Bayang-bayang Teror dan Wajah Kemajemukan Indonesia

399
Dasmin Ekeng
Dasmin Ekeng

Kemajemukan yang melekat pada struktur kultural ke-Indonesiaan menjadi sebuah keniscayaan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada optimisme ini, masyarakat Indonesia memandang perbedaan adalah suatu anugerah yang tak ternilai. Kekayaan budaya dan sistem nilai dalam masyarakat yang plural sebagai pengikatnya, menjadi indikator dari keberadaan Indonesia sebangsa yang harmonis.

Bahkan seorang penulis politik terkenal Inggris J.S. Furnivall, memperkenalkan kepada pembaca Barat tentang gagasan masyarakat majemuk dan menjadikan Indonesia sebagai kiblat dari bangsa yang menjujung tinggi kemajemukan diikuti beberapa negara Asia Tenggara lainnya seperti Malaysia dan Singapura. Pandangan Furnivall ini sebenarnya sebagai ajakan pada masyarakat Barat untuk membuka mata bahwa perbedaan tatanan sosial bukan halangan untuk bisa hidup berdampingan. Mengingat masyarakat Barat pada tahun 1950-an, secara umum masih pesimis dan menyimpan trauma panjang terhadap semangat pluralisme pasca Perang Dunia ll.

Premis pesismisme terhadap pluralisme ini disampaikan oleh Ilmuwan Politik Harvard Samual P. Huntington, bahwa dalam sebuah negara harus menerapkan sistem otoritas politik yang tunggal. Tentunya hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir perbedaan pandangan politik dan memudahkan kontrol atas negara terhadap warganya. Tetapi hal itu tidak berlaku untuk Indonesia, karena secara konstitusi Indonesia sangat menjunjung tinggi perbedaan dan pandangan politik dengan sistem demokrasi yang dianutnya.

Multikulturalisme di Indonesia

Multikulturalisme menekankan betapa pentingnya memelihara pluralisme dan mempertahankan warisan budaya, termasuk agama. Dalam perkembangannya di Indonesia, sejarah multikuturalisme bukan lagi hanya sebatas toleransi, tetapi meningkat pada dimensi keadilan sosial seluruh masyarakat tanpa memerdulikan latar belakang ras, budaya, etnis, dan agama.

Pada satu sisi multikulturalisme mensyaratkan adanya kesadaran dari setiap individu ataupun kelompok, baik yang didasari atas kesamaan agama, etnis, dan budaya untuk menghargai keberadaan individu ataupun kelompok yang lain. Artinya, multikulturalisme menjadi kondisi ideal suatu masyarakat, bila keanekaragaman agama, etnis, dan budaya tidak saja diakui, tetapi juga diberikan ruang untuk mengembangkan diri dan mengartikulasikan identitasnya dalam kerangka kesetaraan dan keadilan.

Sehingga dalam demokrasi salah satu unsur yang paling penting kita mengenal istilah equality atau persamaan hak antar sesama warga masyarkat. Sementara dalam konsep multikulturalisme dipandang sebagai identitas budaya salah satu unsur pentingnya yakni kesederajatan, dimana tidak ada yang dominan dalam sebuah kelompok atau dalam lingkup luas seperti negara. Semuanya punya hak, kesempatan dan peluang yang sama untuk berekspresi. Sehingga jika ditarik benang merah antara demokrasi sebagai sistem negara dengan konsep multikulturalisme sebagai identitas budaya sangat sejalan dengan kondisi demograsi masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Tantangannya                                            

Teror diciptakan untuk menebar ketakutan. Seperti pandangan Aswan Zanynu kandidat Doktoral Universitas Indonesia, mengatakan teror untuk di tingkat bawah menghasilkan ketakutan, di level menengah menjadi liputan media yang sangat seksi dan pada tingkat elit, teror merupakan bagian dari permainan kekuasaan. Senada dengan Ariel Heryanto, Guru Besar Kajian Indonesia dari Monash University, dia mengatakan pada zaman Orde Baru misalnya teorisme dimonopoli oleh negara bahkan belakangan semakin marak “swasta-nisasi” terorisme dan premanisme.

Situasi ini yang paling merasakan dampaknya adalah kalangan bawah, kemudianpaling kursialketika teror terjadi misalnya, bom bunuh diri yang dilakukan oleh kelompok radikal mengatasnakan agama tertentu dengan menyerang rumah ibadah, framing yang tercipta oleh media bahwa kelompok agama atau penganut ideologi tertentu menyerang rumah ibadah agama lain sehingga menimbulkan ketakutan, trauma bahkan gangguan psikologi pada kelurga korban maupun warga sekitar. Perlu dipahami secara seksama bahwa adalah sekelompok penganut ideologi tertentu menginginkan perpecahan, sehingga di mata dunia Indonesia dalam keadaan darurat, kemudian negara-negara luar berlomba mengeluarkan “warning travel” kepada warganya untuk mengantisipasi bahaya yang tak diinginkan.

Duduk persoalan kasus ini bukan tanpa dalil. Klaim atas kegagalan multikulturalisme di Barat misalnya pernah disampaikan Ahmad Syafii Maarif  tentang corak politik yang terlihat di kalangan diaspora Muslim di belahan dunia Barat. Maarif memaparkan pandangannya bahwa Di negeri asal mereka, kaum Muslim ini mungkin telah terpinggirkan oleh berbagai rintangan politik, ekonomi, dan kultural, sementara di Eropa mereka sukar sekali menyesuaikan diri, kecuali mereka yang punya padangan kemanusiaan yang luas, berkat pendidikan yang mereka terima di negara yang mereka datangi. Keterikatan primordial yang masih kuat di antara para pendatang baru ini dengan akar kulturalnya masing-masing menjadi salah satu sebab mengapa kemampuan beradaptasi dengan lingkungan baru sering menghadapi berbagai rintangan, dari kadar yang ringan sampai kepada kadar yang sangat serius. Pelaku bom bunuh diri di beberapa kota di Eropa adalah contoh gamblang tentang ketidak mampuan beradaptasi ini.

Jadi jika fenomena di atas tersebut ditarik pada lingkup Indonesia, kita bisa melihat apakah murni bahwa gerakan radikalisme itu datang dari masyarakat Indonesia secara internal atau hasil integrasi paham ideologi dari luar, yang masuk ke Indonesia dan mencoba merusak tatanan nilai, politik, budaya, dan nasionalisme kita. Seperti yang dikatakan Maarif, melihat Indonesia begitu majemuk, banyak nilai budaya dan tradisi sehingga sekelompok orang yang mengitegrasikan ideologi dan paham radikalisme ini tidak mampu beradaptasi dengan nilai-nilai yang terpatri dalam masyarakat Indonesia.

Multikulturalisme mengajarkan kepada kita bagaimana perbedaan bukanmenjadi hal yang menyebabkan perpecahan atau konflik. Sebagai negara yang menjunjung tinggi pluralisme, Indonesia sangat rentan dengan gesekan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Salah satu indikatornya misalnya perubahan tatanan sosial kemasyarakatan seperti hadirnya teknologi informasi yang begitu masif sehingga arus informasi sulit terkontrol. Lembaga negara yang berwenang merilis bahwa beberapa paham radikal, penyebaran dan perekrutan anggota baru menggunakan teknologi internet seperti media sosial. Indonesia dengan geopolitik yang potensial menjadi salah satu sasaran utama negera maju untuk menebar ancaman ataupun menebar gangguan untuk membuat Indonesia menjadi lemah baik di bidang ekonomi, politik, budaya maupun pertahanan.

Yang perlu dipahami bahwa teror adalah upaya kelompok tertentu untuk memecah bela, yang menuntut persamaan secara ideologi sehingga upaya-upaya kekerasan yang melanggar nilai kemanusian mereka tabrak. Sekedar mengingatkan kembali bahwa ketika dunia Barat masih pesimis dengan pluralisme, jauh sebelum itu yakni Indonesia secara historis sudah mendeklarasikan semangat pluralisme, semangat kemajemukan, semangat multikulturalisme dalam bingkai Sumpah Pemudah. Dalam upaya penyatuan semangat tersebut tertuang dengan kokoh dalam semboyan Bangsa Indonesia yakni Bhineka Tunggal Ika.

 

Oleh : Dasmin Ekeng
Penulis Merupakan Masiswa Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi UGM

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini