Jurnalisme Online dan Penangkapan Dewie Yasin Limpo

48

Dunia politik nasional kembali terguncang. Kali ini dipicu operasi tangkap tangan KPK terhadap anggota DPR dari Partai Hanura, Dewie Yasin Limpo. Beberapa jam setelah penangkapan, beraneka ragam informasi seputar penangkapan itu yang diterima publik.

Sebelum konferensi pers yang dilakukan KPK, ada beberapa fakta yang diungkap secara fatal oleh media-media online. Di antaranya, Dewie ditangkap bersama suaminya. Dia juga disebut ditangkap karena kasus dugaan suap megaproyek outer dan middle ring road mamminasata. Terakhir, Dewie ditangkap bersama saudaranya Ichsan Yasin Limpo (Bupati Gowa).

Begitu KPK menggelar konferensi pers dan menjelaskan fakta-fakta seputar penangkapan, berita dari media-media online tadi berubah menjadi sampah. Berubah menjadi karya jurnalistik memalukan.

Bagi media dengan konsep real time news, terlambat memberitakan adalah dosa besar. Tidak ada yang salah dengan gagasan itu. Yang tidak benar adalah jika kecepatan telah abai terhadap akurasi.  Detik ini merilis fakta A, jam berikutnya berubah menjadi fakta B.

Genre baru jurnalisitik online dengan idealisme real time news-nya, berubah menjadi institusi pengejar klik semata. Media online layaknya kontestan artis dadakan yang berlomba mendapatkan dukungan secara online.

Padahal, esensi lahirnya jurnalistik adalah kebutuhan akan kebenaran. Media hadir untuk menginformasikan atau mengungkapkan kebenaran. Apa kebenaran dalam dunia jurnalistik? FAKTA YANG DISAJIKAN SECARA AKURAT.

Jika media tidak lagi menyajikan fakta dan informasi secara akurat, berarti tidak lagi hadir sebagai pengemban kebenaran. Media yang tak lagi akurat telah mengamputasi sebuah proises yang disebut dengan verifikasi. Kebenaran lahir dari akurasi, dan akurasi lahir dari verifikasi.

Media yang me-nabi-kan kecepatan lantas me-nafi-kan verifikasi, layaknya anak durhaka yang menyalahi hakekat kelahirannya sebagai pembawa panji kebenaran. Tanpa verifikasi, karya jurnalistik tak ada bedanya dengan tulisan fiksi, propaganda, atau gosip-gosip murahan.

Tanpa akurasi, pekerja media hanyalah orang-orang amatir yang berlindung di balik ketiak undang-undang khusus (pers) agar tak dipidana, lalu dengan bangga mengenakan topeng kode etik (jurnalistik) sehingga seolah-olah terlihat profesional.

Jelas, bahwa ada yang salah dengan jurnalisme online di tataran praktek. Saya akan mengutip ulang tulisanku beberapa waktu lalu di akun media sosial milik saya. Bahwa jurnalisme online dengan real time-nya berubah menjadi jurnalisme terburu-buru.

Kata terburu-buru selalu berkonotasi negatif. Identik dengan sesuatu yang dilakukan tanpa atau kurang terencana. Pasti ada yang tertinggal. Selalu ada yang salah.

Berita yang disampaikan secara tergesa-gesa akan menyajikan informasi yang sumir dengan akurasi yang sangat rendah. Pembaca tidak lagi memiliki kepastian informasi.

Pada bentuknya yang masih tradisional pun, produk jurnalistik sudah mendapat kritikan dari Matthew Arnold (1822-1888), seorang kritikus kesusastraan dan kebudayaan Inggris. Dia menyebut “Journalism is literature in a hurry”. Jurnalisme adalah kesusasteraan yang terburu-buru.  

Karya sastra sesungguhnya dibuat dengan telaten. Penuh perasaan. Hati-hati. Melibatkan nalar dan rasa. Karya jurnalistik dipandang sebagai karya sastra, tapi diciptakan dengan cepat. Terburu-buru.

Kini, jurnalisme sudah jauh bermetamorfosis dari bentuk awalnya yang dikritik oleh Matthew Arnold.  Jurnalisme kekinian adalah jurnalisme terburu-buru.

Masihkah jurnalisme online dipandang sebagai produk karya sastra? Ataukah sudah turun kasta menjadi sekadar “The real time news is a journalism in a hurry”. Kedengaran amatiran.***

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini