Ancaman Krisis Ekonomi Masa Pandemi

700
Handayani Jaka Saputra
Handayani Jaka Saputra

Tahun 2020 ini dapat dipastikan akan merupakan tahun yang penuh tantangan dan ujian kita semua, baik pemerintah maupun masyarakat seluruh Indonesia. Kita saat ini sedang di puncak gelombang ancaman krisis ekonomi terberat sejak tahun 1998 pada masa Orba yang pernah terjadi karena dampak ekonomi. Mendominasi pikiran para pengelola kebijakan ekonomi dan para pelaku ekonomi di semua sektor yang terdampak pandemi Covid-19 ini adalah bagaimana kita bisa melewati masa sulit ini dengan selamat. Kita semua sekarang berada pada survival mode.

Bagi kebanyakan dari kita di Indonesia, ancaman yang menandai krisis ekonomi Indonesia adalah karena tidak berjalankan secara optimal 9 (sembilan) sektor ekonomi yaitu: Pertambangan, Perminyakan, Industri, Peternakan, Perikanan, Perkebunan, Transportasi Barang, dan Logistik, sehingga mengalami kesulitan keuangan yang berdampak pada roda perekonomian yang berjalanan lambat. Hal ini juga berdampak pada sektor properti yang aset-asetnya yang terkait kredit perumahan terutama yang berkualitas sub-standar atau subprime mortgages mulai macet.

Bila dicermati kembali terkait permasalahan pandemi ini pada sisi ekonomi, ternyata peristiwa itu hanya pucuk dari sebuah kesalahan data dari pemerintah pusat maupun daerah yang tak mengambil tindakan yang agresif untuk mengantisipasi dalam menghadapi pandemi ini seperti yang dilakukan oleh negara-negara lain yang selain mempersiakan dampak kesehatan mereka juga mempersiapkan dampak ekonomi negara, Selanjutnya terjadilah eskalasi yang cepat terutama terjadi di kota-kota besar yang sangat signifikan.

Imbas krisis makin luas dan makin dalam. Apa yang berawal sebagai krisis kredit perumahan, kredit kendaraan, kredit peralatan rumah tangga Dll dalam beberapa bulan berkembang menjadi krisis kredit berskala global. Dimana-mana persepsi risiko pelaku ekonomi meningkat tajam. Aliran kredit untuk kegiatan normal terganggu karena tidak adanya perputar perekonomian. Terlebih setelah dikeluarkan peraturan PSBB (pembatasan sosial berskala besar) penyandang dana lebih suka menyimpan dananya dalam cash atau emas daripada memberikan pinjaman. Bank dan lembaga keuangan di berbagai negara mengalami distress berat dan sebagian, termasuk yang berskala global, bangkrut.

Hal yang sangat dikhawatirkan para pengelola ekonomi dan ingin dihindari almost at all cost adalah terjadinya proses spiral ke bawah antara sektor keuangan dan sektor riil – sektor keuangan yang tidak berfungsi mengakibatkan kemerosotan kegiatan sektor riil, yang kemudian makin memperburuk kinerja sektor keuangan dan kemudian makin menekan sektor riil, demikian seterusnya.

Pemerintah Indonesia dan bank sentral di melakukan hampir apa saja yang mungkin dilakukan, termasuk langkah-langkah yang sangat tidak konvensional untuk menyelamatkan keadaan perekonomian di masa pandemi ini. Untuk menghentikan proses spiral ke bawah itu, otoritas moneter telah mengguyurkan likuiditas secara besar-besaran dan hampir semua Pemerintah di dunia saat ini meluncurkan paket-paket stimulus fiscal demi mengurangi dampak perekonomi masa pandemi ini (Republika.co.id).

Untuk menyelamatkan sektor keuangannya, pemerintah Indonesia mengambil langkah-langkah intervensi, termaksud menerapkan bantual langsung tunai ke masyarakat dan bantuan desa melalui penambahan bantuan desa agar dampak pandemic ini tidak terlalu berdampak besar pada daerah-daerah perdesaan

BACA JUGA :  Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Era UU Omnibus Law

Gambaran situasi masa pandemi yang berdampak besar pada perekonomi Indonesia yang suram, tidaklah harus membuat kita pesimis. Apalagi pesimis mengenai perekonomian kita sendiri. Secara obyektif situasi dan prospek ekonomi hingga ke paling masyarakat paling bawah memang suram. Kita perlu melihat permasalahan yang kita hadapi secara obyektif dan seperti apa adanya agar kita dapat mengambil langkah-langkah yang benar-benar menjawab masalah. Kita semua perlu yakin bahwa dengan tekad bersama dan langkah-langkah terukur, kita bisa melewati masa sulit ini. Kita harus percaya diri dan optimis bahwa kita mampu dan kita akan keluar dari krisis ini dengan selamat dan bahkan nantinya muncul lebih kuat lagi.

Sementara itu, di tengah suasana yang kurang menguntungkan ini, Indonesia tidaklah pada posisi terburuk di antara negara-negara lain. Secara umum, postur makro kita, termasuk tingkat pertumbuhan ekonomi tidak terlalu jelek. Industri perbankan kita juga cukup mantap, jika dilihat dari data Kementrian Keuangan dan OJK (Otoritas Jasa Keuagan) sebagai lembaga pengawasan independent.

Kita melihat bagaimana negara-negara maju all out mengambil segala langkah untuk menormalkan kembali suplai dan aliran kredit di negara mereka masing-masing untuk menghentikan kemerosotan kegiatan ekonomi yang makin memburuk. Apabila aliran kredit di negara-negara tersebut kembali normal, aliran dana ke negara-negara berkembang, dengan tenggat waktu, akan berangsur-angsur kembali normal pula. Indonesia perlu memposisikan diri mulai dari sekarang di antara negara-negara berkembang lain agar pasca masa pandemi ini, kita menjadi negara pertama yang dapat mengambil manfaat dari kebangkitan keuangan global. Di sini kuncinya adalah bagaimana memposisikan agar Indonesia dipandang sebagai tempat yang aman dan nyaman untuk berbisnis dan berinvestasi. Kita harus meyakinkan para investor bahwa ekonomi makro kita kelola dengan baik dan sustainable dan bahwa sektor keuangan kita, terutama perbankan kita, tetap solid. Ini pekerjaan bersama kita.

Dari data yang ditemukan oleh Penulis bahwa Beberapa bulan terakhir ini BI (Bank Indonesia) telah mengambil sejumlah langkah-langkah ke arah kebijakan seperti penurunan suku bunga kebijakan, stabilisasi nilai tukar rupiah, injeksi likuiditas dalam jumlah yang besar baik likuiditas rupiah maupun valas, mempermudah bekerjanya pasar uang dan pasar valas di domestik maupun luar negeri, relaksasi ketentuan bagi investor asing terkait lindung nilai dan posisi devisa neto, pelonggaran makroprudensial agar tersedianya pendanaan bagi eksportir, importir dan UMKM. Selanjutnya di Sistem Pembayaran, BI menjamin ketersediaan uang layak edar yang higienis, dan mendorong penggunaan pembayaran non-tunai termasuk melalui perpanjangan masa berlakunya MDR 0% untuk QRIS dari Mei menjadi September 2020, yang disepakati bersama ASPI dan PJSP.

Namun. kita harus akui bahwa langkah-langkah itu belum memecahkan seluruh masalah, terutama masalah akses bank-bank menengah dan kecil yang tidak memiliki secondary reserves yang cukup. Perluasan fasilitas bank sentral, seperti FPJP, bukan substitute sempurna bagi pasar antarbank yang berjalan baik. Bank Indonesia mengharapkan perbankan nasional secara bersama mengambil inisiatif dan peran yang lebih aktif untuk ikut mengaktifkan kembali pasar antarbank di dalam negeri.

BACA JUGA :  Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Era UU Omnibus Law

Sementara itu dalam dua kuartal terakhir ini kita melihat bagaimana di semua negara, Indonesia tak terkecuali, krisis keuangan global mulai menggerus kegiatan ekonomi pada umumnya. Tahap ini adalah tahap yang berbahaya. Harus diambil langkah-langkah yang “forceful” dan efektif untuk menghentikannya. Pengalaman negara-negara di masa lalu menunjukkan bahwa krisis keuangan struktural seperti yang terjadi sekarang ini akan mempunyai dampak panjang terhadap sektor riil. Pertumbuhan ekonomi yang lemah akan berlanjut untuk beberapa waktu meskipun kondisi likuiditas nantinya sudah kembali normal. Di sini kita perlu mempunyai strategi dengan sasaran yang jelas. Ada 3 (tiga) sasaran yang harus dicapai secara terkoordinir, yaitu: (1) melewati masa keketatan kredit global dengan selamat, (2) menjaga agar kegiatan ekonomi nasional tidak terlalu merosot dalam jangka pendek dan (3) mempersiapkan kondisi agar setelah itu perekonomian Indonesia kembali pada jalur pertumbuhan ekonominya yang berkelanjutan.

Stimulus fiskal merupakan langkah kunci untuk menangkal kemerosotan kegiatan ekonomi dalam jangka pendek. Rencana stimulus fiskal Pemerintah untuk Tahun 2020 dan percepatan pelaksanaan APBN 2020 sangat diperlukan dan harus berhasil menggunakan anggaran secara efektif dan efisien. Namun kita juga diingatkan oleh Ben Bernanke bahwa untuk melepaskan diri dari belenggu krisis, stimulus fiskal harus dibarengi dengan perbaikan dan penguatan sektor keuangan. Stimulus fiskal pada hakekatnya berfungsi sebagai pemancing pump priming. Ia tidak akan menghasilkan kebangkitan ekonomi yang berlanjut apabila tidak dibarengi dengan kebangkitan kembali kegiatan sektor swasta menegah atau dunia usaha kecil. Dan kebangkitan kembali sektor swasta hanya akan terjadi apabila didukung oleh sektor keuangan yang berfungsi kembali secara penuh. Oleh karena itu, langkah-langkah pembenahan dan penguatan sektor keuangan harus dilakukan seiring dengan stimulus fiskal. Di negara kita, perbankan masih merupakan sumber pembiayaan andalan bagi kegiatan dunia usaha, dan oleh karenanya pembenahan dan penguatannya merupakan prioritas dan harus terus menerus kita lakukan. Dalam batas-batas kewenangan dan kapasitasnya. Bagi negara maju yang baru ditetapkan seperti Indonesia, ada satu tambahan satu elemen pada resep Bernanke, yaitu bahwa kita juga perlu melaksanakan reformasi struktural untuk mengurangi hambatan-hambatan kegiatan usaha agar lebih mengembangkan perekonomian bagi rakyat menegah kebawah.

Penutup

Bahtera ekonomi nasional kita sedang mengarungi lautan yang dilanda badai. Bahtera itu sendiri cukup kuat, lebih kuat daripada bahtera yang kita naiki Tahun 1998 lalu. Tetapi badainya sekarang pun lebih besar. Kita pasti bisa melewatinya dengan selamat. Kuncinya adalah seluruh awak kapal dan penumpang kompak, saling membuka diri bekerja sama, bahu membahu didasarkan atas saling kepercayaan. Semua itu adalah tekad kita bersama. Jika tidak, alternatifnya terlalu mahal bagi bangsa kita, seperti yang pernah kita alami dua puluh satu tahun lalu.

 

Oleh : Handayani Jaka Saputra
Penulis merupakan Alumni Pascasarjana Akuntansi UGM

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini