“Aku Rupiah, Perlakukanlah Aku dengan Baik”

619
Pecahan uang rupiah

ZONASULTRA.COM, KENDARI – Tahukah Anda jika pecahan uang rupiah kertas yang setiap hari Anda pegang pada awalnya direncanakan, disiapkan, dan diantarkan ke seluruh penjuru Indonesia? Untuk membuat masyarakat dapat memegangnya, rupiah melalui perjalanan yang sangat panjang.

Dari mengarungi luasnya samudra menggunakan perahu besar bahkan kecil. Hingga terbang melayang di udara. Tanpa disadari, rupiah sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Namun, apa yang terjadi pada rupiah ketika sudah berada di genggaman tangan? Dia dibasahi. Dia diremas. Dia dilipat. Dia distreples. Dan terkadang dicoret.

Perlakuan terhadap uang yang kurang baik menjadikannya cepat lusuh dan rusak. Seperti telah menjadi kebiasaan, uang ditaruh seadanya. Dilipat lalu dimasukkan ke dalam saku baju. Ditaruh di dalam tas berdesakkan dengan barang lainnya. Diremas lalu dijejalkan ke dalam saku celana. Distreples dengan kertas atau amplop. Menuliskan nomor juga nama pada uang. Saat kehujanan uang ikut menjadi basah.

Lebih parahnya, uang juga kadang ikut tercuci bersama pakaian. Kondisi tersebutlah yang memperpendek umur dari uang rupiah. Saat uang masih bisa berpindah-pindah tangan dari orang satu ke orang lainnya, karena kondisi fisik yang demikian malah menjerumuskannya ke ruang pemusnahan. Diistilahkan, sudah jatuh tertimpa tangga pula.

Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Sulawesi Tenggara (Sultra) Bidang Manajemen Intern dan Sistem Pembayaran, LM Bahtiar Zaadi
LM Bahtiar Zaadi

Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Sulawesi Tenggara (Sultra) Bidang Manajemen Intern dan Sistem Pembayaran LM Bahtiar Zaadi mengungkapkan, Bank Indonesia khususnya di Sultra hampir setiap hari memusnahkan uang tidak layak edar (lusuh dan rusak).

Hingga Oktober 2017 saja, BI Sultra telah memusnahkan uang tidak layak edar sebanyak Rp996 miliar. Jika dibandingkan tahun lalu, jumlah pemusnahan uang tidak layak edar mencapai Rp1 triliun. Terjadi peningkatan setiap tahunnya, seiring dengan peningkatan jumlah outflow dan inflow yang ada di Sultra.

Bank Indonesia tidak serta merta langsung melakukan pemusnahan. Uang terlebih dahulu melalui tahapan seleksi layaknya audisi pemilihan orang berbakat. Setelah melewati jutaan tangan manusia, uang berpindah ke perbankan.

Perbankan kemudian menyeleksi untuk mencari yang benar-benar lusuh dan masih bisa beredar. Setelah itu, perbankan menyetorkan ke Bank Indonesia. Nah, setelah berada di Bank Indonesia, uang masih perlu diseleksi lagi. Usai melalui tahapan seleksi akhir barulah uang masuk ke dalam ruangan pemusnahan.

Bahtiar membeberkan, sampai saat ini jumlah terbesar uang yang cepat lusuh dan rusak adalah pecahan kecil Rp1.000, Rp2.000, Rp5.000, Rp10.000, dan Rp20.000. Sebab, dalam keseharian masyarakat intensitas menggunakan nominal kecil. Sehingga itulah yang mempengaruhi kualitas dan mempercepat kelusuhan jika tidak diperlakukan dengan baik.

BACA JUGA :  Hakim Perempuan di PN Andoolo Ungkap Keresahan, dari Minim Fasilitas hingga Rentan Intervensi

“Bagaimana perlakuan masyarakat antara dua jenis uang misal Rp1.000 dengan Rp100.000. Uang Rp100.000 disimpan di dompet betul-betul dijaga, giliran uang kecil Rp1.000 atau Rp2.000 karena sudah lusuh saat diterima, tambah lagi tidak dipedulikan. Malah dipisahkan dari dompet,” tutur Bahtiar saat ditemui di ruang kerjanya akhir bulan lalu.

Bank Indonesia mengedarkan uang rupiah dengan kualitas terbaik. Seberapa lama uang itu bisa bertahan, tergantung bagaimana masyarakat memperlakukannya. Setiap kali uang berpindah tangan pada saat melakukan transaksi, perlakuan yang diberikan pemegangnya berbeda-beda. Mestinya, masyarakat harus benar-benar menjaga dan memperhatikan uang rupiah. Bukan hanya karena nilainya yang dianggap bernilai, tetapi karena uang rupiah sudah menjadi simbol kedaulatan negara.

Bank Indonesia tak hanya memusnahkan uang, mereka pun harus mengganti uang tersebut dengan uang yang baru dan layak edar. Tak tanggung-tanggung, Bank Sentral ini membutuhkan anggaran Rp3 triliun setiap tahun untuk membiayai pencetakan uang.

Biayanya pun bisa semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah uang yang dibutuhkan dalam setahun oleh masyarakat. Terlebih jika pertumbuhan ekonomi terus membaik, banyak terbuka lapangan pekerjaan, secara otomatis Bank Indonesia akan menambah jumlah uang yang beredar.

Namun, dengan semakin jarangnya Bank Indonesia mencetak uang untuk menggantikan uang yang rusak, maka biaya yang dibutuhkan akan berkurang. Apalagi jika didukung dengan kesadaran masyarakat. Secara otomatis biaya untuk pencetakan uang bisa ditekan walaupun nilainya tidak signifikan. Di sisi lain dengan meningkatkan transaksi non tunai, diharapkan juga akan mengurangi biaya pencetakan dan jumlah uang yang tidak layak edar.

Kepala Departemen Pengelolaan Keuangan Bank Indonesia Suhaedi
Suhaedi

Kepala Departemen Pengelolaan Keuangan Bank Indonesia Suhaedi mengatakan, uang menjadi simbol kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sehingga selayaknya mendapat perlakuan yang baik dari masyarakat. Mata uang rupiah yang kadangkala juga disebut dengan istilah mata uang garuda menjadi satu-satunya alat transaksi yang sah, baik tunai maupun non tunai bagi penduduk dan bukan penduduk yang berada di wilayah NKRI.

“Itulah yang perlu kita tanamkan dalam diri kita, keluarga dan masyarakat ,” ujarnya saat memberikan materi dalam pelatihan wartawan daerah Bank Indonesia di Jakarta, akhir November 2017.

Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) Ririn Kadariyah menambahkan jika memiliki mata uang sendiri sangat penting. Menurut wanita berhijab itu, uang mesti mendapatkan penghargaan dari masyarakat. Demikian pula penghormatan. Dalam artian, masyarakat mampu merawat dan memperlakukan dengan baik. Bukan semata-mata nilainya, tetapi uang itu sendiri. Sebab, mata uang menjadi salah satu simbol kedaulatan negara.

BACA JUGA :  Disabilitas Netra dan Pemilu: Antara Keinginan dan Keraguan Memilih

“Coba kalau kita membandingkan dengan Dolar Amerika, saat membeli dengan uang tersebut itu rapi-rapi tidak ada bekas lipatan,” ucapnya saat media gathering di Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan Sultra.

Nah, sementara dalam menyimpan uang Rupiah, kesadaran masyarakat Indonesia itu masih sangat rendah. Berbanding terbalik, dengan penduduk negara maju seperti Jepang dan Amerika yang memiliki kesadaran tinggi dalam memperlakukan uang.

Demi menyadarkan masyarakat untuk merawat uang rupiah, Bank Indonesia pun selalu gencar melakukan sosialisasi cara memperlakukan uang. Selain menyosialisasikan cara mengenali ciri keaslian uang Rupiah tentunya. Karena, seperti halnya simbol negara yang lain, uang Rupiah tidak seharusnya mendapatkan perlakuan yang tidak selayaknya.

Sejarah Singkat Uang

Masyarakat terdahulu (1945 ke bawah) tak lantas bertransaksi dengan memakai uang rupiah. Saat itu, uang Jepang dan De Javache Bank lah yang berjaya. Kemudian setelah merdeka, barulah pemerintah Indonesia secara resmi memutuskan untuk memberlakuan Oeang Republik Indonesia (ORI).

Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara (DJPBN) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) Ririn Kadariyah
Ririn Kadariyah

Tepatnya, 30 Oktober 1946 Indonesia pertama kali memiliki mata uangnya sendiri. Tak berhenti sampai di situ, Bank Sentral terus merilis seri baru dari uang. Seiring berkembangnya zaman, uang pun dari masa ke masa selalu berganti tampilan. Baik berupa pecahan logam maupun pecahan kertas.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang menjelaskan bahwa dalam memperlakukan uang rupiah yang merupakan simbol kedaulatan negara harus dengan sebaik-baiknya.

Di dalam undang-undang juga menjelaskan Bank Indonesia sebagai bank sentral harus menyiapkan uang layak edar bagi masyarakat dan mengedarkan ke seluruh pelosok negeri.

Maka tak seharusnya masyarakat Indonesia, khususnya Sultra untuk tidak memperlakukan dan merawat uang dengan selayaknya. Masyarakat pun harus mengetahui bahwa uang yang masih berlaku dan beredar saat ini adalah pecahan logam Rp100, Rp200, Rp500, Rp1.000. Sementara pecahan kertas Rp1.000, Rp2.000, Rp5.000, Rp10.000, Rp20.000, Rp50.000, dan Rp100.000. Olehnya itu, tak ada lagi alasan masyarakat untuk menolak bertansaksi dengan nominal terkecil sekali pun. (A)

 

Penulis: Sitti Nurmalasari
Editor: Jumriati

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini