Aksi Woman’s March: Perjuangan Fatamorgana

218
Nurbaya Al-Azis - Opini
Nurbaya Al-Azis

International Women’s Day adalah momentum yang dianggap tepat untuk
memperjuangkan hak perempuan dan mewujudkan kesejahteraan dengan melakukan
introspeksi secara menyeluruh. Hal ini diharapkan bisa membangun kesadaran bahwa perempuan adalah bagian dari masyarakat yang juga memiliki hak dan harus terbebas dari berbagai diskriminasi.

“Memperingati Hari Perempuan Internasional, sekitar seribu orang berkumpul
menggelar aksi Women’s March di Jakarta pada Sabtu (3/3) pagi. Aksi bertajuk #LawanBersama itu menyuarakan tuntutan dan aspirasi yang berpihak pada kaum perempuan”, dikutip dari cnnidonesia.com (sbatu,03/03/2018). Dijelaskan pula bahwa dalam aksi tersebut mereka menyuarakan delapan tuntutan besar termasuk menghapus kebijakan yang dianggap diskriminatif, pengesahan berbagai hukum dan kebijakan oleh pemerintah serta menjamin dan menyediakan layanan pemulihan bagi korban kekerasan.

#Feminisme Kompor Kaum Hawa

Berbicara tentang masalah perempuan dalam sistem kapitalisme seolah tak ada habisnya. Korban kekerasan fisik, pelecehan seksual, penindasan dan eksploitasi menjerat kaum perempuan dimanapun mereka berada.

Melihat fenomena yang memilukan tersebut para pejuang feminisme barat mengarahkaan cara pandang mereka agar kaum muslim juga mengikuti cara pandangan mereka (read:barat) terhadap solusi atas permasalahan yang dialami perempuan. Ide-ide dari para pegiat feminisme yang bertentangan dengan Islam getol mereka suarakan. Salah satunya adalah menjadi kompor agar kaum hawa memiliki motivasi agar menjadi bagian dari penyokong Ekonomi dimulai dari keluarga, masyarakat hingga tataran negara.

Hal ini terjadi tidak lepas dari sistem yang diemban dan diterapkan diberbagai negara. Sistem Kapitalisme sebagai sistem yang diterapkan oleh kebanyakan negara di dunia saat ini, termasuk Indonesia, memiliki konsep dan metode yang khas dalam mengatur individu dan masyarakatnya. Negara asalnya terus-menerus melakukan berbagai propaganda dengan menciptakan gambaran kebahagiaan semu yang dirasakan oleh perempuan barat. Hal tersebut bertujuan untuk meraup keuntungan dan lebih jauh dari itu agar ideologi mereka semakin dalam mengakar di negeri-negeri kaum muslim.

BACA JUGA :  Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Era UU Omnibus Law

Salah satu bentuk propaganda yang populer adalah dengan membangun kondisi lingkungan yang materialistik dan konsumtif utamanya bagi perempuan. Serangan tersebut digempurkan melalui media dengan cara soft appearance sehingga perempuan yang hakikatnya menjadi korban, tidak lagi sadar bahwa dirinya telah menjadi korban penjajahan.

Selain itu, standar kebahagiaan pun dikondisikan, agar semua orang mengartikan bahagia adalah jika mempunyai banyak uang, gelar, kedudukan yang tinggi, dan hal lain yang berstandar pada materi. Sekilas hal ini mungkin terkesan biasa, namun dalam sistem kapitalis meniscayakan adanya korban yakni para perempuan, anak-anak, keluarga dan masyarakat.

Kapitalisme telah bergerilya untuk menjajah sosok perempuan dari fisik hingga nalurinya pun jadi korban. Perempuan diarahkan menjadi makhluk konsumeris taat atas produk kapitalisme hingga akhirnya perempuan muslim kehilangan identitasnya sebagai muslimah.

#Maraknya Kekerasan Buah Sekulerisme

Ketika aqidah telah tergadai dengan uang maka agama tidak lagi menjadi standar perbuatan perempuan Kapitalisme. Sehingga wajar jika muncul permasalahan lain akibat ulah manusia yang menghilangkan nilai-nilai Agama dari kehidupan. Salah satunya adalah tingginya kekerasan terhadap peremupuan sebagaimana yang diberitakan dilaman news.detik.com (7/3/2018) “Kekerasan terhadap perempuan di Indonesia masih tinggi. Selama 2017, ada 348 ribu kasus kekerasan terhadap perempuan yang didominasi KDRT dan pelecehan di dunia cyber”.

Angka yang sangat fantastis ini adalah buah dari penerapan sekulerisme yakni Agama dipisahkan dari kehidupan. Seharusnya kita semua membuka mata! Jika barat menjadi tolak ukur perjuangan feminisme dalam menjamin berbagai hak wanita, maka angka kekerasan terhadap perempuan di sana seharusnya rendah. Namun fakta berkata lain. Angka kekerasan terhadap perempuan di barat terkategori tinggi.

BACA JUGA :  Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Era UU Omnibus Law

Artikel yang dimuat dalam parstoday.com pada 06 September 2016 berjudul “Di Inggris, Kekerasan terhadap Perempuan Capai Rekor Tinggi”. Begitu juga di Amerika Latin. Dikutip dari republika.co.id, pada 21 Januari 2018 dinyatakan bahwa Paus Fransiskus menyoroti masalah kekerasan terhadap perempuan yang banyak terjadi di kawasan Amerika Latin.

Setiap tahun angka-angka kekerasan tersebut selalu naik padahal para pejuang hak perempuan juga semakin meluas. Ini menunjukkan bahwa tuntutan perlindungan terhadap perempuan dalam sistem Demokrasi adalah fatamorgana. Maka kita butuh solusi untuk menyudahi penderitaan dan ancaman yang membayang-bayangi kehidupan kaum perempuan yakni dengan aturan yang berasal dari pencipta manusia.

Hanya dengan penerapan Islam secara kaffah perempuan akan bisa menjalankan perannya sesuai dengan fitrah yang diberikan oleh Pencipta. Disisi lain, kebutuhan finansial yang selalu dijadikan alasan bagi perempuan untuk ikut terjun ke dunia kerja akan diselesaikan dengan solusi Islam yang sempurna; mengatur agar kebutuhan finansial setiap individu maupun warganya terpenuhi, termasuk perempuan.

Inilah yang akan kita rasakan ketika Islam diterapkan dalam institusi negara, Khilafah; menjamin kebutuhan pokok warganya, mengatur kepemilikan di tengah umatnya, menyediakan lapangan pekerjaan, layanan pendidikan dan berbagai pelayanan untuk kemashlahatan ummat. (*)

 


Oleh : Nurbaya Al-Azis
Penulis merupakan Front Officer Bimbel JILC Kendari

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini