Gincu Kolaka Utara yang Mengelupas

390
Andi Syahrir
Andi Syahrir

Dibanding dengan daerah otonomi baru (DOB) lainnya di Sulawesi Tenggara, kemajuan pembangunan di Kabupaten Kolaka Utara belum ada yang menyamainya. Terutama jika kita mempersempitnya pada aspek pembangunan infrastruktur. Kolaka Utara jauh sekali di depan. Bahkan jika dibandingkan dengan beberapa kabupaten tua, Kolaka Utara terlihat lebih mapan. Terutama jika kita persempit lagi pada pembangunan di ibukota kabupaten.

Kita catat infrastruktur dasar saja. Jalan raya. Sudah mulus. Ruasnya banyak pula. Tak jarang saya tersesat dalam labirin jalanan dalam Kota Lasusua. Malah, Kolaka Utara satu-satunya daerah yang memiliki ruas jalan berbayar di provinsi ini.

Rumah sakit. Ada. Dokter ahlinya terus bertambah. Pelayanannya terus membaik dari waktu ke waktu. Meski tidak kita pungkiri beberapa pelayanan masih terbatas karena kekurangan SDM ataupun fasilitas lainnya.

Listrik. Aman. Meski kadang terjadi pemadaman sebagaimana yang juga kerap dialami Kota Kendari, ibukota provinsi.

Air bersih. Tidak usah dibilang lagi. Sumber airnya bagus. Air mengalir lancar dan bersih. Bersih dan lancar saya garis bawahi sambil melirik Walikota Kendari…hehehe.

Kebersihan. Sejak lama, Kolaka Utara memiliki tempat pengelolaan sampah yang jauh dari pusat kota. Sayang, penduduk setempat masih harus diedukasi untuk menjaga kebersihan. Armada kebersihan pun belum menjangkau seluruh pelosok kota.

Kolaka Utara juga —awalnya— menjadi daerah yang pandai bersolek. Tata kotanya indah. Ada masjid terapung sebagai landmark. Wisata kuliner tepi pantai. Beberapa spot wisata yang dilengkapi fasilitas. Tetapi, seperti gincu, fasilitas yang disebut di bagian terakhir ini, mulai mengelupas.

Beberapa tahun lalu, ada namanya Tanjung Tobaku. Sebuah pemandaian tepi pantai. Pasirnya lembut. Bersih. Terletak di Kecamatan Katoi. Berbatasan langsung dengan Kecamatan Lasusua, ibukota kabupaten. Dekat dengan jalan utama. Orang yang melintas dapat melihatnya langsung.

Kini kondisinya memprihatinkan, rumput dan semak sudah mulai meninggi. Bangunannya kumuh. Pemandangannya sudah memenuhi syarat untuk masuk sebagai lokasi syuting “Dunia Lain”. Kesannya seram.

Beberapa kilometer dari sana, juga di tepi jalan, kita akan menemukan tulisan “Kawasan Wisata Kuliner”. Sempat ada yang berjualan di sana. Tapi hanya sebentar. Setelah itu, kosong melompong dan fasilitasnya mulai rusak tak terurus.

Tidak jauh dari sana, ada spot yang dulunya disebut dengan “Arena Dayung”. Ada bangunannya yang sudah mulai keropos dan tak terawat. Persis seperti gincu di bibir yang retak-retak. Mengelupas.

Dan yang paling melegenda adalah kawasan Pantai Berova. Lokasi ini juga pemandian pesisir pantai. Pasirnya bagus. Nama yang disematkan untuk lokasi ini banyak. Ada sebutan Pasir Putih. Dulunya pernah dikenal sebagai Tanjung Toli-Toli.

Di zaman Bupati Rusda Mahmud, kawasan ini dibangun jor-joran. Uang miliaran tumpah di sana. Jalanan dibangun. Fasilitas laiannya banyak bertebaran di dalam. Teranyar, kolam renang. Kemarin, saya berkunjung ke sana. Membawa teman-teman.

Ternyata kawasan itu sudah berubah banyak. Rumput meninggi. Meja restorannya berdebu. Tong sampah bergelimpangan dan isinya meluber berserakan. Pantainya sudah mulai disinggahi sampah batang kayu lapuk. Jorok. Saya malu sekali karena pemandangan yang terpampang tidak seindah dengan promosi saya.

Semua fasilitas wisata yang saya sebut di atas, berada atau sangat dekat dengan ibukota kabupaten, Lasusua. Jadi, ketika ada tamu atau wisatawan yang berkunjung ke Kolaka Utara, cukup membawanya ke sana.

Tapi dengan kondisi sekarang, sepertinya lebih baik kita kuncikan saja tamu kita di kamar. Tidak usah membawanya kemana-mana.

Akhirnya, Kolaka Utara mengajarkan kita satu hal. Kita pandai membangun tapi tak mampu memelihara. Kita mampu berkarya tapi tak sanggup merawat.***

 

Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini