Abaikan Ancaman Lingkungan, Pemda Muna Jual Potensi Tambang Batu Kapur

932
Ilustrasi tambang
Ilustrasi

ZONASULTRA.COM, RAHA – Walau dinilai mengancam siklus hidrolologi air tanah, Pemerintah Daerah (Pemda) kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara (Sultra) tetap bersikukuh untuk menjual potensi tambang batu kapur yang ada di daerah itu untuk dioleh investor.

Kepala Bidang (Kabid) Penyelenggara Pelayanan Perizinan dan Non Perizinan di Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu kabupaten Muna La Ode Sakara mengungkapkan, sejumlah potensi tambang batu kapur itu tersebar di desa Lakarinta Kecamatan Lohia, desa Oempu Kecamatan Tongkuno dan desa Labaha Kecamatan Watopute. Potensi ini sudah dirilik oleh PT Lakarinta Meleura Sejahtera dan PT Bintang Rohi.

Kepala Bidang (Kabid) Penyelenggara Pelayanan Perizinan dan Non Perizinan di Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu kabupaten Muna La Ode Sakara
La Ode Sakara

Batu kapur, atau batu gamping terbentuk dari proses endapatan yang tersusun oleh kalsium karbonat (CaCO3) dalam bentuk mineral kalsit. Batu yang paling sering terbentuk di perairan laut dangkal itu sangat berguna untuk memisahkan bahan mentah nikel dengan tanah.

(Berita Terkait : Penambangan Batu Kapur Muna Dinilai Berdampak Negatif)

“Untuk PT Bintang Rohi sudah mulai beroperasi di desa Oempu (Labora), kecamatan Tongkuno. Sedangkan PT Lakarinta Meleura Sejahtera sejak tahun 2017 lalu, izin prinsipnya sudah dikeluarkan oleh Pemprov Sultra,” tutur La Ode Sakara, saat ditemui diruang kerjanya, Rabu (1/8/2018) lalu.

Dia menjelaskan, PT Lakarinta Meleura Sejahtera saat ini tengah melakukan studi di Korea dan semua prosedur izin mereka sudah penuhi. Kata dia, kedua lokasi yang akan diolah oleh perusahaan ini belum dilakukan kegiatan penambangan.

“Semua izin prosedur sudah dipenuhi. Kalau untuk di Muna, kita cuman mengeluarkan Wilayah Izin Usaha (WIU) dan kita sudah lakukan itu. Jadi mereka tinggal action saja,” katanya.

La Ode Sakara mengaku, banyak perusahaan yang bermohon meminta ijin, akan tetapi persyaratan yang di minta oleh pihaknya tidak bisa dipenuhi oleh pihak perusahaan sehingga pengurusan izinnya tersendat-sendat.

“Kedua lokasi itu (Desa Oempu dan Lakarinta) sudah diverifikasi oleh tim tehnis. Kalau di Desa Lakarinta sudah keluar izin prinsipnya. Sementara di Desa Oempu (Labora) masih menunggu pertimbangan tehnis yang keluar,” ungkapnya.

Selain itu, Pemda Muna juga berniat menjual potensi yang sama di desa Labaha Kecamatan Kontunaga. Saat ini, pihak perusahaan yang akan menambang kawasan batu kapur itu sudah melakukan sosialisasi dengan masyarakat setempat.

“Hasilnya, masyarakat setempat menyambut baik kegiatan sosialisasi tersebut,” katanya.

Menurutnya, masuknya para perusahaan investor tersebut bisa mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD) Muna dan juga membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat di daerah itu.

Sebelumnya, rencana penambangan batu kapur ini telah mendapat rekasi pro dan kontra dari berbagai kalangan di Muna. Dalam diskusi sejumlah aktivis dan akademisi asal ‘Wite Barakati’ di kota Kendari beberapa waktu lalu membahas rencana masuknya perusahaan tambang yang akan mengolah potensi batu kapur yang terbentang dari desa Labaha hingga ke kelurahan Dana, barisan perbukitan Baluara, Lakokuli, Wasirikamba, Kontu Harimau, hingga Molo. Dimana lokasi itu merupakan satu rangkaian bukit karst dengan kandungan batu kapur siap olah. Ada sekitar tujuh desa termasuk Desa Bungi di Kecamatan Kontunaga, akan menerima dampak dari penambangan tersebut.

Diskusi ini menyimpulkan bahwa, dampak negatif yang akan datang dari aktivitas tambang di kecamatan Watopute nanti jauh lebih besar dirasakan generasi selanjutnya. Berbeda dengan pemilik modal yang akan langsung pergi setelah memperoleh untung besar.

Diskusi yang melibatkan Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Harimau Kontu, Komunitas Seroja Merah, dosen Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, mahasiswa program doktoral Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, dan para aktivis lain bersepakat, bahwa rencana penambangan batu kapur di Watopute harus dikaji lebih komprehensif.

Ketua IKA Harimau Kontu yang juga dosen Fakultas Ilmu Budaya UHO, Edi Samiel mengemukakan, sejak awal masyarakat akan dirugikan atas hadirnya perusahaan tambang itu. Sebab, secara de facto masyarakat mendiami kawasan itu. Namun secara de jure mereka tidak memiliki kekuatan hukum, karena kawasan itu adalah kebun nomaden. Tidak banyak yang disertifikatkan, hanya pengakuan secara sosial. Jadi, janji kompensasi dari perusahaan itu akan susah didapatkan.

Selain itu, lokasi yang akan jadi lahan pertambangan sangat dekat dengan pemukiman. Maka dalam analisis dampak lingkungan (Amdal), kajiannya tidak akan lulus. Edi memastikan warga yang bermukim di situ nantinya akan menjadi korban kerusakan alam.

Komunitas Seroja Merah yang selama ini fokus mengembangkan Baladewa (Barisan Perbukitan Baluara, Lakokuli, Kontu Harimau dan Wasirikamba) menjadi kawasan ekowisata, lebih sepakat membangun kawasan pertanian, perkebunan dan pariwisata di lokasi tersebut, jika tidak ingin melihat Watopute menjadi Kota Mati ke depannya saat dilanda bencana alam karena habisnya kawasan karst.

Mahasiswa Program Doktor UGM yang juga dosen Sosiologi UHO La Bilu, mengatakan bahwa masyarakat Kecamatan Watopute harus kompak setelah melakukan kajian mendalam tentang rencana penambangan tersebut. Pertimbangannya adalah dampak jangka panjangnya.

“Jika disepakati, semua pihak harus sepakat dan siap menanggung segala konsekwensinya. Begitu pula apabila tidak sepakat, semua pihak harus memikirkan solusi lain untuk kesejahteraan masyarakat,” ujar La Bilu. (C)

 


Reporter : Kasman
Editor : Abdul Saban

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini