Alat Tangkap Benih Lobster Milik Nelayan di Moramo Konsel Dimusnahkan

511
Stasiun KIPM Kendari: Benih Lobster Tak Boleh Ditangkap
PEMUSNAHAN - Suasana pemusnahan alat tangkap lobster tradisional milik nelayan di Desa Ranooha Raya, Kecamtan Moramo, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Senin (15/7/2019). (ILHAM SURAHMIN/ZONASULTRA.COM)

ZONASULTRA.COM, KENDARI – Puluhan alat tangkap tradisional benih lobster (BL) sapu-sapu atau poco-poco milik nelayan di Desa Ranooha Raya, Kecamatan Moramo, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara (Sultra) dimusnahkan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum, Senin (15/7/2019). Pemusnahan ini dilakukan dalam acara sosialisasi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Nomor 56 tahun 2016.

Kepala Stasiun Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu (KIPM) Kendari Amdali Adhitama mengatakan, alat tangkap yang digunakan masyarakat ini dinilai tidak ramah lingkungan, serta aktivitas penangkapan BL yang dilakukan para nelayan tersebut melanggar aturan dan dapat disanksi hukum.

“Hari ini, teman-teman nelayan dengan sukarela menyetorkan alat tangkapnya untuk dimusnahkan meski hanya secara simbolis, tapi mereka sudah komit berhenti melakukan aktivitas tersebut,” ungkap Amdali.

Baca Juga : Stasiun KIPM Kendari: Benih Lobster Tak Boleh Ditangkap

Melalui kegiatan ini, Stasiun KIPM pun memberikan bantuan alat tangkap ramah lingkungan sejenis pukat kepada para nelayan untuk menangkap udang. Ini salah satu solusi yang diberikan pascalarangan penangkapan BL atau lobster di bawah bobot 200 gram dan kondisi bertelur oleh pemerintah.

BACA JUGA :  7 Keunggulan MacBook Air yang Membuatnya Jadi Pilihan Utama

“Ini bisa digunakan oleh nelayan di sini untuk menangkap udang. Jadi aktivitas penangkaran BL bisa berkurang,” tukasnya.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Konsel Irwan Hasanuddin Silondae menjelaskan, jenis alat tangkap BL yang selama ini digunakan nelayan di Ranooha Raya dan Desa Landipo terbuat dari kulit semen yang dilipat bersama jaring dan diikat pada batang kayu. Kemudian dimasukkan ke dalam air laut yang nantinya BL tersebut akan melekat pada alat tersebut.

Menurut Irwan, satu batang alat tangkap BL itu bisa dihargai sekitar Rp200 hingga Rp300 ribu, padahal apabila BL tersebut dibiarkan berkembang biak hingga dijual sesuai ketentuan harganya bisa lebih mahal hingga jutaan rupiah.

“Di sinikan namanya ada Teluk Staring potensi lobsternya besar dan ada tiga jenis namun jenis mutiara dan bambu paling sering dicari, apalagi tawaran harganya cukup besar, jadi tergiur mereka,” ungkap Irwan.

BACA JUGA :  Indosat membukukan pendapatan sebesar Rp51,2 triliun di tahun 2023

Salah seorang nelayan di Desa Ranooha Raya Tayan mengatakan, dirinya tidak merasa dirugikan jika alat tangkap tersebut dimusnahkan. Namun ia meminta agar aparat penegak hukum harus tegas dan tidak pandang bulu memberikan sanksi kepada siapa saja yang terbukti melanggar.

Baca Juga : Hasil Laboratorium BKIPM, Ikan di Kendari Masih Aman Konsumsi

“Saya mendukung pak, tapi kalau penegak hukum tidak adil kita juga dirugikan. Makanya kami masih berani karena ada yang datang beli di kampung ada,” jelasnya.

Ia juga menyebutkan musim pengambilan BL setiap tahun itu mulai dilakukan nelayan atau pengumpul pada bulan April hingga Oktober.

Pada 12 Juni 2019 lalu, Stasiun KIPM Kendari menangkap salah satu pelaku penyelundupan BL melalui Bandara Haluoleo Kendari sebanyak 2.618 ekor jenis mutiara dan bambu. Saat ini pelaku sudah ditahan di Lapas Perempuan Kelas III di Baruga.

Untuk diketahui, kegiatan ini merupakan rangkaian dari perayaan Bulan Bakti BKIPM tahun 2019. (b)

 


Reporter: Ilham Surahmin
Editor: Jumriati

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini