#Gagal_Paham tentang “Kota Islami”

63

OPINI – Sejak tahun 2014, Maarif Institute melakukan survey Indeks Kota Islami (IKI) terhadap 29 kota di Indonesia. Hasil survey menunjukkan 3 kota teratas yang digadang-gadangkan sebagai kota paling islami, yakni kota Yogyakarta, Bandung dan Denpasar. Ketiga kota ini memiliki poin 80, dengan adanya indicator yang telah ditetapkan dan teknik analisis yang dilakukan oleh Maarif Institute.

Fitriyani Thamrin Mardhan

Kota-kota islami itu dilihat dari 3 indikator yakni tingkat keamanan, kesejahteraan, dan kebahagiaan masyarakat di 29 kota yang menjadi fokus survey. Mereka mengklaim bahwa Indikator yang dipakai ini berlandaskan Al Quran dan hadis. Namun jika dilihat, hasil survey justru menempatkan kota-kota yang terkenal dengan perda-perda syariah nya pada posisi rendah. Misalnya saja kota Band Aceh, berada di peringkat ke 19. Pun kota Padang, Ibu Kota Sumatera Barat yang digadang-gadang sebagai kota yang islami oleh Wali Kota-nya, menempati kota islami terendah. Bahkan mereka memiliki falsafah, adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (adat bersendi syariah, syariah bersendi Al Quran).

Kota Padang berada di urutan ke 28 dari 29 kota yang diteliti. Dan kota lain di Sumatera Barat, yakni Kota Padangpanjang yang memiliki pesantren wanita terbaik, berada di urutan nomor 26. Padahal dua kota  di tanah Minangkabau itu, jadi titik sentral perda syariah. Sebut saja Kota Padangpanjang, di kota tersebut malahan tersebar pesantren-pesantren tempat tokoh ulama dicetak. Sementara Denpasar yang terkenal penduduknya mayoritas non muslim, ditempatkan di posisi atas sebagai kota paling islami.

Penelitian ini menuai pro dan kontra lantaran hasil dan parameter yang digunakan. IKI menempatkan kota-kota yang menerapkan perda syariah di posisi bawah. “Parameter IKI bukan pelaksanaan syariah, tapi tegaknya nilai-nilai moral Islam di lingkungan masyarakat kota tersebut” tegas Ahmad Syafii Maarif, pendiri Maarif Institute.

Ini adalah pernyataan yang sungguh aneh, bagaimana mungkin moral islami itu muncul jika tidak adanya pelaksanaan syariah? Padahal jelas bahwa moral adalah buah dari pelaksanaan sebuah aturan. Sehingga jika kita berbicara islam maka moral atau biasa disebut akhlak bagi ummat muslim adalah buah dari pelaksanaan syariat islam. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Nidzomul Islam bahwa akhlak adalah bagian dari syariat islam. Bagian dari perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya. Seseorang tidak dianggap memiliki akhlak yang baik sementara aqidahnya bukan aqidah islam. Demikian pula seorang muslim tidak dianggap memiliki akhlak yang sementara ia tidak melaksanakan ibadah atau tidak menjalankan mu’amalah (jual-beli) sesuai dengan syariah. Lantas akhlak yang mana yang menjadi parameter “kota islami” jika bukan dengan pelaksanaan syariah islam itu sendiri?

Begitu pun jika kita berbicara tentang masyarakat. Masyarakat tidak dapat dikatakan sebagai masyarakat islami, sekalipun seluruh manusia yang berada dalam kota tersebut adalah seorang muslim apabila pada wilayah tersebut tidak ada pemikiran islam, perasaan islam serta syariah (aturan-aturan) islam yang diterapkan. Sehingga tolak ukur dari sebuah masyarakat islami adalah 3 hal tersebut.

Sadarnya individu akan ketiga hal itu akan membentuk hubungan di antara sesamanya. Contohnya saja Indonesia, walaupun mayoritas muslim akan tetapi pada diri individu masih saja terkotori dengan pemikiran kufur, berkiblat pada gaya hidup barat, dan tidak adanya perasaan islam yang dimiliki ummat, yang ada hanyalah sikap individualisme, ditambah lagi tidak adanya penerapan syariah islam, karena yang ada hanyalah peraturan perundang-undangan buatan manusia, bukan peraturan yang datangnya dari Allah yakni islam, maka Negara ini tidak dapat dikatakan Negara Islam, apalagi kota di dalamnya mau dikatakan kota islam.

Indicator keamanan, kesejahteraan, dan kebahagiaan sebenarnya sama saja, yakni buah dari penerapan islam. Keamanan akan dirasakan jika system persanksian atas kriminal-kriminal yang terjadi ditegakkan dengan system islam. Begitupula kesejahteraan, dirasakan oleh ummat ketika system ekonomi islam diterapkan. Dan kebahagiaan yang hakiki oleh ummat islam adalah ketika Allah ridho atas apa yang dilakukan. Dan ridho tidaknya Allah kepada hamba Nya adalah ketika mereka menjalankan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi larangan Nya. Dan salah satu perintah Allah adalah penerapan syariat islam secara kaffah, sebagaimana dalam surah Al-Baqarah ayat 208.

Lantas bagaimana dengan kota tercinta kita ini, Kendari? Dengan slogan indahnya “Kendari Kota Bertakwa”, ditambah tugu religious MTQ nya? Apakah dapat dikatakan sebagai kota islami? Masih menurut Syafii, bahwa umat hendaknya tidak hanya tertarik pada simbol, tetapi harus melihat substansi. Pernyataan ini sangat benar. Symbol bukanlah ukuran, akan tetapi harus dilihat substansinya. Hanya saja ummat masih saja bingung substansi islam itu seperti apa. Bisa dikatakan #Gagal Paham. Karena jelas substansi islam adalah ketika islam tidak hanya tertera pada kertas atau symbol-symbol, akan tetapi aturan-aturan islam yang lengkap dan sempurna itu diterapkan dalam kehidupan. Sebab islam bukan hanya masalah ibadah ritual, akan tetapi islam hadir sebagai pemecahan segala permasalahan dalam kehidupan dengan aturan yang lengkap dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari pendidikan, ekonomi, kesehatan hingga pemerintahan.

Kita pun tidak boleh #Gagal Paham lagi soal penerapan islam. Islam diterapkan dalam kehidupan bukanlah setengah-setengah seperti perda-perda syariah di beberapa kota di Indonesia, akan tetapi harus secara kaffah (menyeluruh). Sehingga penerapannya pun dibawah sebuah Negara islam.

Dengan adanya Negara islam sebagai institusi penerapan syariah islam, maka kota-kota di dalamnya pun akan menjadi kota islami, karena masyarakatnya terbentuk dari ketiga hal tadi. Dan kota Kendari pun akan menjadi kota islami dengan slogan indahnya “Kendari Kota Bertakwa dengan Syariah”, itulah harapan kita sebagai ummat muslim. Yakni adanya Negara islam (Khilafah) yang melahirkan kota islami sehingga #Gagal Paham pun tak lagi dimiliki oleh ummat dalam menilai sebuah masyarakat islam.

 

Oleh : Fitriyani Thamrin Mardhan, S.Pd

Penulis adalah Mahasiswi Universitas Halu Oleo

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini