partai politik di Sultra tahun 2020. Mereka tidak semua merapat kepada petahana, dan lebih tertarik mendukung calon-calon baru untuk melawan incumbent. Sehingga terbaca arah partai politik tidak serta merta merujuk ke petahana namun tetap melihat faktor tingkat elektabilitas. Ketika elektabilitas seorang calon tinggi partai politik akan bergabung ke calon itu untuk saling mendukung. (*)

 


Reporter: Ilham Surahmin
Editor: Jumriati

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini