Anaka Alay Perusak Agama dan Generasi

140
Risnawati
Risnawati

OPINI : Akhir-akhir ini, pelecehan terhadap simbol-simbol Islam makin marak dan makin sering terjadi, mulai dari sandal bercorak lafal Allah/Muhammad, sajadah untuk menari, terompet dari cover al-Quran, cetakan kue berlafalkan ayat-ayat al-Quran, bungkus petasan berlafalkan ayat-ayat al-Quran, celana ketat bermotif kaligrafi surat al-ikhlas dan lain-lain, menggelitik pikiran kita.

Risnawati
Risnawati

Astagfirullahual adzim, pelecehan terhadap Islam di Nusantara nampaknya tak ada habisnya. Belum selesai satu kasus, datang lagi kasus yang lain. kelakuan sekelompok anak baru gede (ABG) ini sungguh sangat tidak terpuji. Seperti dilansir dalam Jurnalmuslim.com – Satu lagi fenomena pelecehan Islam di Indonesia yang kian tak terbendung. Kali ini terjadi di Lampung, seorang facebooker bernama Rudi Hartanto memposting 12 foto tentang 5 orang remaja yang diketahui juga berasal dari Metro, Lampung, tengah melecehkan beberapa Syariat Islam di sebuah Masjid.

Bagaimana tidak, sholat yang merupakan ibadah sakral umat Islam yang semestinya dilakukan dengan mengikuti rukun sholat justru dibuat main-main oleh sekelompok ABG di Kota Bengkulu ini. Terlihat sekelompok anak-anak menggelar shalat di tengah jalan raya dan tidak dengan pakaian semestinya, bahkan bisa dibilang tidak sopan. Mereka melakukan sholat dengan menggunakan celana jeans robek sehingga lulut mereka bersentuhan langsung dengan aspal, bersepatu, bahkan dua diantara mereka ada yang tidak menggenakan baju. Parahnya lagi, ditengah-tengah sholat tersebut mereka tampak tertawa.

Mengapa hal ini terus terjadi? Apa akar penyebabnya? Mengapa tak ada sanksi yang tegas bagi pelakunya? Bisakah kita berharap pada rezim dan sistem saat ini untuk melindungi kemuliaan Islam? Bagaimana sebetulnya pandangan Islam terhadap perkara ini? Menurut Islam, sanksi apa yang harus diberlakukan terhadap para penghina Islam? Bagaimana pula cara Khilafah untuk mencegah agar tidak terjadi penghinaan Islam, apalagi sampai terus berulang?

Alay menjadi fenomena persoalan generasi yang semakin mengkhawatirkan. Bukan hanya aktivitas sia-sia yang dianggap lelucon sebatas pengeksisan diri (trend selfie yang kebablasan, genk pegasus, menjadi anak jalan) namun kini fenomena ini semakin bergeser pada pelecehan agama. Ini adalah puncak usaha mereka untuk mendapatkan perhatian. Karena agama yang paling disakralkan pun sudah berani mereka lecehkan.

Pelecehan ini sengaja dilakukan untuk melakukan ‘test in the water’. Bagaimana kira-kira, apakah umat Islam diam saja, atau bereaksi. Ini juga terjadi karena Islam tidak ada yang menjaga, karena umat Islam tidak mempunyai negara. Negara yang ada juga bukan didedikasikan untuk menjaga Islam dan umatnya. Bahkan, yang kita sayangkan, sering negara justru menjadi kepanjangan tangan penjajah untuk merusak Islam dan umatnya.

Sistem saat ini menjadikan umat islam terlihat hina hingga akhirnya benar-benar jadi sasaran penghinaan. Penghinaan bukan saja terhadap umatnya, namun juga Islamnya. Ide sekularisme yang dianut negara telah menggusur sebagian besar hukum syariah Islam. Padahal syariah Allah inilah rahasia kemuliaan umat Islam, bahkan rahasia kebaikan umat manusia, Muslim maupun non-Muslim.

Walhasil Islam akan terus terhina, karena Islam tidak mempunyai penjaga. Umat Islam saat ini tidak mempunyai negara yang didedikasikan untuk menjaga Islam dan umatnya. Inilah yang menjadi alasan, mengapa orang-orang kafir melecehkan Islam dan umatnya. Kita membayangkan, saat Khilafah, yang merupakan negara umat Islam ini sudah lemah saja, negara-negara Barat tidak berani macam-macam terhadap simbol Islam. Apalagi kalau Khilafah kaum Muslim itu kuat. Masalahnya, Khilafah ini sekarang tidak ada.

Akibat nyata yang bisa kita saksikan juga berkembangnya kebodohan dan pengabaian manusia akan agama; tidak tahu hak-hak Allah dan hak-hak manusia yang lainnya. Negara menganggap urusan keberislaman sebagai urusan individu; mau belajar tidak dilarang, mau tidak belajar juga tidak masalah. Mau shalat atau tidak juga tidak dipermasalahkan. Masalah memakai helm bagi pengendara motor dianggap ‘lebih penting’ untuk diperhatikan daripada mereka bisa membaca al-Quran atau tidak. Wajar jika lembaran al-Quran dijadikan terompet, karena bisa jadi pembuatnya tidak bisa membacanya, dia kira tulisan al-Quran tersebut hanyalah ukiran yang akan mempercantik terompet yang dia buat; atau bisa jadi dia bisa membacanya namun tidak tahu kalau itu al-Quran, atau tidak tahu kalau perbuatan yang dia lakukan itu tercela.

Begitupun, tidak ada sanksi tegas yang membuat jera pelaku penghinaan. Penghinaan ibarat virus penyakit, jika tidak diobati, atau obatnya tidak mujarab, maka virus tersebut akan berkembang. Hukum yang dipakai dalam sistem sekular saat ini tidak mampu mengobati virus seperti ini. Bahkan virus penghinaan tidak akan dianggap mengganggu jika masyarakat tidak ‘menggeliat-geliat’ protes. maupun yang terjadi akhir-akhir ini, sama sekali tidak memberikan efek jera kepada mereka; tidak juga memberikan pelajaran kepada yang lain agar tidak terjangkit virus yang sama.

Persoalan ini baru akan tuntas jika akar masalah, yakni sekularisme, dicabut dan dicampakkan dari kehidupan; kemudian ditegakkan sistem yang menjalankan seluruh aturan Allah SWT, yaitu sistem Khilafah. Khilafah akan menghilangkan masalah penghinaan terhadap Islam ini dari hal yang paling mendasar: kebodohan akan agama dan kedengkian.

Khilafah akan menjadikan Islam sebagai asas pendidikan. Akidah dan syariah Islam menjadi menu pertama dan utama dalam kurikulum pendidikan.

Ilmu pengetahuan yang sifatnya umum harus dikembangkan dalam kerangka menciptakan manusia yang hanya takut kepada Allah SWT semata. Dengan itu setiap dimensi kebenaran dapat ditegakkan terhadap siapapun tanpa pandang bulu.

Tidak ada perbedaan pendapat di antara ‘ulama bahwa hukuman bagi penghina Islam adalah hukuman mati jika dia tidak mau bertobat. Jika dia bertobat, gugurlah hukuman mati atas dirinya, hanya saja negara tetap memberikan ‘pelajaran’ kepada dia sesuai dengan ketetapan Khalifah, dengan memperhatikan tingkat penghinaannya. Ash-Shaidalâni (w. 427H), ‘ulama dari kalangan Syafiiyah, menyatakan bahwa pencaci Allah dan Rasul-Nya, jika bertobat, tobatnya diterima, tidak dihukum mati, namun tetap diberi ‘pelajaran’ dengan dicambuk 80 kali (Mughni al-Muhtâj, 5/438).

Dengan hukuman yang tegas, orang yang berpenyakit kedengkian dalam hatinya tidak akan sempat menularkan penyakitnya kepada orang lain.

Penghinaan terhadap Islam sebenarnya hanyalah ‘efek samping’ dari sistem yang berlaku di negara sekular. Bahkan sistem sekular merupakan ‘penghinaan’ yang lebih besar, yang melahirkan penghinaan-penghinaan lain. Sudah saatnya umat mencampakkan sekularisme bersama perangkat aturan-aturan yang menentang aturan Allah SWT. Wallahu a’lam.

 

 

Penulis : Risnawati, STP

Penulis merupakan Staf Dinas Pertanian & Aktivis MHTI Kolaka

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini