Janji Manis PT. DJL di Konut, Petani Sawit : Kami Mau Mengadu Kemana Lagi?

183

ZONASULTRA.COM, WANGGUDU- “Kami para pemilik lahan bingung, kami sudah pernah mengadukan persoalan ini ke beberapa instansi, mulai dari Pemda, DPRD Konawe Utara dan kepolisian setempat, namun tak membuahkan hasil sedikitpun,” ujar Sulaeman, salah seorang petani plasma di kecamatan Wiwirano kepada awak zonasultra.id pekan lalu.

Sulaeman adalah satu dari sekian banyak petani sawit yang dirugikan oleh pihak perusahaan yang tergabung dalam pola kemitraan (plasma) dengan PT. Damai Jaya Lestari (DJL), sebuah perusahaan perkebunan sawit milik pengusaha nasional asal kota Medan, Sumatera Utara (Sumut) DL. Sitorus.

Sistim plasma adalah pola kemitraan antara petani dan pihak perusahaan. Dimana dalam pola ini, petani dan pihak perusahaan sebagai mitra memiliki tanggung jawab untuk memelihara kebun dan mengelola usaha taninya. Petani plasma yang diberi tanggung jawab untuk mengembalikan kredit investasi pembangunan kebun plasma kepada pihak perbankan.

Pada pola kemitraan, seluruh biaya yang menyangkut pengembangan unit kebun mitra menjadi hutang dari masing-masing peserta mitra yang memperolehnya, dan harus dibayar kembali (dicicil dari pendapatan yang diperoleh dari hasil penjualan tandang buah segera (TBS) dengan masa tenggang cukup panjang serta menurut jadwal dan persyaratan-persyaratan yang cukup ringan.

Di Konawe Utara, Kecamatan Wiwirano dan Langgikima, sebagian besar pemilik lahan menganut sistim plasma. Antara pemilik lahan (petani) dan pihak perusahaan (DJL) membuat kesepakatan bagi hasil 60:40 persen. 60 persen bagian dari perusahaan dan 40 persen adalah milik petani.

Namun dalam perjalanannya, perusahaan dianggap tidak adil dan terkesan membodohi masyarakat petani.

“Dulu waktu sosialisasi, PT DJL dan masyarakat menyepakati pembagian hasil 60-40. Artinya 60 persen dari hasil panen masuk ke perusahaan, sementara 40 persennya diberikan kepada pemili lahan, namun yang terjadi sejak awal tidak seperti itu,” kata lelaki Sulaeman (49), petani di desa Polo-Polora, kecamatan Wiwirano yang mengaku memiliki lahan seluas 13 hektar ini.

Pemilik lahan saat ini, lanjut Suleman, merasa bingung sebab mereka sudah pernah mengadukan persoalan ini ke beberapa instansi, mulai dari Pemda Konut dan ke DPRD setempat. Namun pengaduan tersebut tidak membuahkan hasil sedikitpun.

Mereka (pemilik lahan) hanya mendapat janji yang hingga saat ini belum juga ada buktinya dari sang pemangku kebijakan di daerah yang baru berumur 8 tahun itu. Tidak hanya itu, pihak kepolisian dinilai tidak berdaya menagani kasus pelanggaran yang dilakukan perusahaan yang memiliki pabrik pengolahan
minyak itu.

“Kami anggap perusahaan ini sepertinya kebal hukum, buktinya kasus penyerobotan lahan dan kasus pengerusakan hutan lindung yang menyeret dua Kepala Desa dan mantan Pimpinan Proyek (Pimpro) PT DJL belum juga ada tindaklanjutnya, dua kades yang jadi tersangka masih bebas-bebas saja,” tuturnya.

Yang mengherankan kata dia, pemilik lahan tidak pernah dilibatkan dalam hal rapat koordinasi yang membahas tentang sistem plasma ataupun kebijakan perusahaan lainnya. Bahkan pihak perusahaan tidak pernah menjelaskan tentang cara penghitungan atau kalkulasi hasil panen kepada masyarakat.

“Yang dilibatkan itu hanya camat, kapolsek dan kepala desa. Jadi kita tidak tahu bagaiman cara perhitungan hasil panen  yang dihasilkan lahan kami. Belakangan kami dapat informasi bahwa 40 persen hasil panen itu ternyata masih dipotong lagi. Alasannya selain untuk biaya perawatan ada juga biaya yang harus kami tanggung ketika ada acara atau tamu besar yang datang ke perusahaan,” bebernya.

Pemilik lahan lainnya, Edi (57), mengaku kehilangan lahan seluas 4 hektar akibat revisi Surat Keterangan Tanah (SKT) yang dilakukan mantan Kepala Desa (Kades) Polo-polora, Endang yang kini menyandang status tersangka atas kasus penyerobotan dan pengerusakan hutan lindung di wilayah Kecamatan Wiwirano.

Selain itu, lahan seluas 1 hektar yang kini masih dimilikinya hanya menerima dana plasma sebesar Rp 120.00 per tiga bulan-nya. Dirinya mengaku sudah beberapa kali menanyakan lahan dan juga peta lahan plasma yang digunakan pihak perusahaan, namun ia tidak mendapatkan jawaban apapun dari perusahaan tersebut.

“Karena SKT dan juga peta wilayah yang sebenarnya dan sudah diserahkan kepada perusahaan saat menggelar pertemuan persetujuan antara perusahaan dan pemilik lahan disaksikan oleh pemerintah kecamatan yang saat itu masih di jabat oleh Abuhaera, ternyata bukan itu yang digunakan, melainkan SKT dan peta baru yang dibuat oleh Endang,” kata lelaki paru baya sembari menjukkan lahannya yang masih tersisa.

Sebahagian pemilik lahan bahkan pernah mengusulkan pembentukan kelompok petani plasma sebagai wadah dari setiap persoalan yang terjadi, namun usulan tersebut ditolak mentah-mentah oleh pihak perusahaan dengan alasan tidak ada anggaran untuk itu.

Yang lebih menyedihkan, kata Edi, setiap ada kunjungan dari pemerintah setempat baik itu camat ataupun bupati ke perusahaan, semua biaya yang dikeluarkan ditanggung oleh pemilik lahan melalui potongan hasil dari 40 persen.

“Jadi yang kami terima Rp. 150.000 per hektarnya setiap tiga bulan itu dipotong lagi ketika ada kunjungan tamu besar, baru kami tidak pernah diberitahukan oleh pihak perusahaan,tiba-tiba saja ketika akan terima, ada biaya tak terduga yang diperuntukkan ketika ada kegiatan,” keluhnya.

PT Damai Jaya Lestari mulai melakukan sosialisasi kepada masyarakat di wilayah itu yakni pada tanggal 1 Mei 2004 silam, dengan menawarkan janji kesejahteraan seperti “jurus” yang dikeluarkan beberapa perusahaan lainnya ketika baru akan melakukan pembukaan lahan, yang membuat pemilik lahan terpesona untuk membiarkan lahannya dikelola perusahaan itu.

Khusus di desa Polo-Polora, pembuatan SKT dimulai dilakukan tanggal 25 Juni 2005 dengan luasan lahan sekitar 825 hektar, sementara di Desa Polora Indah sekitar 768 hektar.

“Saat itu kami melakukan pertemuan awal di rumah saya, dihadiri oleh 89 orang pemilik lahan yang ada di desa ini, selain itu ada juga Pak Abuhaera yang saat itu menjabat sebagai Camat Wiwirano, sementara yang mewakili Kapolsek adalah Brigadir Mey Rahman yang saat ini sudah pindah tugas,” papar Nais Latorumo, mantan kepala Desa Polo-polora yang ditemui di rumahnya.

Nais mengaku atas persetujuan pemilik lahan dan juga Abuhaera, yang saat itu menjabat camat Wiwirano, ia membuat SKT yang kemudian diserahkan ke perusahaan bersamaan dengan peta wilayah desa sesuai Surat Keputusan (SK) Bupati Konawe, yang kala itu dijabat oleh Lukman Abunawas.

Setelah SKT itu diserahkan pada tanggal 1 Agustus 2005, menurut Nasi, PT DJL mulai melakukan aktivitas pembukaan lahan atau lereng clearing.

Ironisnya, setelah dirinya tak lagi menjadi kepala desa dan digantikan oleh Endang yang saat ini menyandang status tersangka atas kasus pengerusakan hutan lindung, SKT dan juga peta yang sebelumnya diserahkan semuanya diganti atas kerjasama Endang dan pihak perusahaan.

Akibatnya banyak pemilik lahan yang kehilangan lahannya. Setelah pemilik lahan menanyakan ke pihak perusahaan, mereka(perusahaan) tidak mahu memberikan keterangan sedikitpun.

Dari awal berdirinya PT DJL, pemilik lahan tidak pernah  mengetahui cara perhitungan hasil dan volume yang dihasilkan dari tanaman sawit yang ada atas lahan mereka, sebab perusahaan tidak pernah menjelaskan mekanisme dan prosedur  yang digunakan.

“Kalau ada perubahan, perusahaan hanya melibatkan kepala desa dan camat, dan tidak pernah memberitahukan kepada pemilik  lahan,” kata Ansar, warga desa Polora Indah yang juga pemilik lahan. (Bersambung)

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini