Ikhtiar Menjaga Kedaulatan Rakyat Dalam Pilkada

303
Abdul Makmur
Abdul Makmur

Tepat pada hari dimulainya tahapan pencocokan dan penelitian data pemilih pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2020 terjadi demonstrasi sekelompok masyarakat di kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Konawe Utara (Konut).

Dalam orasinya, para demonstran menyatakan tujuan mereka adalah untuk mengingatkan lembaga penyelenggara Pemilihan Umum (Pemilu) dan instansi pemerintah untuk bekerja maksimal pada tahapan pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih pada Pilkada 2020.

Demonstran menyampaikan catatan yang mereka miliki bahwa terjadi peningkatan data pemilih dari Pemilu 2019 sebanyak 42.407 menjadi “45 ribu sekian-sekian” pada Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan (DP4) dan “47 ribu sekian-sekian pada data pemilih versi KPU Kabupaten Konawe Utara”.

Bagi penulis, demonstrasi oleh kelompok masyarakat tersebut adalah saluran menyuarakan aspirasi dalam proses berdemokrasi yang dapat dimaknai sebagai sebuah bentuk kepedulian terhadap kualitas data pemilih yang nantinya akan ditetapkan setelah melalui proses pemutakhiran menjadi daftar pemilih tetap.

Hal ini semakin menegaskan bahwa tingkat perhatian masyarakat terhadap pelaksanaan pilkada 2020 di Konawe Utara memang cukup tinggi, sebuah hal yang dapat kita rasakan dengan kentara melalui obrolan di warung-warung kopi ataupun diskusi media sosial di tengah masyarakat.

Urgensi pemutakhiran data pemilih ketentuan pasal 56 dan 57 undang-undang nomor 10 tahun 2016 mengatur warga negara yang memiliki hak pilih adalah penduduk pada daerah tempat Pemilihan yang berusia 17 tahun, sudah atau pernah menikah yang dibuktikan dengan dokumen kependudukan. Warga yang memenuhi syarat ini melalui proses pendataan akan didaftar kedalam Daftar Pemilih Tetap yang akan menyalurkan hak pilih.

Dalam konteks Pilkada, tahapan pemutakhiran data pemilih adalah prosedur untuk menetapkan siapa yang berhak dan siapa yang tidak berhak untuk ikut menentukan pemimpin di wilayahnya dalam lima tahun ke depan. Prinsip utama pemutakhiran data pemilih adalah memasukkan pemilih yang memenuhi syarat dan mengeluarkan pemilih yang tidak memenuhi syarat dengan ketentuan pemilih hanya didaftarkan satu kali pada daftar pemilih.

Dari segi hasil, produk akhir pendataan pemilih berupa daftar pemilih tetap dapat menimbulkan berbagai masalah apabila isinya kurang akurat, diantaranya pengadaan logistik pilkada yang tidak tepat jumlah, potensi terjadinya Pemungutan Suara Ulang (PSU), dan dapat menjadi obyek untuk diadukan dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) di Mahkamah Konstitusi nantinya.

Sedangkan dari segi proses, pelaksanaan pemutakhiran data pemilih bila pelaksanaannya tidak sesuai dengan peraturan maka akan berkonsekuensi pada timbulnya pelanggaran pemilihan seperti pelanggaran administrasi, pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, dan bahkan pelanggaran pidana yang ketentuannya diatur pada undang-undang No. 10 tahun 2016 pasal 177, 177A, dan Pasal 178.

Sebagai pengingat, pada Pemilu 2019 Bawaslu Kabupaten Konawe Utara merekomendasikan salah satu TPS di ibukota Kabupaten untuk menggelar PSU sekaligus memroses tindakan Pidana yang berujung putusan kurungan bagi pelaku perbuatan memilih lebih dari satu kali, musababnya satu hal: kegandaan data pemilih.

BACA JUGA :  Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Era UU Omnibus Law

Bagi penyelenggara Pemilu baik KPU maupun Bawaslu catatan ini haruslah menjadi alarm khusus pada tahapan pemutakhiran data pemilih agar dalam pelaksanaan Pilkada tahun 2020 ini peristiwa tersebut tidak terulang kembali. Memberi ikhtiar terbaik bagi suksesnya coklit tahapan pemutakhiran data dan penyusunan daftar pemilih sejatinya telah dimulai dengan penyerahan Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan (DP4) dari Kemendagri kepada KPU RI.

Tetapi di tingkat Kabupaten hingga Desa/Kelurahan kerja pendataan pemilih baru benar-benar dirasakan pada subtahapan pencocokan dan penelitian (Coklit) yang dilaksanakan selama 30 hari dan saat ini telah memasuki minggu keempat pelaksanaannya. Dalam prosesnya, KPU menetapkan petugas pemutakhiran data pemilih atau lazim disingkat PPDP yang bertugas melakukan kerja-kerja pencoklitan secara langsung di masyarakat.

Berbekal sebuah Daftar Pemilih yang disebut Formulir Model A-KWK berupa hasil sinkronisasi DP4 dan DPT pemilu terakhir, PPDP diharapkan dapat bekerja secermat mungkin dan menghasilkan bahan baku Daftar Pemilih Tetap yang akurat untuk digunakan pada proses pemungutan suara tanggal 9 Desember 2020 nantinya. Bagi penulis, hal pertama yang dapat menjadi kunci sukses pelaksanaan coklit adalah menjaga kesehatan fisik dan penerapan protocol pencegahan Covid-19 bagi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.

Upaya memutus mata rantai penyebaran Covid-19 adalah tanggung jawab seluruh elemen bangsa ini.

Oleh karena itu, baik KPU maupun Bawaslu sebagai lembaga penyelenggara pemilu telah mengeluarkan peraturan yang berusaha menjamin keselamatan seluruh warga masyarakat termasuk penyelenggara dalam Pilkada tahun 2020, berupa PKPU nomor 6 Tahun 2020 oleh KPU dan Perbawaslu Nomor 4 tahun 2020 oleh Bawaslu.

Dalam kedua peraturan tersebut, telah diatur mengenai prosedur dan tata cara pelaksanaan tahapan pilkada yang sesuai dengan prosedur pencegahan penyebaran Covid-19. Kedua, pemahaman akan ketentuan peraturan dan perundang-undangan oleh petugas Coklit di lapangan.

Pasal 11 ayat (6) PKPU No. 19 tahun 2019 menguraikan sepuluh langkah yang dilakukan oleh PPDP dalam melaksanakan tugas Pencocokan dan Penelitian. Kesepuluh langkah tersebut berkenaan dengan aktivitas mencatat pemilih baru, mengkoreksi data pemilih yang terdapat dalam Formulir A-Kwk, dan mencoret Pemilih yang sudah tidak memenuhi syarat.

Aktivitas tersebut haruslah didasari pada pemahaman yang tepat akan peraturan dan perundangan dalam menentukan siapa yang memenuhi syarat dan yang tidak memenuhi syarat untuk didaftarkan sebagai pemilih.

Dalam konteks ini Penyelenggara Pemilu secara berjenjang diatasnya wajib melaksanakan fungsi supervisi secara kontinyu agar langkah-langkah yang dilakukan di lapangan benar sesuai ketentuan yang berlaku.

Ketiga, adanya koordinasi yang terjalin baik antar semua stakeholder di setiap tingkatan. Bahwa KPU RI melalui Surat Nomor 576/PL.02.1-SD/06/KPU/VII/2020 telah menetapkan daftar Pemilih A.Kwk sebagai informasi yang dikecualikan dan tidak dapat dipublikasi kepada publik, tetapi demi menjamin prinsip terbuka dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilihan termasuk coklit, maka prosesnyalah yang harus dilakukan secara transparan kepada pihak yang berkaitan dengan pendataan pemilih yaitu pengawas pemilu dan pemerintah dari tingkat Desa sampai Kabupaten yang diwakili oleh dinas yang mengurusi masalah kependudukan dan catatan sipil.

BACA JUGA :  Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Era UU Omnibus Law

Jika kita membaca Undang-undang Pilkada jelas diatur pada pasal 30, pasal 33, dan pasal 35 mengenai kewenangan pengawasan pemutakhiran data pemilih di tingkat Kabupaten, Kecamatan, dan Desa. Secara lebih teknis Bawaslu mengeluarkan Surat Edaran Nomor: SS.0399/K.BAWASLU/PM.00.00/7/2020 tentang pengawasan pemutakhiran data pemilih yang didalamnya mengatur bahwa pengawas pemilu wajib memberikan saran perbaikan apabila berdasarkan catatan hasil pengawasan memuat hal-hal yang perlu dikoreksi dalam proses coklit yang sedang berjalan.

Sedangkan terhadap pemerintah, keterbukaan informasi jelas diperlukan dalam rangka memastikan keterpenuhan syarat seseorang untuk dapat dinyatakan sebagai penduduk yang syah dan dapat didaftarkan sebagai Pemilih atau tidak. Pada akhirnya prinsip terbuka dalam proses coklit bukan hanya penting tetapi sudah menjadi kebutuhan bersama, karena meskipun Coklit ini sudah diatur secara teknis pelaksanaannya, di lapangan ada saja persoalan-persoalan kependudukan yang ditemukan dan tidak diatur secara letterlijk dalam regulasi.

Pada titik ini, keterbukaan yang berbentuk koordinasi, konsultasi, dan supervisi dibutuhkan agar segera dapat diputuskan tindak lanjut yang tepat dan tidak menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari.

Hal terakhir yang sangat penting adalah kesiapan sistem elektronik dan teknologi informasi yang digunakan KPU dalam pendataan pemilih.

Sistem informasi yang disebut Sidalih ini berkaitan langsung dengan pelaksanaan Coklit karena digunakan dalam menyusun Daftar Pemilih, Daftar Pemilih Sementara (DPS), dan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Pada Pemilu 2019, kendala teknis pada Sidalih merupakan salah satu penyumbang persoalan sehingga DPT pada saat itu harus mengalami perbaikan beberapa kali hingga menghasilkan DPT Hasil Perbaikan III.

Sedangkan pada Pilkada 2020 ini selama pengawasan Coklit Bawaslu Konawe Utara sejauh ini telah menemukan sebanyak 928 pemilih yang terdaftar dalam DPT Pemilu 2019 tetapi tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Pilkada 2020. Melihat jumlahnya yang besar, hal itu menimbulkan dugaan bahwa masih ada persoalan pada Sidalih dalam menyusun daftar pemilih yang harus segera dibenahi agar tidak menimbulkan persoalan yang lebih rumit dalam tahapan penyusunan DPS dan DPT nantinya.

Akhirnya, selamat menuntaskan tahap pencocokan dan penelitian bagi kawan-kawan yang bekerja di garda terdepan, semoga sukses melahirkan daftar pemilih yang akurat bagi suksesnya pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2020.

 

Oleh : Abdul Makmur
Penulis Merupakan Anggota Bawaslu Kabupaten Konawe Utara Koordinator Divisi Pengawasan, Hubungan Masyarakat, dan Hubungan Antar Lembaga.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini