Cerita Mudik ke Pulau Kabaena: Tertinggal Kapal dan Pentingnya Kebersamaan

910
Muhammad Jamil, Febry Aristian dan Anggun
Anggun, Febry Aristian dan Muhammad Jamil

ZONASULTRA.COM, RUMBIA –  Tentu ada cerita bagi pemudik kala menghadapi arus mudik pada H-1 menjelang hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1440 Hijriah tahun 2019 Masehi. Seperti yang saya alami bersama dua anak muda Febry Aristian dan Anggun.

Kami bertiga hendak mudik ke kampung halaman Pulau Kabaena, Kabupaten Bombana namun nyaris saja tak mendapat kesempatan untuk bisa bersama keluarga.

Perjalanan mudik kami saat itu harus terhenti sejenak setelah seluruh kapal penumpang rute Kasipute-Kabaena berangkat lebih awal pada Selasa (4/6/2019) sekitar pukul 07.00 Wita. Padahal, saya telah menargetkan tiba di kampung pada hari itu juga, H-1 lebaran Idul Fitri. Begitu pula dengan kalangan penumpang yang datang dan berlalu.

“Kami ketinggalan kapal arah Kabaena,” ucap Febry Aristian yang akrab disapa Aris, saat mencari kapal di Pelabuhan Kayu Kasipute, Kecamatan Rumbia, Bombana, Selasa (4/6/2019).

Aris bersedih setelah tiba di pelabuhan lantaran tak ada satupun armada kapal yang siap ia tumpangi. Ia mudik jauh-jauh dari Kota Makassar bersama temannya bernama Anggun yang start mudik dari Kota Kendari, sementara saya memulai perjalanan dari Rumbia.

Mahasiswa dan mahasiswi ini berboncengan menggunakan kendaraan motor, dan saya sendiri juga membawa motor. Namun motor saja tidak cukup untuk dapat mudik ke Pulau Kabaena.

“Ya, mau tidak mau dan apapun caranya, saya harus sampai di kampung, keluarga sudah menunggu kedatanganku,” kata Aris sembari menunduk sedih.

Menurut informasi dari pihak kapal, Aris diberi kabar ada sejumlah kapal yang siap berangkat pagi dan ada pula yang disediakan hingga menjelang siang hari. Ia mengaku heran setibanya di dermaga tersebut justru nihil, seolah tak ada harapan lagi untuk bersenda gurau bersama keluarga.

“Infonya saya dapat, ada kapal yang berangkat pukul 09.00 Wita pagi, saya pun mulai berangkat dari Kendari usai sahur dini hari. Makanya, saya perkirakan saja tiba di dermaga sesuai target pukul 08.00 Wita, ada puluhan orang berdatangan untuk mudik, tapi mereka memilih pulang, tinggal kami berdua di sini,” jelasnya.

Aris pun tetap berkukuh mencari alternatif untuk minimal menginjakkan kaki di Pulau Kabaena. Ia nampak pasrah namun tetap mencari jalan keluar sampai waktu menunjukkan pukul 10.00 Wita. Raut suram sudah mulai tampak diiringi nada suara pelan. “Gimana lagi nih,? Mungkin Tuhan tidak menghendaki untuk saya bisa lebaran di kampung” kata Aris ke Anggun.

“Ya udah kita pulang saja,” jawab Anggun.

Hadirnya dua orang sebagai teman baru ininmemotivasiku untuk mencari jalan keluar. Saya pun terus berinteraksi dengan mereka, bahwa saya juga mengalami kesusahan yang sama. Semua menjadi resah karena hari itu menjadi yang terakhir untuk arus mudik Lebaran.

“Biasanya, ada kapal kayu yang berangkat menjelang siang ke Kabaena. Tapi hari ini tidak ada, saya juga tak mendapat informasi jelas dari pihak dinas perhubungan, kecuali melalui kapal feri yang juga berangkat pagi-pagi mengarah ke Pelabuhan Dongkala di Timur Pulau Kabaena,” ucapku.

Saya pun mengusulkan ke mereka berdua untuk bersabar sejenak. Satu-satunya jalan ialah menumpangi sebuah kapal berukuran kecil (katinting). Sebab, tanpa cara tersebut, kami tak bisa lagi untuk mudik hingga tiba momen arus balik akhir pekan ini.

Tak lama kemudian, seorang petugas perhubungan menyampaikan bahwa tak ada lagi alternatif untuk bisa mudik ke Kabaena.

Saat itu, kami pun berusaha menyisir beberapa perahu di sekitaran dermaga. Ada beberapa perahu katinting yang siap berangkat, namun bukan mengarah ke Pulau Kabaena, tapi arah menuju Desa Pajala Kabupaten Muna barat dan lainnya menuju areal pertambangan.

Kami pun berhasil menemukan sebuah perahu katinting yang siap mengarah ke sebuah dusun yang terletak di wilayah pesisir Desa Lengora Pantai, Kabaena Tengah. Sayangnya, dusun yang diberi nama Baipapa ini tak memiliki akses darat menuju ibu kota Kecamatan Kabaena Tengah, kecuali melalui jalur laut. Dusun ini pun berdekatan jarak dengan salah satu desa pesisir di wilayah Pising yaitu Desa Mapila, Kecamatan Kabaena Utara.

“Kalau boleh perahunya kami carter bang. Kami siap bayar lebih dari sewa kapal pada biasanya, yang terpenting kami tiba di Pulau Kabaena,” pintaku ke pemilik perahu itu.

Si pemilik perahu pun sempat keberatan, karena kuatnya ombak yang menghawatirkan keselamatan perahu miliknya. Usaha negosiasi pun telah dilakukan selama beberapa kali hingga membuahkan hasil. Rasa iba pun tampak dari pemilik perahu hingga mau mengantarkan kami menuju Dermaga Pising.

“Boleh, tapi kita berangkat usai salat Zuhur yah. Sebenarnya saya tak mau sampai ke sana. Takutnya ombak besar, kita bisa tiba di sana paling lama 3 jam perjalanan menuju Dermaga Pising,” ungkapnya.

Aura bahagia mulai mencerahkan suasana. Kami mulai bergembira, meski harus berhadapan dengan cuaca mendung, berharap tak terjadi apa-apa di tengah laut.

“Alhamdulillah, yang penting ada, kita berhasil,” teriak kami dengan nuansa mulai akrab.

Proses perjalanan dimulai saat waktu menunjukkan pukul 12.45 Wita. Suasana laut masih cukup tenang hingga di jarak tempuh 15 kilometer dari pesisir Rumbia, Ibukota Bombana. Setelah itu, gelombang ombak mulai terasa dan perahu goyang diiringi hujan deras bercampur angin kencang. Di situlah posisi perahu mulai tak seimbang.

“Tenang saja, kita akan sempai ke tujuan,” ujar pemilik perahu itu.

Akhirnya, perahu ini sampai ke Dusun Baipapa sekitar pukul 14.30 Wita. Beberapa menit berlalu, perjalanan itu dilanjutkan sekitar setengah jam hingga tiba di Pelabuhan Pising, Desa Mapila, Kabaena Utara.

Dalam perjalanan itu, situasi semakin menakutkan lantaran kuatnya hantaman ombak hingga membuat perahu tumpangan kami itu nyaris terbalik. Akhirnya, rasa senang pun mampu menepis kekhawatiran itu karena dermaga telah terlihat dari radius 2 kilometer.

Perahu itu pun tiba di Dermaga Pising. Dua kendaraan motor kami pun diangkat dari perahu ke darat dengan dibantu beberapa warga setempat. Mereka membantu hingga bisa diangkat dari perahu melewati kedalaman laut 1 meter menuju ke darat.

“Alhamdulillah kita sampai juga di Kabaena,” ungkap Aris.

Tantangan perjalanan kami ternyata tak sampai di situ. Kami harus menempuh perjalanan cukup jauh untuk sampai tiba di kampung halaman. Dua teman baru saya ini akan menempuh perjalanan puluhan kilometer menuju Desa Pongkalaero yang terletak di ujung wilayah selatan Pulau Kabaena. Sementara tujuan saya ke Kabaena induk, Desa Rahadopi yang terletak di wilayah pegunungan Pulau Kabaena.

Perjalanan kami yang sebelumnya diprediksi tiba di kampung halaman menjelang waktu Magrib, ternyata tidak sesuai harapan. Jalanan berlubang, berlumpur, mendaki bercampur hujan membuat mereka harus mengurangi kecepatan kendaraan. Dalam perjalanan itu, saya mengalami kecelakaan hingga luka ringan sementara kendaraan yang ditumpangi mereka mengalami masalah ban pecah.

“Lengkap sudah penderitaan kita hari ini,” rintih Aris sembari tersenyum

Saya pun tak mau meninggalkan mereka dan tetap memaksakan kendaraan itu untuk tiba di sebuah desa meski waktu telah menunjukkan pukul 19.00 Wita malam. Sebelum itu, kami harus berbuka puasa saat mengalami masalah di jalan dengan hanya berbagi air minum dari sebotol aqua yang kami punya. Suara takbir pun mulai berkumandang menggetarkan hati, masyarakat mulai ramai memenuhi jalan di setiap desa yang kami lewati.

Ketika tiba di Desa Tedubara, Ibukota Kecamatan Kabaena Utara, kendaraan motor milik Aris tuntas diperbaki. Perjalanan pun dilanjutkan sampai ke desa masing-masing.

Pelajaran mudik kali ini adalah saling mengisi dan pengertian menjadi modal utama perjalanan meski sebelumnya kami tak pernah saling mengenal satu sama lain. Lewat mudik siapa saja bisa jadi sahabat yang baik dan selalu saja ada kemudahan. (C/SF)

 


Penulis: Muhammad Jamil
Editor: Muhamad Taslim Dalma

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini