Asimilasi Bahar bin Smith

493
Muhammad Takdir Al Mubaraq, S.H
Muhammad Takdir Al Mubaraq, S.H

Bahar bin Smith merupakan seorang ulama dan pendakwah Indonesia yang berasal dari Manado, Sulawesi Utara. Ia merupakan pendiri Pondok Pesantren Tajul Alawiyyin di Kemang Bogor juga merupakan pemimpin dan pendiri Majelis Pembela Rasulullah yang berkantor pusat di Tanggerang Selatan.

Belum lama ini, Bahar bin Smith ramai diberitakan di media terkait dikeluarkannya dari Lapas melalui program asimilasi. Namun demikian, setelah 3 hari ia menghirup udara segar ia kembali dijebloskan kedalam penjara akibat melakukan kegiatan ceramah yang mengundang massa yang dilakukan di Pondok Pesantren yang didirikannya.

Sebelumnya, Bahar bin Smith mendekam didalam jeruji besi akibat video penganiayaan terhadap 2 orang santri yang dilakukannya dan ditetapkan sebagai tersangka pada 18 Maret 2018. Dalam persidangan, Bahar bin Smith dituntut 6 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum yang meyakini bahwa ia terbukti bersalah sesudai Pasal 333 ayat (2) KUHP dan/atau Pasal 170 ayat (2) dan Pasal 80 ayat (2) jo Pasal 76 Pasal C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Hingga pada vonis majelis hakim Pengadilan Negeri Bandung menjatuhkan 3 tahun penjara dan denda 50jt subsider 1 bulan kurugan.

Semangat Asimilasi

Asimilasi adalah proses pembinaan narapidana dan anak yang dilaksanakan dengan membaurkan narapidana dan anak dalam kehidupan masyarakat. Semangat program asimilasi ini tentu tidak lepas dari tujuan dasar pemidanaan dan sistem pemasyarakatan itu sendiri. Bahwa tujuan pemidanaan saat ini telah mengalami pergeseran paradigma khususnya dalam hal pemidanaan dari paradigma klasik ke paradigma modern.

Bahwa tujuan pemidanaan tidak lagi merujuk pada teori absolut yang lahir pada aliran klasik dalam hukum pidana, dimana menurut teori ini pembalasan adalah legitimasi pemidanaan yang selanjutnya dikenal dengan istilah ‘keadilan retributif’ melainkan telah bergeser lebih kepada paradigma hukum pidana modern dimana mengedepankan keadilan korektif, keadilan rehabilitatif dan keadilan restoratif. Keadilan korektif lebih menekankan kepada kesalahan pelaku yang harus dikoreksi, keadilan rehabilitatif lebih dalam rangka memperbaiki pelaku agar tidak lagi mengulangi perbuatannya dimasa mendatang sedangkan keadilan restoratif lebih menitik beratkan pada pemulihan korban kejahatan.

Disisi lain sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat (restitutio in integrum), dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggungjawab. Perubahan konsep pemidanaan inilah dari penjeraan menjadi pembinaan telah memunculkan alternatif sistem pembinaan yang berorientasi ke masyarakat.

Di Indonesia, semangat itu kemudian diejawantahkan kedalam berbagai norma peraturan sebagai turunan semangat dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakat yakni Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 18 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Permenkumham Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti

Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat dan yang terbaru adalah Permenkumham Nomor 10
Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi Bagi Narapidana dan
Anak Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.

Pemberian dan Pencabutan Asimilasi

Pada dasarnya asimilasi merupakan hak dasar yang melekat pada setiap narapidana, hal ini dinyatakan secara tegas didalam Pasal 14 huruf j Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Namun demikian, dalam pelaksanaannya pemberian asimilasi tidak dapat diberikan kepada semua narapidana melainkan hanya kepada mereka yang telah memenuhi persyaratan yang ditentukan.

Setidaknya ada 3 syarat dapat diberikan asimilasi kepada narapidana merujuk pada Pasal 2
ayat (2) jo Pasal 4 Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020 yakni : Pertama, berkelakuan baik dibuktikan dengan tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 bulan terakhir. Kedua, aktif mengikuti program pembinaan dengan baik. Ketiga, telah menjalani seperdua masa pidana.

Maka bila dihubungkan dengan kasus Bahar bin Smith yang telah mendapatkan asimilisi
pada 16 Mei 2020 lalu dapat dikatakan telah memenuhi ketiga syarat tersebut, secara a
contrario tanpa memenuhi ketiga syarat tersebut ia tidak dapat menerima asimilasi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa selama menjalani masa pemidanaan di Lapas Bahar bin Smith menunjukan dan membuktikan adanya sikap yang baik serta aktif mengikuti programprogram pembinaan selama masa pemidanaan.

Berkaitan dengan pencabutan asimilisi, Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020 tidak
mengatur hal tersebut. Oleh karena Permenkumham a quo berlaku secara limitatif sampai
dengan masa kedaruratan terhadap penanggulangan Covid-19 hal ini dinyatakan secara
eksplisit didalam Pasal 23 ayat (2) Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020. Dengan
demikian, berkaitan dengan Pencabutan Asimilasi perlu merujuk pada Permenkumham
Nomor 3 Tahun 2018.

Dalam Pasal 136 ayat (2) Permenkumham Nomor 3 Tahun 2018 kiranya ada 8 dasar dilakukannya pencabutan asimilasi oleh Direktur Jendral atas nama Menteri yakni : Pertama, melakukan pelanggaran tata tertib didalam Lapas dan dicatat dalam buku register F. Kedua, tidak melaksanakan program asimilasi sebagaimana mestinya. Ketiga, melakukan pelanggaran hukum. Keempat, terindikasi melakukan pengulangan tindak pidana. Kelima, menimbulkan keresahan masyarakat. Keenam, pulang kerumah atau tempat lain yang merupakan tempat tinggal keluarga atau saudara. Ketujuh, berpergian ke tempat lain yang tidak ada hubungannya dengan kegiatan asimilasi. Kedepalan, menerima kunjungan keluarga di tempat menjalankan asimilasi. Dasar pencabutan asimilasi ini bersifat kumulatif-alternatif, artinya seseorang dapat segera dicabut asimilasi yang diberikan kepadanya jika melakukan salah satu perbuatan tersebut atau melakukan lebih dari satu perbuatan sebagaimana dimaksudkan.

Berkaitan dengan kasus Bahar bin Smith, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
Pertama, Bahar bin Smith melakukan kegiatan ceramah dengan mengumpulan atau
mengundang massa ditengah pandemi Covid-19. Kedua, dilakukan tanpa menjalankan
protokol kesehatan yaitu Physical Distancing. Ketiga, daerah pelaksanaan kegiatan ceramah oleh Bahar bin Smith terjadi di Bogor, dimana Bogor merupakan salah satu daerah yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai daerah dengan Penetapan Status Berskala Besar (PSBB).

Dengan demikian, perbuatan mengumpulkan atau menggundang massa ditengah PSBB
adalah perbuatan yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan
sebagaimana dimaksudkan didalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018
tentang Karantina Kesehatan dimana setiap orang yang tidak mematuhi tersebut adalah tindak pidana menurut Pasal 93 bahwa “setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan karantina kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat 1 dan/atau menghalanghalangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sehingga menyebabkan kesehatan masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak 100jt”.

Oleh karena itu, bila dihubungkan kasus Bahar bin Smith dengan dasar pencabutan asimilasi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 136 ayat (2) Peremenkumham Nomor 3 Tahun 2018 adalah pada point ketiga yaitu melakukan pelanggaran hukum. Disisi lain, akibat yang ditimbulkan juga membuat menimbulkan keresahan masyarakat ditengah pandemi Covid-19. Dimana menimbulkan keresahan masyarakat ini pun merupakan salah satu dasar pencabutan asimilasi pada point lima. Dengan demikian, karena ketentuan Pasal 136 ayat (2) bersifat kumulatif-alternatif maka berdasarkan hal tersebut telah dianggap cukup memenuhi syarat pencabutan asimilasi terhadap Bahar bin Smith.

Sistem Pemasyarakatan di Masa Depan

Dengan adanya pemberian asimilasi di Indonesia menunjukkan sebuah perkembangan dalam sistem pemasyarakatan nasional. Mengubah model pembinaan dari Lapas Tertutup yang dibatasi oleh tembok kepenjaraan serta pengawasan yang tinggi, mengarah kepada Lapas Terbuka yang merupakan suatu sistem pembinaan dengan minimum security. Hal ini
dimaksudkan dalam rangka menciptakan kesiapan narapidana kembali ke tengah masyarakat (reintegrasi).

Model pembinaan di Lapas Terbuka merupakan pilihan alternatif yang paling memungkinkan untuk mengurangi overcrawded di Indonesia. Melihat data pada smslap.ditjenpas dari 33 Rutan dan Lapas yang ada di Indonesia, hanya ada 9 wilayah yang tidak mengalami overcrawded yakni wilayah Yogyakarta, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, Papua, Papua Barat, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Utara selebihnya mengalami overcrawded bahkan melebihi dari 20%. Dengan adanya overcrawded ini tentu memiliki dampak yang cukup signifikan diantaranya berdampak pada rendahnya pemenuhan hak-hak tahanan dan narapidana, pengelolaan Rutan dan Lapas seperti sipir kewalahan dalam melaksanakan tugasnya karena beban kerja yang tidak sesuai dengan kapasitas, juga dapat menyebabkan anggaran negara untuk pembiayaan rutan dan lapas membengkak.

Berdasarkan data tersebut di atas, maka perlu dilakukan perubahan secara menyeluruh dalam sistem peradilan pidana kita agar dapat mengurangi jumlah penghuni Rutan dan Lapas di Indonesia. Meskipun pemberian asimilasi dalam pelaksanaannya belum maksimal dan masih memiliki kekurangan dan juga keberadaannya memungkinkan belum diketahui oleh para narapidana akan tetapi dengan pemberian asimilasi pembinaan di Lapas Terbuka kepada narapidana merupakan salah satu hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi populasi penghuni Lapas di Indonesia.

Catatan Overcrawded

Catatan Penulis sendiri dalam upaya melakukan reformasi sistem pemasyarakatan dimasa
mendatang ada beberapa hal : Pertama, adanya politik dekriminalisasi yang signifikan dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Merujuk banyaknya perbuatan yang dapat dikenakan penahanan dan dipidana dengan penjara dapat menyumbang adanya overcrowded, sehingga orientasi ini mengharuskan adanya upaya untuk mengatur kembali berbagai perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman penjara baik yang telah dituang di KUHP maupun di berbagai peraturan perundang undangan yang didalamnya memuat ketentuan hukum pidana diluar KUHP.

Kedua, adanya re-orientasi sistem peradilan pidana diarahkan untuk memastikan hukum
acara pidana memungkinkan adanya proses-proses penyelesaian perkara diluar pengadilan. Re-orientasi yang disertai dengan perubahan undang-undang hukum acara pidana ini akan memberikan ruang bagi aparat penegak hukum menggunakan berbagai pendekatan dalam penanganan perkara dan mengubah paradigma penegak hukum untuk secara mudah melakukan penahanan atau memberikan hukuman penjara.

Ketiga, reformasi hukum acara pidana ini juga secara khusus misalnya terkait dengan
reformulasi ketentuan mengenai penahanan pra-persidangan sebagai penyebab terjadinya
overcrowded. Pengaturan pra-persidangan di KUHAP yang lemah memberikan kewenangan
yang begitu besar bagi aparat penegak hukum, yaitu berkaitan dengan syarat necesitas
penahanan yang menjadi diskresi penuh penegak hukum. Keadaan ini diperburuk dengan
absennya mekanisme yang dapat memeriksa dan menguji apakah syarat penahanan telah
dipenuhi oleh aparat penegak hukum. Meskipun KUHAP memungkinkan adanya alternatif
penahanan, yaitu tahanan rumah, tahanan kota dan penangguhan penahanan, namun tidak mengatur mekanisme yang akuntabel mengenai bagaimana alternatif penahanan harus dilakukan. Akibat alternatif penahanan pun menjadi diskresi penyidik.

Keempat, reformasi yang penting dilakukan adalah menegaskan kembali fungsi lembaga
pemasyarakatan sebagai upaya pembinaan bagi narapidana. Sistem pemasyarakatan yang ada memberikan ruang terhadap pembinaan baik didalam Lapas maupun diluar Lapas, tujuan dari pembinaan yang dilakukan di luar Lapas salah satunya adalah mempersiapkan seorang narapidana untuk mampu beradaptasi dengan masyarakat setelah dirinya benar-benar bebas. Dalam konteks ini perlu ada penguatan regulasi untuk memaksimalkan orientasi pembinaan kepada warga binaan pemasyarakatan, misalnya dengan melakukan perubahan Undang- Undang Nomor 12 tentang Pemasyarakatan.

Kelima, mengefektifkan kebijakan pemidanaan non-penjara. Dalam tataran praktis, berbagai kebijakan pemidanaan non-penjara telah ditempuh perlu ditingkatkan efektivitasnya. Pendekatan restorative justice berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak telah memungkinkan adanya proses-proses penyelesaian perkara pidana yang dilakukan oleh anak-anak dilakukan diluar pengadilan atau anak terhindar dari hukuman penjara. Dengan demikian, mekanisme ini perlu dikembangkan sehingga benar-benar mencapai tujuan penggunaan mekanisme restorative justice atau memaksimalkan penggunaan diversi.

 

Oleh : Muhammad Takdir Al Mubaraq, S.H
Penulis merupakan Mantan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Halu Oleo

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini