Jadi Profesi yang Rawan, Ini Kisah Tenaga Kesehatan Terpapar Covid-19

428
Jadi Profesi yang Rawan, Ini Kisah Tenaga Kesehatan Terpapar Covid-19

ZONASULTRA.COM, KENDARI – Tenaga kesehatan (nakes) menjadi kalangan yang paling terdampak dari adanya pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Pekerjaan yang mereka jalani membuat tubuh mereka rawan tertular Covid-19, seperti yang dialami oleh Karmila Dewi dan Sri Cahya Nabakin. Dua tenaga kesehatan di Kota Baubau ini positif Covid-19, diduga karena pekerjaan mereka.

Sejak April 2020 Karmila Dewi (44) ditugaskan menjadi perawat yang menangani pasien Covid-19 di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Baubau selama satu bulan masa tugas. Dalam bertugas, dia dan rekan-rekannya menggunakan alat pelindung diri (APD) yang lengkap. Sebelum bertugas pun, mereka sudah dibekali tentang tata cara penanganan pasien Covid-19.

Mereka secara khusus diinapkan di salah satu hotel di Kota Baubau dan tak kembali ke rumah. Selama awal-awal masuk hotel, mereka dilayani semisal untuk makanan diantarkan di kamar masing-masing. Namun begitu jelang akhir tugas, makanan sudah tak diantarkan lagi, sehingga Karmila terpaksa keluar kamar.

Karmila lalu bergabung dengan rekannya yang lain untuk makan bersama (berbuka puasa). Beberapa waktu kemudian rekannya ada yang mengalami gejala Covid-19, batuk dan sesak napas hingga akhirnya dinyatakan positif. Rekannya inilah yang diduga jadi penyebab Karmila juga positif Covid-19.

Beban kerja mereka juga membuat Karmila merasa kelelahan. Pekerjaan yang mereka jalani tanpa libur, dalam satu minggu 7 hari kerja. Dalam satu hari kerja dibuat sistem sif dengan waktu kerja 4 sampai 6 jam kerja.

“Memang banyak tenaga-tenaga perawat yang menolak untuk dijadikan perawat tim covid karena faktor takut dan lain sebagainya. Saya sendiri mau karena memang saya terpanggil. Saya berpikir siapa lagi yang bertugas kalau bukan saya. Terus kalau semua perawat takut, siapa yang akan melayani pasien-pasien ini,” ucap Karmila melalui telepon, 15 Juli 2020.

Ibu beranak tiga yang sudah 22 tahun jadi perawat ini dinyatakan positif Covid-19 persis ketika memasuki masa akhir tugas pada pertengahan Mei 2020. Untung Karmila hanya mengalami gejala ringan, sehingga selama dikarantina dia tidak begitu merasakan sakit.

Selama bertugas hingga akhirnya dirawat sebagai pasien, Karmila tak berkontak langsung dengan keluarga. Bahkan ketika ibunya sendiri meninggal dunia, Karmila tidak sempat mengikuti prosesi pemakamannya. Ibunya sakit karena terjatuh di rumah dan dirawat oleh kakak Karmila, hingga akhirnya meninggal setelah dua hari setelah terjatuh.

Insentifnya selama bertugas kurang lebih Rp5 juta rupiah. Sedangkan untuk perawatannya selama positif Covid-19 dengan menggunakan klaim BPJS Kesehatan. Karmila juga menerima donasi khusus dari RSUD Baubau Rp500 ribu dan dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Rp500 ribu.

Untuk penanganan pasien Covid-19, Karmila melihat terbatasnya jumlah perawat yang terlibat. Dia berharap pemerintah dapat bekerja sama dengan organisasi profesi. Misalnya perawat banyak menolak menjadi tim Covid-19, sehingga koordinasi dengan organisasi profesi seperti PPNI dibutuhkan.

Kisah lainnya, adalah Sri Cahya Nabakin yang merupakan tenaga kesehatan sukarela di Puskesmas Batara Guru, Baubau. Dengan honor Rp300 ribu per bulan, Sri bertugas di bagian rekam medik sebagai petugas pcare yang melayani kartu BPJS Kesehatan pasien.

Sehari-hari, Sri berhadapan dengan pasien umum, hingga tiba-tiba dia dinyatakan reaktif Covid-19 berdasarkan hasil rapid test pada 13 Juni 2020. Kemudian menyusul hasil swab test yang menyatakan dia positif Covid-19.

Setelah itu, dua orang anggota keluarganya juga positif Covid-19. Sri menduga ayah dan kakak laki-lakinya itu tertular Covid-19 dari dirinya. Sri dan Kakaknya dikarantina di Rumah Sehat Baubau sedangkan ayah mereka menjalani karantina mandiri di rumah. Anehnya, kata Sri, mereka bertiga baik-baik saja dan tidak mengalami keluhan sakit akibat Covid-19.

Sri mengaku sudah menerapkan protokol kesehatan saat bertugas maupun pulang ke rumah dengan selalu menggunakan masker dan mencuci tangan. Dia menduga mungkin saja dirinya tertular Covid-19 melalui perantara kartu BPJS pasien, tapi hal ini belum pasti. Sebab, ada masyarakat di wilayah kerja puskesmas itu yang pernah dinyatakan positif Covid-19.

Selama hampir dua minggu, Sri akhirnya negatif Covid-19 dan siap bertugas kembali di puskesmas, hanya belum dibolehkan karena masih diminta istirahat. Sri bahkan mengaku sudah siap bila dibolehkan jadi tim relawan Covid-19.

“Saya ini sebenarnya sempat ikut daftar jadi relawan covid. Sudah lolos mau langsung ditempatkan. Cuma karena saya positif, yah sudah, saya jadi pasien. Tapi seandainya saya mau dipanggil kembali, saya siap,” ucap Sri yang memiliki latar belakang pendidikan Kesehatan Masyarakat (Kesmas).

BACA JUGA :  Disabilitas Netra dan Pemilu: Antara Keinginan dan Keraguan Memilih

Dari kejadian yang dialaminya, Sri berharap pemerintah dapat lebih memperhatikan APD tenaga kesehatan yang bertugas di setiap puskesmas. Sebab para tenaga kesehatan puskesmas banyak berhubungan dengan masyarakat yang sakit.

Data di Gugus Tugas Covid-19 Sultra, jumlah tenaga kesehatan (nakes) yang tertular Covid-19 sejak April hingga 22 Juli 2020 terdapat 148 orang yang positif Covid-19. Mereka adalah dokter, perawat, bidan, apoteker, sarjana farmasi, hingga nakes yang berlatar belakang sarjana lingkungan.

Jadi Profesi yang Rawan, Ini Kisah Tenaga Kesehatan Terpapar Covid-19

Namun, belum dirinci terkait di mana nakes tertular, apakah berhubungan dengan pekerjaannya atau tidak. Para nakes itu adalah yang bertugas di Kendari, Kolaka Utara, Kolaka, Baubau, Buton, dan Muna.

“Contoh yang di RS Bahteramas, itu ada 10 orang (nakes). Tiga orang di antaranya itu perawat kamar isolasi jadi hampir dipastikan kemungkinannya terpapar karena pekerjaannya,” ujar Juru Bicara (Jubir) Gugus Tugas Covid-19 Sultra, dr. La Ode Rabiul Awal.

Dari 148 nakes positif Covid-19 itu, satu di antaranya yang berasal dari Kolaka meninggal dunia, bernama Asni (42). Sedangkan yang lainnya rata-rata sudah sembuh.

Rabiul yang juga Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Sultra, mengatakan memang pekerjaan nakes risikonya tinggi karena berkontak dengan orang tanpa gejala (OTG) yang jumlahnya banyak. Jadi, meskipun nakes ada yang tidak menangani pasien Covid-19 tetap tertular juga karena OTG banyak berkeliaran tanpa diketahui positif atau tidak.

Para nakes yang tertular itu ditangani seperti pasien pada umumnya mulai dari diisolasi dan menjalani perawatan sesuai dengan gejala penyakitnya. Kalaupun ada nakes positif Covid-19 yang kehilangan nyawa juga tidak ada perlakuan khusus, terkecuali ada asuransinya maka bisa saja memperoleh santunan dari asuransi tersebut.

Khusus yang mendapatkan insentif adalah nakes yang bertugas menangani pasien Covid-19. Hal ini mengikuti Peraturan Menteri Keuangan (PMK).

Maksimal insentif adalah Rp15 juta dalam sekali bertugas (sekitar satu bulan), disesuaikan dengan posisi pekerjaan dan tingkat risiko nakes ada yang tinggi, sedang, dan rendah. Namun kata Rabiul, insentif tidak sampai di angka maksimal karena disesuaikan dengan pagu APBD.

Penanganan Covid-19

Terdapat 5 kategori penularan covid-19 yaitu zona hitam, merah, kuning, oranye, dan zona hijau. Provinsi Sultra masuk zona oranye yang artinya penularan Covid-19 dapat dikendalikan. Namun kata Plt Kepala Dinas Kesehatan Sultra dr. Muhammad Ridwan, tingkat penularan sifatnya fluktuatif sehingga yang tampak tenang bisa tiba-tiba merebak.

Plt Kepala Dinas (Kadis) Kesehatan Sulltra dr. Muhammad Ridwan
dr. Muhammad Ridwan

Ridwan belum dapat memastikan kapan akan terjadi puncak lonjakan Covid-19. Untuk saat sekarang ini kebutuhan anggaran penanganan kesehatan diklaimnya masih tercukupi.

Ridwan menjelaskan terkait untuk insentif dan fasilitas tenaga kesehatan yang menangani pasien Covid-19 ditangani oleh masing-masing pemerintah kabupaten/kota. Anggarannya pun ada yang bersumber dari APBD masing-masing dan ada juga dari APBN.

“Alhamdulillah sampai sekarang ini tenaga yang ada di lapangan ini sudah tidak ada keluhan. Kalau ada keluhan pasti ada gejolak toh,” ucap Ridwan di kantornya, 17 Juli 2020.

Kendati tak ada keluhan itu, Ridwan mengakui apa yang terjadi di lapangan membuat tenaga kesehatan rawan, sampai ada beberapa yang terpapar Covid-19. Bahkan ada tenaga kesehatan yang sampai meninggal dunia karena terinfeksi Covid-19. Dia adalah Asni, seorang wanita berusia 42 tahun yang bekerja di Puskesmas Baula, Kabupaten Kolaka.

Wanita itu meninggal dunia selagi menjalani perawatan di Rumah Sakit Bahteramas pada 13 Juli 2020 lalu. Mulanya dia masuk kategori orang tanpa gejala (OTG) dan ada rekan kerjanya di Puskesmas Baula yang telah lebih dulu positif Covid-19.

“Pemerintah daerah di sana yang menentukan (santunan). Kemarin saya bicara dengan wakil bupati, dia akan usahakan santunan terhadap tenaga tersebut,” jawab Ridwan ketika ditanya apakah tenaga kesehatan yang meninggal tersebut mendapat santunan.

Penanganan kesehatan lainnya adalah dengan menyiapkan lima tempat isolasi yakni ruang isolasi di RSUD Bahteramas, gedung eks SMA Angkasa, gedung Rumah Sakit Jiwa, gedung Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM), dan gedung Balai Pelatihan Kesehatan (Bapelkes).

Lima tempat isolasi itu dapat menampung 200 orang. Sebanyak 50 tenaga kesehatan telah dilatih untuk bertugas di ruang isolasi tersebut sesuai standar operasional penanganan pasien Covid-19. Hingga 7 Agustus 2020 ini, gedung isolasi yang sudah digunakan di Bapelkes dan RSUD Bahteramas.

BACA JUGA :  Hakim Perempuan di PN Andoolo Ungkap Keresahan, dari Minim Fasilitas hingga Rentan Intervensi

Terkait anggaran refocusing Covid-19 yang dikelola oleh Dinkes Sultra mencapai Rp71,5 miliar yaitu alokasi untuk belanja program Rp56,5 miliar dan belanja tidak terduga (BTT) Rp15 miliar.

Anggaran-anggaran tersebut digunakan untuk di antaranya kegiatan pengembangan ruang isolasi di gedung Bapelkes, kegiatan penyemprotan dan penyediaan bahan disinfektan, penyediaan insentif bagi tenaga kesehatan, termasuk penyuluhan Covid-19, dan kegiatan-kegiatan lainnya.

Kabid Bina Pengembangan Program dan Sumber Daya Kesehatan Dinkes Sultra, Usnia mengatakan untuk belanja kebutuhan-kebutuhan seperti alat pelindung diri (APD) dan rapid test sudah terealisasi. Termasuk untuk kebutuhan polymerase chain reaction (PCR) test, Dinkes bekerja sama dengan Balai POM.

“Digratiskan (rapid test dan PCR test). Jadi kami di sini itu yang menangani covid untuk itu di Laboratorium Kesehatan semua gratis, kita kerja sama dengan Gugus Covid. Kalau sudah ditangani dinkes semua gratis,” ucap Usnia di ruang kerjanya, 28 Juli 2020.

Dinkes juga mengelola anggaran penyuluhan sekitar Rp3 miliar. Penyuluhan ini dilakukan dengan berbagai cara, misalnya pihak Dinkes melakukan komunikasi langsung, penyuluhan melalui baliho, dan lainnya.

Terkait untuk anggaran insentif, dikhususkan untuk tenaga kesehatan di lingkup Dinkes Sultra. Kata Usnia, yang akan mendapat insentif itu adalah 50 tenaga kesehatan yang sudah direkrut oleh Dinkes Sultra untuk ditempatkan di 5 tempat isolasi.

Sampai akhir Juli, sudah ada 20 tenaga kesehatan yang mulai bertugas di Bapelkes. Dengan masa tugas satu bulan, masing-masing perawat akan mendapat insentif sekitar Rp5 juta.

Tes Covid-19 di Sultra

Untuk mendeteksi Covid-19 terdapat dua jenis tes yang saat ini ada di Provinsi Sultra yaitu tes cepat molekuler (TCM) dan polymerase chain reaction (PCR). Dua alat tes swab ini ada di RSUD Bahteramas.

Direktur RSUD Bahteramas dr. Hasmudin mengatakan selama dua bulan terakhir (Juni-Juli) sampel yang sudah diperiksa kurang lebih 4.800. Untuk saat ini pihak RSUD hanya menerima sampel dari kabupaten/kota dan belum dapat memastikan target masyarakat yang harus dites.

Soal kendala yang ada, kadang terjadi kekurangan bahan tes seperti reagen. Kendala seperti ini dapat diatasi dengan adanya suplai dari Dinkes Sultra sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam pengadaan reagen.

Alur pemeriksaan tes swab tersebut yaitu dinkes masing-masing kabupaten kota se-Sultra mengirim sampel ke dinkes provinsi, lalu sampel diantar ke RSUD Bahteramas untuk diperiksa. Kemudian hasil pemeriksaan diserahkan ke dinkes provinsi untuk dilanjutkan ke kabupaten kota.

Dua unit alat TCM dan PCR itu memiliki kapasitas yang berbeda. Kapasitas TCM terbatas dengan hanya bisa sekitar 40 sampel per hari. Alat TCM ini juga digunakan untuk kasus-kasus darurat, misalnya yang harus segera diketahui hasilnya. Sedangkan PCR bisa sampai 120 sampel per hari.

“Sekitar lima hari yang lalu alat PCR ini sedikit bermasalah karena kita masih mau kalibrasi (cek alat oleh teknisi), kita tidak operasionalkan dulu. Terpaksa sampel-sampel yang sudah ada itu dikirim ke Makassar. Hari ini alat TCM ini sudah mulai beroperasi lagi,” ujar Hasmudin melalui telepon selulernya, Selasa (4/8/2020).

Hasmudin mengaku selama ini sudah cukup memaksimalkan penggunaan alat tersebut. Dengan dua alat itu sudah bisa mengakomodir sampel dari kabupaten-kota.

Selain RSUD Bahteramas, daerah seperti Kabupaten Kolaka Utara juga sudah membeli alat tes swab hanya belum beroperasi karena belum ada izinnya.

Update Covid-19 di Sultra

Jadi Profesi yang Rawan, Ini Kisah Tenaga Kesehatan Terpapar Covid-19
Update data perkembangan Covid-19 yang dirilis Satgas Covid19 Sultra, hingga Minggu, 9 Agustus 2020, pukul 17.00 Wita.

Berdasarkan data yang dirilis Satgas Covid-19 Sultra, hingga Minggu, 9 Agustus 2020, pukul 17.00 Wita, total kasus positif Covid-19 di Sultra sudah berjumlah 1020 kasus.

Rincian dari jumlah itu, pasien positif yang masih dalam perawatan sebanyak 310 kasus, pasien yang dinyatakan sembuh sebanyak 693 kasus, dan pasien yang dinyatakan meninggal sebanyak 17 kasus.

Sebanyak 310 kasus pasien positif yang masih dalam perawatan tersebut tersebar di kabupaten/kota yakni Kendari 148, Konawe Selatan 11, Konawe Utara 3, Konawe 7, Kolaka 7, Kolaka Utara 13, Buton 8, Kota Baubau 88, Buton Tengah 5, Buton Selatan 7, Wakatobi 4, Muna 7, dan Muna Barat 2. (*)

 


Reporter: Muhamad Taslim Dalma

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini